Pages

Monday, May 27, 2013

Mewarnai Tulisan dengan Membaca

Belakangan saya sangat rajin membaca. Membaca apapun, buku, artikel dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris, berita online, hingga majalah bulanan. Tujuannya: memperkaya kosakata dan mempelajari gaya tulisan. Meski hanya satu artikel dalam sehari, saya mengharuskan diri membaca. Dari membaca, saya bisa tahu lead macam apa yang biasa koran-koran besar pakai. Dari membaca, saya bisa tahu bahwa media-media besar sangat jarang menggunakan kata 'yang', 'dengan', 'bahwa', dan berbagai kata sambung lainnya. Dari membaca, saya bisa tahu bagaimana wartawan senior kaliber Kompas bisa merangkai kejadian sejarah dengan sangat elegan. Pada akhirnya saya tiba pada suatu kesimpulan, membaca adalah senjata utama bagi seorang penulis. Kesimpulan klasik yang memang tak bisa dipungkiri penulis manapun.

Sunday, May 26, 2013

New for Youth


Well, finally here it comes, YOUTH online magazine. I ever told you about new project from ITS Media rite? Alhamdulillah my team and I really made it, first edition of Youth-ITS (read: Y-ITS) online magazine. You can freely read and download it (just click on the cover picture above). There are some videos too since we also work together with ITS TV (part of ITS Media too).
Next edition coming soon. Just wait Youth Readers! :D

Tuesday, May 21, 2013

Aku Lupa

Aku lupa kalau dulu sempat mencintaimu. Aku lupa kalau aku pernah mengenalmu sebagai dunia bermain-main. Aku juga lupa kalau dulu aku bisa bebas berteriak, bergerak, mengumpat, sampai berurai air mata karenamu.

Aku lupa aku bisa hidup dalam bayangan setiap watak yang aku mainkan. Aku lupa aku bisa menjelma semauku asal masih sesuai alurmu. Aku lupa aku pernah bebas menjadi dia, sosok yang bahkan harus kukenali lebih dari diri sendiri.

Aku lupa aku pernah mencintaimu karena kamu mengajarkanku banyak hal. Meski lupa, aku masih bisa merasakan rindumu. Rindu bermuka dua, rindu jadi bengis, rindu jadi sabar, rindu memainkan semua watak orang.

Sialan, kemana gerangan pergimu duhai seni penentram hati? Aku lupa aku pernah mengenalmu dengan sangat dekat, teater!

Thursday, May 16, 2013

I am Designer


Everyone is a designer. Even, we can judge ourself as our life designer. Anyway, talking about it, I feel very relief, my task for final exam is done (though it just one subject).

Last night tweet: "Design must be artistic, but exception for an equipment design #DKP"

Yosh, I designed packed tower, bubble cap, and sieve tray. Whatever it is, I am done with you DKP (exception for an interview) :D

Tuesday, May 14, 2013

Perfeksionis


Melihat deretan angka di kalender tak ubahnya seperti melihat rentetan tanggung jawab. Variatif. Ibarat toserba, semuanya ada. Kuliah, lab, skripsi, tugas, kuis, proyek media, majalah, tugas mengedit, dan kegiatan tak terduga lainnya menghiasi hari demi hari.

Celakanya, aku seperti orang yang lupa bagaimana bersyukur. Kalau dulu aku mengartikan rasa syukur sebagai 100% effort untuk berusaha tapi untuk saat ini definisi itu sepertinya masih sangat jauh dari kebutuhan.

Ketakutan pun muncul, sadar rutinitas tanpa menikmatinya ibarat pembunuh ketenangan batin. Ya, aku mungkin lupa definisi bagaimana menikmati jalannya proses. Padahal kian lama mencicipi hidup, aku kian paham bahwa tuntutan menuju kesempurnaan kian bertambah. Aku mulai mengenal makna perfeksionis lebih intim. Meski dulu, tuntutan dari dalam diri ’tak sampai segitu’nya.

Hal-hal kecil di sekitarku berubah. Aku terbiasa melakukan riset atas banyak hal sebelum meng-handle sebuah pekerjaan, aku kesulitan menerima kesalahan kecil, aku mulai melihat berbagai hal dengan kacamata yang mungkin lebih tebal dari orang lain, aku menjadi lebih jeli, dan mungkin lebih cerewet dalam berkomentar.

Aku tak ingin menyalahkan si perfeksionis. Bersamanya, aku bisa mengerjakan banyak hal dengan lebih baik. Tapi kadang kala, aku sendiri merasa enggan menghadapinya. Melelahkan dan sudah tentu butuh kesabaran ekstra. Kalau sudah jengkel, aku ingin membuangnya jauh-jauh ke laut. Kayak lirik lagu, cewek matre cewek matre ke laut aje ke laut aje!

But still you know, I am just a human. It is humane to be perfectionist. We are humanistic with everything on us.

Even, Sri Sultan Hamengkubuwono IX had ever showed this side. Arnold C Brackman, Head of American News Office - United Press invited him to his house while he was in America for medical check up. When Sri Sultan Hamengkubuwono IX had just arrived, spontaneously he had taken off his shoes then had taken a rest for a while. That’s very human accident.

That’s why Brackman said: “How is it possible that the country’s most feudal lord, Sri Sultan, is so unfeudal in his manner and thinking?”
-dikutip dari buku: masalalu selalu actual karya P.Sawantoro-

So, if I back to perfectionist wanna be, no matter what happen around, I will say: It’s humanistic!

Saturday, May 11, 2013

Tiga Orang di Masa Lalu



Aku mengenalnya di balik tumpukan arang hitam. Kerap kudapati ia meringsuk di antara lautan arang hingga tak sadar baju dan mukanya pun coreng moreng berwana hitam.

Aku mengenalnya di balik wajah awet mudanya. Langkah kakinya tak pernah kendur menyusuri tujuh mata air yang konon membuatnya tetap muda.
 

Aku mengenalnya di balik baju usang, motor tua, rambut putih panjang dan tato yang merajah tubuhnya. Ia selalu datang dengan keras deru motor dan kegilaan tingkah lainnya.
 

Aku mengenal mereka semua, tiga orang di masa lalu.

Wanita tua berambut putih tampak jeli menghitung uang yang diperolehnya. Dimasukkannya rezeki hari itu ke dalam sebuah dompet yang lebih mirip kantong jimat dari kain jarik. Tangannya hitam sehabis melayani penjual bakso yang membeli dua kresek arang.

Aku menuju ke arahnya hendak menukar uang lima puluh ribuan. “Opo Yuk?” tanyanya saat melihat kehadiranku di depan pintu tempatnya berjualan. “Ijol dhuwit Mbah,” jawabku tanpa sedikitpun ber-kromo alus yang lazim digunakan untuk menghormati orang tua. Tanpa banyak omong, melihat selembar lima puluh ribuan dijulurkan, ia dengan sigap menghitung uang ‘recehan’ untuk diberikan kepadaku. Meski sudah tua, ia masih sangat jeli. Sedikit pun tidak ada kertas bertuliskan angka-angka itu luput dari matanya. Ya, setiap kali aku menukar uang pada nenek ini, hitungannya tidak pernah kurang atau lebih.

Selama ini, aku hanya tahu orang-orang memanggilnya yung Isah atau mbah Isah. Setahuku, mbah Isah tinggal sendiri di rumah yang berada tidak jauh dari tempatnya berjualan. Jarang sekali aku melihatnya bersama anggota keluarga yang lain. Tapi pernah juga, ia dikunjungi anak perempuannya.

Ya, aku memang tidak terlalu mengenal nenek yang entah sudah menapaki usia berapa puluh tahun ini. Dari kacamataku, ia adalah seorang single fighter, perempuan tua yang berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Kerutan-kerutan di dahinya tak sedikit pun menyiratkan beban berat kehidupan tengah menempanya. Sunggingan senyum dan gelak tawa yang dibaginya hampir setiap hari bisa jadi menutupi semua itu. Ya, senyum karena arangnya laris manis.

***

Ia begitu percaya hal mistis. Suatu kali saat keluargaku mengajaknya liburan di Candi Prambanan, ia tampak komat-kamit membaca sesuatu sambil menyentuh patung-patung di setiap candi. Keyakinan berbau kejawen itu sudah mengakar kuat agaknya, karena ia sendiri mengisahkan pernah menelusuri tujuh mata air dengan berjalan kaki.

Wanita yang sudah berusia lebih dari paruh baya itu memang masih nampak segar bugar. Bu Sum, demikian aku biasa memanggilnya. Meski saat itu usiaku masih 4 tahun, aku memanggilnya dengan sapaan Bu, meniru ibuku yang memang memanggilnya demikian.

Ia menghuni sebuah kios kecil selisih satu rumah di samping kanan kios orang tuaku berjualan. Wanita ini lebih sering keluar daripada menjaga kiosnya yang berisi jualan seperti obat nyamuk, rokok, minuman berkarbonasi, hingga tuak. Ke manapun pergi, ia selalu berjalan kaki, kecuali saat hendak pulang ke Ponorogo, kampung halamannya. Biasanya, ia selalu memberiku oleh-oleh jenang Ponorogo kalau sudah kembali dari kampung halamannya itu. Kadang aku sendiri menaruh heran, wanita yang sudah lebih dari 70 tahun kok masih kuat berjalan jauh.

Sama seperti mbah Isah, Bu Sum adalah orang yang selalu berbahagia. Ia kerap berkelakar dengan siapa pun. Pernah suatu saat dalam candaan di sore hari, Bu Sum spontan menari Jawa menirukan irama campur sari dari radio. Kami pun hanya bisa tertawa menyaksikan tingkah nenek yang penuh semangat itu. Dalam benakku, mungkin karena tidak pernah membebani diri dengan hal apapun, ia bisa tetap sehat dan jarang sakit-sakitan di senja usianya.

Di kota kecil ini Bu Sum tinggal sendiri. Atik, anak tertuanya bekerja sebagai TKW di Hong Kong. Setiap bulan, anaknya ini rutin mengirimi uang untuk keluarganya, termasuk sang ibu. Keluargaku pernah berkunjung sekali ke rumahnya di Ponorogo karena undangan acara pernikahan saudara Bu Sum. Melihat kondisi rumahnya di desa, menurutku Bu Sum bukanlah orang kekurangan yang harus banting tulang di usianya yang sekarang. Atik, putrinya malah sudah meminta ibunya itu berkali-kali untuk berhenti berjualan. Lebih baik tinggal di rumah saja istirahat. Tapi sang ibu menolaknya.

Bu Sum menentukan pilhannya sendiri. Pilihan untuk menikmati sisa hidupnya dengan apa yang sudah melekat di batinnya. Tanpa peduli pilihan itu benar atau salah, Bu Sum hanya ingin menjadi dirinya sendiri.

***

Pertama kali bertemu dengannya, aku merasa takut alang kepalang. Penampilannya benar-benar seperti preman kampung walaupun usianya sudah menjelang senja. Tak kupungkiri wajahnya menunjukkan penuh wibawa, wibawa seorang lelaki.

Orang-orang memanggilnya Pak Dayak (dalam pelafalan orang Jawa biasa diawali konsonan n di depannya sehingga dibaca ndayak). Pak Dayak sering bertamu ke kios orang tuaku. Ya, meski keluargaku keturunan Madura, kami bisa membaur baik dengan siapapun dari kalangan mana pun.

Pak Dayak selalu hadir dengan kepulan asap motor. Bukan motor biasa karena lengkap dengan desing suara seperti motor pembalap yang sedang trek-trekan. Aku tidak kaget karena tahu pekerjaan sehari-harinya adalah montir di bengkel miliknya sendiri. Jadi, kalau ia ahli modifikasi motor butut jadi ala pembalap pun sudah bukan hal aneh lagi.

Pak Dayak tak pernah bisa diam. Saat beberapa kali ke kios orang tuaku, ada saja yang diperbuatnya. Pernah saat rumah kami kemasukan ular, dengan sigap ia menangkapnya. Hal yang paling gila adalah saat ia menyetir mobil kami setelah diperbaiki di bengkelnya. Pak Dayak mendemokan skill menyetirnya mulai dari loss setir sampai maneuver ala pembalap. Yang menambah jantungan adalah medan alias jalan yang tidak melulu lurus tapi berkelok dan naik turun. Aku hanya bisa berteriak histeris seperti saat menaiki roller coaster. Gila!

Karena sudah berteman baik dengan orang tuaku, Pak Dayak mengundang kami ke rumahnya untuk melihat kelinci peliharaannya. Ya, Pak Dayak memang mengembangbiakkan kelinci untuk dijual atau untuk dikonsumsi sendiri. Benar, di halaman belakang rumahnya ada banyak anak hingga induk kelinci yang gendut. Ayahku pun membeli beberapa anak kelinci untuk dipelihara. Dari kunjungan itu pula aku tahu Pak Dayak memiliki seorang anak laki-laki. Joko namanya. Joko kesulitan berbicara. Meski begitu ia selalu menyambut kami dengan ramah, sama seperti keramahan ibunya menjamu kami saat bertamu ke rumahnya.

Melihat keluarga itu, aku seperti melihat potret keluarga kecil apa adanya. Ya, meski di sisi lain aku mengenal Pak Dayak adalah pemabuk sejati, tapi aku bisa melihat tanggung jawabnya pada keluarga tidak pernah lepas. Ia tetap bekerja, berusaha mencukupi keluarga kecilnya. Pak Dayak is a man with his own choices, stay with drunk and stay with family.

***

Aku mengenal mbah Isah, Bu Sum, dan Pak Dayak sejak usia 4 tahun hingga SMA sebelum kuliah di Surabaya. Ketiganya kini sudah tiada. Ada banyak cerita ‘miris’ yang sengaja tidak saya tuliskan di sini mengiringi kepergian ketiganya. Pada akhirnya aku hanya menulis, mengenang tiga orang di masa lalu yang pernah menjadi bagian masa kecilku.

Wednesday, May 8, 2013

Back to Nature


This is it, my runaway vacation. Honestly, I just try to escape from 'hectic' routines in Surabaya. Let say goodbye to lecture, script-shit (ups :D), works, and many many things left behind for a while.

I really miss fresh air and fresh water so much. Yeah, I think that's true when people say: you will never know how precious to breath with a good air in the village till you live in the city which is filled with poluted air.

I spent 4 days only in my hometown Magetan. Please give me additional time, hehe (dreaming!). For me, back to home means family, friends, and absolutely hangout quality time.

I am home, I back to nature. Strawberry field, rice field and pinery drive me crazy happy!










Dont be envy guys:)

Friday, May 3, 2013

I Will be Back

Produktivitas menulis saya beberapa bulan ini memang payah. Sebenarnya banyak hal yang harus saya tulis. Tapi kok ya lama-kelamaan menguap juga seiring berlalunya waktu. Ah, bullshit juga kalau menjadikan ke(sok)sibukan jadi excuse. I don’t agree even a bit with that.

Yosh, I will be back for blogging this month. Promise!

Party for Volunteers


Sorry I can't join this time guys, maybe next occasion. Hopefully you all enjoy the party.
*that invitation is self made.. hihi