Pages

Tuesday, May 14, 2013

Perfeksionis


Melihat deretan angka di kalender tak ubahnya seperti melihat rentetan tanggung jawab. Variatif. Ibarat toserba, semuanya ada. Kuliah, lab, skripsi, tugas, kuis, proyek media, majalah, tugas mengedit, dan kegiatan tak terduga lainnya menghiasi hari demi hari.

Celakanya, aku seperti orang yang lupa bagaimana bersyukur. Kalau dulu aku mengartikan rasa syukur sebagai 100% effort untuk berusaha tapi untuk saat ini definisi itu sepertinya masih sangat jauh dari kebutuhan.

Ketakutan pun muncul, sadar rutinitas tanpa menikmatinya ibarat pembunuh ketenangan batin. Ya, aku mungkin lupa definisi bagaimana menikmati jalannya proses. Padahal kian lama mencicipi hidup, aku kian paham bahwa tuntutan menuju kesempurnaan kian bertambah. Aku mulai mengenal makna perfeksionis lebih intim. Meski dulu, tuntutan dari dalam diri ’tak sampai segitu’nya.

Hal-hal kecil di sekitarku berubah. Aku terbiasa melakukan riset atas banyak hal sebelum meng-handle sebuah pekerjaan, aku kesulitan menerima kesalahan kecil, aku mulai melihat berbagai hal dengan kacamata yang mungkin lebih tebal dari orang lain, aku menjadi lebih jeli, dan mungkin lebih cerewet dalam berkomentar.

Aku tak ingin menyalahkan si perfeksionis. Bersamanya, aku bisa mengerjakan banyak hal dengan lebih baik. Tapi kadang kala, aku sendiri merasa enggan menghadapinya. Melelahkan dan sudah tentu butuh kesabaran ekstra. Kalau sudah jengkel, aku ingin membuangnya jauh-jauh ke laut. Kayak lirik lagu, cewek matre cewek matre ke laut aje ke laut aje!

But still you know, I am just a human. It is humane to be perfectionist. We are humanistic with everything on us.

Even, Sri Sultan Hamengkubuwono IX had ever showed this side. Arnold C Brackman, Head of American News Office - United Press invited him to his house while he was in America for medical check up. When Sri Sultan Hamengkubuwono IX had just arrived, spontaneously he had taken off his shoes then had taken a rest for a while. That’s very human accident.

That’s why Brackman said: “How is it possible that the country’s most feudal lord, Sri Sultan, is so unfeudal in his manner and thinking?”
-dikutip dari buku: masalalu selalu actual karya P.Sawantoro-

So, if I back to perfectionist wanna be, no matter what happen around, I will say: It’s humanistic!

No comments:

Post a Comment