Pages

Thursday, November 9, 2023

Mendadak Sabbatical


Kalau bisa aku rangkum di tahun ini, mungkin pelajaran terbesar yang aku ambil adalah waktu Tuhan adalah yang terbaik. Manusia hanya bisa berencana tapi segalanya Allah yang tentukan pada akhirnya.

Di hampir penghujung tahun aku tidak mengira bahwa aku akan benar-benar pindah tempat kerja. Meskipun prosesnya tidak semanis seperti yang aku harapkan.


Inget banget pas awal-awal tahun sempet ditanyain apa planningnya di tahun ini di company yang sekarang, aku bilang mungkin akan pursue another career path di tempat lain, timingnya mungkin tidak buru-buru, maksimal sampai akhir tahun. Dan yaaah sebelum akhir tahun beneran kejadian.


Well kalau ditanya kenapa judulnya mendadak sabbatical, sejujurnya bukan sabbatical yang benar-benar aku rencanakan. I can say, it’s a gift instead. Meskipun gift nya bisa jadi hal yang kurang menguntungkan bagi sebagian orang. But for me, it’s truly a gift.


Aku udah keterima kerja di tempat baru dan akan join di akhir November tahun ini. Waktu joinnya tentu saja sudah aku sesuaikan dengan timeline pekerjaan dari yang sedang aku kerjakan. We have a small team, less people, then considerate my role and responsibility within the team is a must. So I asked them, a new company for a 2 month notice period. They agree.


Sudah ancang-ancang lah aku untuk ambil cuti selama 2 minggu di pertengahan Oktober untuk keperluan umroh. Eh belum sampai ambil cuti, kita dapat kabar kalau ada pengurangan karyawan. And yes, it impacted almost all employees. Sedih sekali harus melalui fase ini. But yeah, it is what it is.


That’s how I got my sabbatical leave, 2 months in total. Alhamdulillah bisa umroh dengan tenang selama 2 minggu tanpa overthinking ninggalin pekerjaan karena memang sudah dibereskan semua jauh-jauh sebelumnya. Lalu impromptu trip ke Malaysia dan Singapura, dadakan juga tanpa rencana. Di sisa 2 minggu lainnya ngapain? Di rumah saja karena sudah habis energi mau travelling. Sambil mempersiapkan diri belajar product knowledge next company.


Company barunya apa? Well, masih nggak jauh-jauh sama aplikasi. Di bulan Juni sempat ditawari teman yang sudah join duluan di company ini tapi aku tolak karena aku masih merasa project yang aku lead mengharuskan aku selesai dan tuntas terlebih dahulu. Eh, di Agustus ada tawaran lagi dari rekruternya via linkedin. Kalau jodoh memang nggak kemana yah sepertinya, udah ditolak eh nyamperin lagi, wkwkwk.  This time setelah ikutin prosesnya ternyata berjodoh. Salah satu pertimbangan aku mau join adalah karena mereka mau nungguin aku join 2 bulan dan Jatim based. 


It’s gonna be challenging, I know that. Awalnya di approach untuk posisi area Jatim aja, eh lha kok jadi Jatim, Jateng, & Rest of Indonesia. Alhamdulillah mari ambil positifnya, jadi makin luas ya kan. Paling mentok dulu handle Jatim, Jateng, Jabar, Bali. Ya Bismillah aja, mari dijalani dengan usaha maksimal dan doa. Kuartal akhir tahun ini bagi saya tidak akan slow sepertinya. Jadi mari nikmati sisa libur yang ada dengan leyeh-leyeh, rebahan, atau bobok siang sepuasnya, wkwkwk tetap oportunis.


Friday, February 21, 2020

Menjadi Perempuan Bali


Kadang aku tak mengerti kenapa menjadi seorang wanita Bali haruslah melahirkan seorang anak laki-laki
Kadang aku merasa iri kenapa anak-anak perempuan di luar sana sama disayanginya dengan anak laki-laki


Ya, bersentuhan dengan ibu-ibu setiap hari, sedikit banyak saya juga mendapat curhatan mereka, termasuk dalam hal-hal pribadi. Endingnya, saya hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Apalah daku yang belum mengarungi bahtera rumah tangga, lalu mendapat curhatan emak-emak. Tentu saja tidak bisa memberi nasihat apapun selain mendengar.

Perempuan Bali dituntut menjadi figur yang sempurna. Dalam hal apa? Pandai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan tentu saja melahirkan anak laki-laki. Perempuan yang hanya memiliki anak perempuan tak jarang mereka merasa tertekan baik dari keluarga dan lingkungan sosial.

Di Bali, anak laki-laki memiliki kedudukan yang penting dalam keluarga. Kenapa? Karena anak laki-laki akan menjadi pewaris, pelanjut garis keturunan keluarga. Sementara anak perempuan, mereka akan keluar dari rumah, mengikuti jejak sang suami.

Ada salah satu tulisan menarik yang saya baca dari situs balenengong.id berjudul kekerasan patriarki pada perempuan bali. Di situ disebutkan:

Justru, peran perempuan Bali sangatlah besar dalam menjalankan roda keagamaan, memelihara adat istiadat Bali dari level keluarga hingga relasi sosial sangat besar. Hampir bisa dikatakan Agama Hindu adat Bali adalah agama yang bersifat sangat feminis. Praktik keagamaan dan ritual dikaryakan dengan melibatkan kerja-bakti kaum perempuan Bali. Tidak jarang segi finansial dari penyelenggaraan ritual adat juga berasal dari kantong pundi-pundi perempuan.

Pada tataran praksis, hak-hak perempuan tercerabuti oleh praktik ideologi patriaki yang mensubordinasi eksistensi perempuan justru dalam rumah-rumah tangga mereka. Ideologi ini bekerja dengan modus penipuan (dissimulation) di mana keberadaan perempuan seperti diingkari. Selain itu, eksistensi dan hak-hak perempuan dikaburkan atau disembunyikan melalui wacana praktik mengatasnamakan adat.


Sebagai orang yang tidak terlalu dalam memahami budaya Bali, tentu saya tidak bisa beropini apakah tulisan di atas benar-benar mewakili perempuan Bali.

Tapi sebagai sesama perempuan, saya paham bahwa tuntutan sosial seperti itu sangat berat. Apalagi jika tuntutannya di luar kendali kita. Bukankah dikaruniai anak perempuan atau laki-laki semuanya urusan Tuhan?

Tuesday, February 18, 2020

Galungan Kedua


Rasanya baru kemarin saya menginjakkan kaki di Pulau Bali. Eh sudah mau hari raya Galungan lagi ternyata. Di Februari ini kali kedua saya melewati Galungan di Bali. Penjual pernak-pernik hari raya khas umat Hindu sudah bertebaran di pinggir-pinggir jalan. Penjor pun mulai menghiasi kanan kiri jalan, termasuk rumah-rumah penduduk. Sedap dipandang.

Layaknya sebuah hari raya, tradisi pulang kampung menjadi hal yang wajib. Jelang hari raya, kota Denpasar mulai agak sepi, sekolah negeri libur dan banyak warga yang mudik ke kampung halamannya untuk merayakan Galungan bersama keluarga besar. Saya? Karena bukan pegawai negeri tentu saja saya masih kerja. Beraktivitas seperti biasa..hehe

Bali memang dikenal sangat kental dengan agama Hindu. Sepuluh bulan tinggal di sini membuat saya sedikit memahami kebudayaan Bali. Upacaranya banyak sekali. Setiap upacara atau ibadah yang dilakukan memiliki filosofi masing-masing. Kalau bisa disimpulkan secara umum, umat Hindu Bali sangat menjunjung prinsip keseimbangan. Ibarat Yin dan Yang. Semesta harus hidup secara berdampingan dalam sebuah harmoni.

Galungan sendiri diperingati setiap 210 hari menurut kalender Bali. Umat Hindu memaknai Galungan sebagai hari kemenangan kebaikan melawan kejahatan atau dharma melawan adharma. Kalau umat muslim mungkin mirip-mirip Idul Fitri, hari kemenangan.

Setelah Galungan, 10 hari berikutnya umat Hindu memperingati hari raya Kuningan. Yang bikin wow adalah liburnya nyambung. Dari Galungan sampai Kuningan, sekolah negeri bisa libur sampai 2 minggu lamanya.

Hari Raya Kuningan sendiri dimaknai sebagai upacara untuk memohon keselamatan dan perlindungan dari para dewa. Pernah saya tanya ke anak salah satu mitra Ketua Arisan, apa bedanya Galungan dengan Kuningan. Dengan polosnya bocah kelas 3 SD tersebut mengatakan, “Kalau Kuningan makan nasi kuning, kalau Galungan nggak.” Dan emaknya hanya tertawa mendengar penjelasan tersebut.

Masih banyak sekali hari-hari libur di Bali. Namun tidak semua mereka yang tinggal di sini, khususnya para pendatang memiliki ketertarikan untuk mengetahui filosofi dari setiap upacara-upacara di sekitar lingkungan mereka. Kalau saya sih karena pada dasarnya kepo dengan budaya lokal, jadi selalu ingin tahu. Ditambah lagi kerjanya ngurusin komunitas, wajib kenal dengan kearifan lokal.

Rahajeng Rahina Galungan lan Kuningan

Saturday, November 23, 2019

Solo Travelling

Bepergian bagi saya nggak harus selalu rame-rame. Sendiri pun jadi. Kadang memang kondisi yang memaksa harus bisa jalan sendirian, tapi ada saatnya memang ingin jalan sendiri.

Memaknai perjalanan bareng temen ataupun sendiri tentunya beda banget sih. Saat jalan bareng temen artinya kita akan berbagi dalam banyak hal, baik itu cerita, hal-hal kecil yang perlu diputuskan bersama, sesimpel mau makan apa misalnya ataupun barang yang akan kita beli juga bisa jadi panjang cerita kalau ada temennya. Tapi itu seninya jalan rame-rame, akan selalu seru!


Sejak awal bulan November ini banyak kegiatan kantor yang sifatnya jalan-jalan bareng team. Habis regional meeting, keesokan harinya kita lanjut main bareng ke taman safari, udah kayak wisata keluarga bahagia gitu, hehe. Lanjut camping bareng ala-ala survival di tepi pantai dan tidur di tenda. Seriusan, ini camping yang kita ribet bawa tenda sendiri, tidur pakai matras, tanpa ada listrik. Sumber cahaya hanya berasal dari layar handphone, senter, dan lampu camping solar cell aja. Bawa pop mie segambreng, kopi, dan aqua berliter-liter. Masaknya? Kita cuma masak air bawa kompor camping mini berbahan bakar bensin.

Dan tentu saja, kita semua jadi banyak ngobrol dan banyak cerita. Sepanjang perjalanan di mobil, sepanjang tracking, saat mendirikan tenda, menjelang tidur, mandi di pantai, semuanya nggak lepas dari ngobrol! It was really fun. Di sana kita semua yang sudah akrab jadi makin nggak karu-karuan akrabnya. Level apa tuh kalau udah akrab nggak karu-karuan? Haha

Minggu depannya, setelah balik ke Bali saya dapat kunjungan dari HO si Ardianta dan mbak Puput untuk keperluan research project. Butuh 10 sampling Mitra Ketua Arisan untuk kita visit. Okay, karena sudah sangat rutin dapat kunjungan, saya sudah sangat profesional mengatur jadwal, haha. It’s gonna be tiring, 10 orang bakal depth interview buat gali insight, belum lagi ada tambahan visit ruang berbagi di beberapa Mitra yang memang ingin sekali dikunjungi. What can I do selain memberi mereka kesempatan memang ingin bertemu tim dari HO? The show must go on gaes!

Kita bertiga menjelajah Denpasar-Badung selama 3 hari dengan motor dari satu rumah ke rumah yang lain. Sengaja cuma sekitar Denpasar-Badung aja karena kita nggak punya cukup waktu untuk melanglang buana ke seantero Bali. Entah gimana caranya saya harus dapat sample sesuai kriteria di kedua wilayah itu.

Well beneran itu rasanya tiga hari udah kayak anak jalanan. Pekerjaan saya sehari-hari saja kalau visit nggak sampai segitunya. Nah giliran kena kunjungan tim research harus segitunya banget kerjanya.

Singkat cerita energi untuk ketemu banyak orang sudah terserap habis. Weekend saya hanya memilih bobok cantik di kosan.


Solo travelling adalah salah satu cara saya untuk recharge energi setelah berinteraksi dengan banyak orang. I don’t need to depend to anybody else. I can decide everything by myself. Dan tentu saja dengan jalan sendirian saya jadi lebih mengenal diri sendiri. Seolah kayak ngetes limit saya tuh sejauh apa sih?

Mungkin sebagian orang berpikir kok bisa sih jalan-jalan sendirian? Apa nggak bingung nggak ada yang diajak ngobrol? Kalau saya sih sebenernya nggak perlu mikir kita akan kesepian saat perjalanan karena kita bisa memilih waktu kapan saja untuk berinteraksi dengan orang lain saat kita travelling.

Sama siapa biasanya saya ngobrol? With local people, dengan anak-anak kecil yang kadang dijumpai di perjalanan, dengan pemilik warung, dengan barista yang bikinin kopi pesanan kita, atau dengan sesama pelancong. Mereka akan cerita hal-hal yang saya pengen tau, ada apa aja di sini dan sekitar sini.

So, travelling sendirian bukan berarti kita nggak jadi pribadi yang open. Justru sebaliknya, saya bisa dapat banyak sudut pandang dan pengetahuan mengenai kearifan lokal. Karena nggak mungkin saya ngobrolin topik yang nggak nyambung sama mereka. Beda cerita kalau hangout sama temen kerja, eh pembahasannya pasti ada aja yang nyangkut soal kerjaan, padahal lagi jalan-jalan. What a life!

Jadi mau jalan rame-rame ataupun sendirian, buat saya tetap harus ada maknanya :)