Pages

Saturday, July 27, 2019

Kerja di Start Up

Apa rasanya kerja di start up? Rasanya nano-nano! Kesulitan pertama dimulai saat ada yang nanya, “Mbak, kerja dimana?” tanya abang ojek, sopir gocar, temen dan masih banyak lagi. Saat dijawab dengan menyebutkan nama perusahannya, sudah barang tentu mereka tidak familiar. “Saya kerja di Arisan Mapan.” Respon selanjutnya kurang lebih begini ”Hah, arisan? Apa itu?” Lanjutlah saya menjelaskan panjang kali lebar perusahaan kami bergerak di bidang apa.

Pernah saat malas menjawab, pertanyannya saya jawab dengan singkat dan padat, dengan harapan tidak ada pertanyaan berkelanjutan. Namun endingnya selalu absurd.

Di ruang tunggu bandara Juanda, sebelah saya ada ibu-ibu. Percakapan yang berlangsung:
Si Ibu: “Mau ke mana mbak?”
Saya: “Bali Bu.”
Si Ibu: “Kerjanya dimana?”
Saya: “Gojek.”
Si Ibu: “Wah, cantik-cantik nge-gojek ya. Hebat.”

Saat pindahan pertama kali ke kosan. Perbincangan yang berlangsung antara saya dengan Bapak Kos:
Bapak Kos: “Mbak asalnya dari mana?”
Saya: “Surabaya Pak”
Bapak Kos: “Di sini kerja di mana?”
Saya: “Di Gojek pak”
Bapak Kos: “Berat pasti kerja gojek, panas-panas gini.”

Itu secuil cerita yaaah. Sisanya banyak. Kalo ngasih penjelasan soal kerja, sudah pasti wajib komplit mulai dari profil perusahaannya, terus produknya apa, terus jobdesk nya apa, bisa-bisa 10 jilid sendiri kalau semua ditulis di sini.

Tapi di samping itu semua, ada hal yang aku syukuri banget bisa jadi bagian dari perusahaan start up. Culture yang dibangun di sini tuh yang jelas anak muda banget. Ruang kreatifitas dibuka seluas-luasnya. Pada dasarnya meskipun kita mempunyai guideline yang harus dikerjakan dari perusahaan, jika kita ingin mencoba hal lain di luar itu justru sangat diperbolehkan. Nggak perlu takut salah.

Pernah tahu tim sepakbola? Kalau diibaratkan ya kayak gitu. Tim sepak bola itu kalau pada saat harus bertanding di lapangan, harus profesional. Tapi di sisi lain kekeluargaannya kental banget. Saat ada yang membuat kesalahan, masih ada 1000 maaf. Kecuali kalau kesalahan dalam hal etik dan integritas tentu beda cerita lagi.

Asyiknya lagi kerja di start up tuh kalau kerja bisa pakai kaos. Kalau mau rapi dikit tinggal pakai kemeja. Celana jeans, sepatu kets masih termaafkan. Intinya kerjaan beres, sesuai deadline, hasilnya kelihatan. Udah.

Bicara soal budaya perusahaan, karena memang basisnya aplikasi alias IT, mau nggak mau kita karyawannya juga dituntut untuk melek IT dikit-dikit, at least menguasai fitur-fitur yang memang wajib dipakai dalam keseharian pekerjaan. Paperless is a must. Sering banget aku nemuin karyawan yang awal-awal masuk shock karena terlalu banyak channel komunikasi yang semuanya berbasis online. Bahkan selevel FMCG aja nggak seperti kita tools-nya, mereka masih manual.

Pernah ada karyawan baru yang mau presentasi dan naruh file-nya di flashdisk untuk di-review. OMG, we just need to share it on G-Slide. Beres! Semua orang bisa ngakses, bisa langsung comment dan mention untuk assign kalau memang ada task yang perlu direvisi. Sereceh itu sih perhatian perusahaan soal tools pekerjaan.

Satu lagi soal budaya perusahaan. Di sini tuh nggak mengenal budaya hirearki. We can talk freely untuk sharing sama siapapun tanpa harus terkotak-kotak jabatan. Mungkin cuma di sini kita bisa ngobrol santai sambil ngopi sama bapak-bapak yang kalau di luar sana dipanggilnya bos. Just speak up, nggak pake acara formalitas. Kadang karena udah nggak mengenal budaya yang formal, kalau masuk ke instansi yang nuansa formalnya tinggi, contoh kelurahan, rasanya kagok dikit. Atau saat mampir ke kantor kementrian temen, berasa kagok juga. Nggak nyambung sih tapi emang gitu rasanya. Hehe

Maklum lah ya, di kantor kita semua space nya terbuka. Mau level direktur mau level karyawan, semuanya di satu space yang sama, tanpa sekat. Di pantry mau ngopi sambil meeting juga sah-sah aja. Se-anak muda itu loh kulturnya. Jadi nggak kebayang mau kerja di tempat lain yang bukan start up. Hehe

More than anything, selain budaya dan orang-orang di dalamnya, setiap hari aku merasa happy karena apa yang aku kerjakan bisa bermanfaat dan bermakna buat orang lain. Sampai hari ini setidaknya itu yang aku rasakan menjadi bagian dari Arisan Mapan yang juga keluarga besar Gojek.

We believe that with Gojek, and with continuous technological innovations, There Is Always A Way to solve everyday problems and affect positive social impact

Friday, July 26, 2019

Falling in love with you. Yes you!

Di tulisan kali ini aku pengen cerita sedikit tentang Bali. Nggak kerasa udah hampir 3 bulan tinggal di sini. Ya, sebenernya nggak penuh tiga bulan sih karena banyak kepotong libur dan keperluan ini itu di Jawa. But let’s say 3 bulan lah ya, sejak Mei sampai Juli dapat cerita apa aja sih.

Ceritanya aku lagi jatuh hati. Iya beneran jatuh hati! Sama siapa? Sama pulau ini. Sebenernya nggak sampe 3 bulan aku udah jatuh cinta sama Bali. Ini serius. Bahkan sebelum dapat penempatan Bali, pulau ini tuh hawanya ngangenin. Konteksnya sih emang buat melancong. Tapi saat buat kerja, yakin deh suatu saat pasti ngangenin juga bawaannya kalau udah move.

Kok bisa? Kerja di Bali itu ritme nya slow. Ngikutin arus aja gitu. Santai tapi tetep kerja. Dalam kesehariannya, masyarakat di sini tuh kerja, termasuk pendatang ya, tapi entah kenapa bawaannya itu mengalir aja. Not in a hurry at all. Secara dominannya faktor pariwisata, jadi hawa kompetisinya itu kayak kurang kerasa.

I don’t know apakah ini cuma perasaanku aja atau gimana, tapi beneran kerasa banget perbedaannya. FYI, pekerjaanku di sini lebih ke community based, artinya aku tetep harus ke field untuk visit ke mitra-mitra ketua arisan yang tersebar se-antero Bali. Aku nggak perlu kantor, cukup nebeng di gudangnya logistik, bisa juga kerja dari kosan, kafe, atau manapun itu nggak masalah.

Honestly aku nggak pernah kehabisan agenda karena pasti ada target dong yang harus dicapai. But, here it’s different. Sensasi ngejar target di Bali tuh nggak seheboh seperti saat penempatan di Jawa. Pengennya rushing, tapi entah kenapa nggak bisa. Haha

As you know, tantangan kali ini adalah mengcover satu pulau yang terdiri dari 7 kabupaten dan 1 kota. Scope areaku bisa jadi 3-4 kali lipat dari rata-rata scope BM lainnya. Alhamdulillah, setidaknya 75% arenya sudah clear mau diapain. Tentunya setelah mlipir sana-sini dan nengokin data ini itu.

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk bener-bener menikmati ritme kerja yang seperti ini. Lebih kayak slow but sure dalam menjalani. Tapi dalam progress dan pencapaian tetep harus melaju kayak roket super cepat karena kalo speednya kayak pesawat aja nggak cukup. Hehe

Enjoy all you have while pursuing all you want
Jim Rohn