Saya dan Eka, rekan sesama reporter ITS Online yang juga magang di Radar Surabaya berkesempatan meliput sesuatu ‘berbau’ Chinese. Daerah Kembang Jepung atau Kya-Kya adalah kawasan pecinan. Meski sekarang sudah tidak seramai dulu, atmosfer Chinese masih terasa. Tak lain karena keberadaan gapura naga serta kuil yang berlokasi tak jauh dari jalan utama Kembang Jepun. Menariknya, di malam hari juga terdapat peramal ulung. Untuk keperluan liputan, jadilah kami berdua mampir. So, this is our reportation!
Tetap Eksis jadi Peramal Nasib hingga Hong Sui
Tetap Eksis jadi Peramal Nasib hingga Hong Sui
Mr Lim |
Seorang pria berkulit putih dengan logat Hoakian lumayan kental tampak sibuk meramal nasib kliennya. Di sela-sela kesibukannya membaca nasib sang klien, sesekali ia membolak-balikkan buku Wan Nien Di. Dialah Mr Lim atau Jimmi, seorang peramal nasib dan Hong Sui yang masih eksis melakoni profesinya di tengah terpaan global hingga kini.
“Saya sudah menekuni profesi ini selama 40 tahun lebih,” terang pria yang akrab disapa Jimmi ini. Di awal perjalanan karirnya, Jimmi mengaku jika dulunya ia meramal secara keliling alias door to door di beberapa kota. “Sejak usia 18 tahun, saya mulai berkeliling meramal,” terangnya.
Bukan hal aneh jika Jimmi memilih meramal dengan cara demikian, melihat keadaan tersudutnya posisi warga keturunan Thionghoa di Indonesia saat itu. “Itu karena dulunya dilarang menampilkan identitas berbau Tiongkok,” terang pria kelahiran 3 Desember 1947 tersebut.
Namun menjadi peramal keliling tak membuat Jimmi minim pengalaman. Buktinya, ia sudah menyingahi beberapa kota di tanah air, diantaranya Bandung, Makassar, Papua, dan terakhir ia memilih menetap di Surabaya sejak 2003 lalu. Sejak memilih membuka praktek ramal di kawasan Kya-Kya, Kembang Jepun Surabaya, Jimmi menjadi cukup dikenal.
“Saya sudah menekuni profesi ini selama 40 tahun lebih,” terang pria yang akrab disapa Jimmi ini. Di awal perjalanan karirnya, Jimmi mengaku jika dulunya ia meramal secara keliling alias door to door di beberapa kota. “Sejak usia 18 tahun, saya mulai berkeliling meramal,” terangnya.
Bukan hal aneh jika Jimmi memilih meramal dengan cara demikian, melihat keadaan tersudutnya posisi warga keturunan Thionghoa di Indonesia saat itu. “Itu karena dulunya dilarang menampilkan identitas berbau Tiongkok,” terang pria kelahiran 3 Desember 1947 tersebut.
Namun menjadi peramal keliling tak membuat Jimmi minim pengalaman. Buktinya, ia sudah menyingahi beberapa kota di tanah air, diantaranya Bandung, Makassar, Papua, dan terakhir ia memilih menetap di Surabaya sejak 2003 lalu. Sejak memilih membuka praktek ramal di kawasan Kya-Kya, Kembang Jepun Surabaya, Jimmi menjadi cukup dikenal.
Meramal klien |
Eka mewawancarai Mr Lim |
Tak tanggung-tanggung, kliennya pun berasal dari berbagai kalangan, usia, dan etnis. “Tidak hanya etnis Thionghoa tapi sampai orang Madura juga ada,” kata Jimmi sambil tersenyum. Sampai saat ini Jimmi masih setia menetap di kawasan Kya-Kya meski kawasan tersebut tak seramai dan semegah dulu lagi.
Selain memiliki kemampuan meramal nasib, Jimmi alias Mr Lim juga memguasai ilmu Hong Sui atau tata letak ruangan. Khusus untuk konsultasi mengenai maslah ini, Jimmi memberlakukan tarif khusus.
Diakui Jimmi, kemahirannya meramal merupakan karunia dewi pengasih, Dewi Kwang In. “Kedua orang tua saya tidak ada yang bisa meramal,” terang pria kelahiran Bagan siapi-api, Sumatera Selatan ini. Diakui Jimmi jika sejak kecil, dirinya diasuh oleh sang paman karena kedua orang tuanya meninggal dunia. Di samping itu, Jimmi juga mengaku dirinya tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Kemampuan linguistik yang dimilikinya, seperti bahasa asing Jepang, Inggris, Mandarin, dan Hoakian dipelajari sendiri secara otodidak.
Menapaki usianya saat ini, Jimmi mengungkapkan, dirinya tidak memiliki cita-cita lagi, menurutnya mengabdi agar bisa membatu banyak orang sudah cukup. “Saya hanya ingin membantu orang lain untuk mengingat masa lalu dan membaca masa depan mereka,” tuturnya.
Selain memiliki kemampuan meramal nasib, Jimmi alias Mr Lim juga memguasai ilmu Hong Sui atau tata letak ruangan. Khusus untuk konsultasi mengenai maslah ini, Jimmi memberlakukan tarif khusus.
Diakui Jimmi, kemahirannya meramal merupakan karunia dewi pengasih, Dewi Kwang In. “Kedua orang tua saya tidak ada yang bisa meramal,” terang pria kelahiran Bagan siapi-api, Sumatera Selatan ini. Diakui Jimmi jika sejak kecil, dirinya diasuh oleh sang paman karena kedua orang tuanya meninggal dunia. Di samping itu, Jimmi juga mengaku dirinya tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Kemampuan linguistik yang dimilikinya, seperti bahasa asing Jepang, Inggris, Mandarin, dan Hoakian dipelajari sendiri secara otodidak.
Menapaki usianya saat ini, Jimmi mengungkapkan, dirinya tidak memiliki cita-cita lagi, menurutnya mengabdi agar bisa membatu banyak orang sudah cukup. “Saya hanya ingin membantu orang lain untuk mengingat masa lalu dan membaca masa depan mereka,” tuturnya.
No comments:
Post a Comment