Pengalaman berpindah-pindah kota membuat saya menyadari, tidak ada tempat yang lebih toleran selain Bali. Tidak hanya dari satu aspek ya, misal seperti bagaimana masyarakat Bali sangat welcome dengan wisatawan baik lokal maupun asing. Tapi saya baru mengenal satu sisi baru makna kata toleran yang lebih dalam di sini. Dari mana? Dari cerita-cerita orang Bali sendiri.
Siapakah yang berkisah kepada saya tentang toleransi? Mereka, mitra ketua arisan yang dengan terbuka berkisah apa makna toleransi yang sudah mereka jalani sendiri.
Bagi saya, menjalin hubungan dengan mitra ketua arisan artinya merajut kekeluargaan. Mengenal ketua arisan artinya mengenal sosok ibu rumah tangga, mengenal juga anak-anaknya, mengenal kesehariannya, dan budayanya.
Saat saya berkunjung, selalu ada cerita berbeda. Ya, karena tentu saja tiap keluarga punya cerita. Di setiap obrolan dan candaan bukanlah sekedar basa-basi untuk closing atau dealing. Saya percaya, bisnis itu akan tumbuh dengan sendirinya tergantung bagaimana kita menjalin hubungan baik dengan siapapun. Konteks kunjungan bagi saya selalu berangkat dengan niat membantu mitra ketua arisan agar bisa memaksimalkan potensi mereka. They grow, our business grow. Demikian siklusnya.
Bicara soal toleransi, saya menangkap beberapa cerita dari mitra ketua arisan, yang kalau ditarik benang merahnya, semuanya hampir sama.
Ketiga mitra saya adalah wanita asal Bali. Ketiganya dibesarkan di lingkungan keluarga beragama Hindu. Namun semuanya memutuskan mengikuti keyakinan sang suami saat menikah. Ada yang menjadi mualaf, ada yang pindah Nasrani, ada juga yang pindah Katolik.
Lantas bagaimana hubungan mereka dengan keluarganya? Harmonis. Semuanya saling menghargai. Sebelum pindah keyakinan, mereka melakukan upacara mepamit yang artinya berpamitan atau perpisahan. Ritualnya dilakukan di sanggah pihak wanita, untuk berpamitan kepada para leluhur.
Tentu saja pilihan untuk berpindah agama pada awalnya memang bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Tapi di Bali, khususnya bagi perempuan, mengikuti keyakinan suami bukanlah hal yang baru.
“Dulu saya sudah hampir jadi pemangku. Tapi ternyata takdirnya berbeda. Untungnya, orang tua saya sangat open minded. Jadi semua hubungan baik masih terjaga hingga saat ini,” ujar bunda Angel, salah satu mitra ketua arisan.
Lain lagi dengan bunda Gusti Putu Ayu. Dia berpindah keyakinan sampai dua kali. Awalnya dia mengikuti suami yang beragama Nasrani. Sayang pernikahannya tersebut tak bertahan lama. Di pernikahan keduanya, ia kembali mengikuti keyakinan sang suami yang beragama Islam. “Awalnya sempat diragukan sama orang tua karena sudah pindah keyakinan dari Hindu tapi akhirnya harus berpisah. Sekarang dapat yang beda keyakinan lagi. Tapi syukurlah, karena orang tua sudah mencari tau banget latar belakang calon suami, jadi diizinkan untuk ikut suami,” kisahnya.
Mitra ketiga saya bernama Bunda Ayu. Beliau adalah istri salah satu anggota TNI. Di sela-sela obrolan kita berdua soal arisan sore itu, kita juga sempat membahas budaya Bali yang banyak sekali tradisi dan upacaranya. Dengan detil, beliau bisa menjelaskan pritilan yang harus disiapkan untuk upacara.
Ternyata, sebelumnya bunda Ayu memang pemeluk Hindu dan sekarang mengikuti keyakinan sang suami yang beragama Katolik. “Bagi saya, baik itu Hindu maupun Katolik sama-sama mengajarkan kebaikan. Hanya saja caranya berbeda,” ujarnya berbagi pandangan.
Satu lagi mitra ketua arisan saya di Singaraja. Nama aslinya adalah Mardlatilah Maring asal NTT. Saya menanyakan namanya di perumahan Secata Singaraja tidak ada yang kenal dengan nama aslinya tersebut. Ternyata nama panggilannya adalah Bunda Komang. Beliau pindah agama mengikuti sang suami yang asli Bali beragama Hindu. Ya, di Bali, anak laki-laki adalah penerus keluarga, yang mewarisi Pura leluhur keluarga, jadi wajib untuk mempertahankan keyakinannya.
Kalau disimpulkan, kecenderungannya perempuan Bali mengikuti suami. Begitu pula sebaliknya, Laki-laki Bali cenderung mengajak sang istri ke Hindu. Tapi sekali lagi itu hanya kecenderungannya. Tidak berlaku di semua.
Apa yang saya tulis di atas, tentunya hanya sekelumit cerita. Karena sebenarnya, apa yang mereka sampaikan tak sesingkat itu karena dibumbui dengan roman pertemuan dengan pasangan masing-masing. Ditambah cerita penyedap dengan kelucuan-kelucuan receh karena jetlag perbedaan di awal-awal berkeluarga.
Hanya secuil cerita soal toleransi di Bali, tapi membuat saya makin jatuh hati. Seberbeda apapun, Bali tetaplah Bali dengan pembawaan yang damai enggan berkonflik.
Because our heart is not belong to us. It’s belong to Him
No comments:
Post a Comment