Pages

Friday, February 21, 2020

Menjadi Perempuan Bali


Kadang aku tak mengerti kenapa menjadi seorang wanita Bali haruslah melahirkan seorang anak laki-laki
Kadang aku merasa iri kenapa anak-anak perempuan di luar sana sama disayanginya dengan anak laki-laki


Ya, bersentuhan dengan ibu-ibu setiap hari, sedikit banyak saya juga mendapat curhatan mereka, termasuk dalam hal-hal pribadi. Endingnya, saya hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Apalah daku yang belum mengarungi bahtera rumah tangga, lalu mendapat curhatan emak-emak. Tentu saja tidak bisa memberi nasihat apapun selain mendengar.

Perempuan Bali dituntut menjadi figur yang sempurna. Dalam hal apa? Pandai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan tentu saja melahirkan anak laki-laki. Perempuan yang hanya memiliki anak perempuan tak jarang mereka merasa tertekan baik dari keluarga dan lingkungan sosial.

Di Bali, anak laki-laki memiliki kedudukan yang penting dalam keluarga. Kenapa? Karena anak laki-laki akan menjadi pewaris, pelanjut garis keturunan keluarga. Sementara anak perempuan, mereka akan keluar dari rumah, mengikuti jejak sang suami.

Ada salah satu tulisan menarik yang saya baca dari situs balenengong.id berjudul kekerasan patriarki pada perempuan bali. Di situ disebutkan:

Justru, peran perempuan Bali sangatlah besar dalam menjalankan roda keagamaan, memelihara adat istiadat Bali dari level keluarga hingga relasi sosial sangat besar. Hampir bisa dikatakan Agama Hindu adat Bali adalah agama yang bersifat sangat feminis. Praktik keagamaan dan ritual dikaryakan dengan melibatkan kerja-bakti kaum perempuan Bali. Tidak jarang segi finansial dari penyelenggaraan ritual adat juga berasal dari kantong pundi-pundi perempuan.

Pada tataran praksis, hak-hak perempuan tercerabuti oleh praktik ideologi patriaki yang mensubordinasi eksistensi perempuan justru dalam rumah-rumah tangga mereka. Ideologi ini bekerja dengan modus penipuan (dissimulation) di mana keberadaan perempuan seperti diingkari. Selain itu, eksistensi dan hak-hak perempuan dikaburkan atau disembunyikan melalui wacana praktik mengatasnamakan adat.


Sebagai orang yang tidak terlalu dalam memahami budaya Bali, tentu saya tidak bisa beropini apakah tulisan di atas benar-benar mewakili perempuan Bali.

Tapi sebagai sesama perempuan, saya paham bahwa tuntutan sosial seperti itu sangat berat. Apalagi jika tuntutannya di luar kendali kita. Bukankah dikaruniai anak perempuan atau laki-laki semuanya urusan Tuhan?

No comments:

Post a Comment