Pages

Monday, October 9, 2017

Lapangan

Hello good people! Good for me karena muncul satu lagi mood nulis. Dari judulnya ‘lapangan’ kira-kira ada yang bisa nebak nggak saya bakalan nulis apa di postingan kali ini? Yang jelas bukan karena demam bola terus tiba-tiba muncul kata lapangan di sini ya.

Lapangan bagi saya adalah saat terbaik untuk refreshing. Di tempat kerja saya sekarang memang agak unik sih work process-nya. Meskipun secara umum kita bergerak di bidang sales, but we are more than selling something! Dari produknya saja sebenernya sudah unik. Kita menawarkan sistem arisan. Arisan system is the product itself. So, kita nggak nyeles peralatan rumah tangga dan elektronik ya! Kita menawarkan sistem arisan yang notabene Indonesia banget untuk meringankan beban rekan-rekan kita dalam mengakses barang.

Kenapa harus arisan? Sudah saya sebutkan di awal, arisan itu Indonesia banget. Cuma di Indonesia kita bisa dapat sesuatu dengan dibayarin temen-temen lainnya dulu. Tengok arisan uang. Cuma di Indonesia yang kalau orang ikutan Rp 10.000 tapi anggota arisannya ada 100 terus ‘lucky’ dapat kocokan pertama, tuh uang jamaah arisan bisa pindah tangan 1 juta. Anggota lainnya gimana? Ada yang protes? Ikhlas semua bray! Cuma di Indonesia kita bisa nemu yang begituan.

So, apa sih yang ingin dicapai di sini lewat arisan? Banyak banget! Paling penting sih yang menjadi tujuan kita adalah membantu masyarakat mencapai hidup mapan. Kok bisa? Yes, dengan menumbuhkan semangat gotong-royong alias kebersamaan, apapun jadi terjangkau.

Let me explain more about us ya. We are Mapan. The product is arisan Mapan. Untuk saat ini kita memfasilitasi anggota kita yang jumlahnya hampir 1 juta anggota tersebar di Jawa Bali untuk mendapatkan akses barang dengan harga terjangkau. Tentunya lewat arisan ya.

Kita memberikan pilihan lain bagi masyarakat yang kesulitan mengakses barang. Selama ini mereka hanya mengenal sistem kredit ataupun cash untuk membeli barang. Seperti yang kita tahu, butuh prosedur yang njelimet untuk acc pengajuan kredit, belum lagi harga plus bunga yang harus dibayar lumayan tinggi, kalau macet pun ada sistem tarik barang. Bagaimana dengan beli cash? Daya beli masyarakat tidaklah sama. Satu keluarga berpenghasilan tetap mungkin butuh 1-2 bulan menabung untuk membeli mesin cuci atau kulkas baru. Bagaimana dengan keluarga lainnya? Bisa jadi setelah 1 tahun mereka baru bisa menabung.

Itu terkait penghasilan. Next, daya beli ada tetapi akses susah. Apakah ada jasa pengiriman yang rela nganterin barang ke rumah konsumen yang untuk menuju ke sana harus menuruni 600 anak tangga? Kalau ada, itu hanya ada di Mapan. Bayangkan, logistik kita ngirim barang dropship kasur dan lemari rakitan ke Kampung Naga dengan menuruni 600 anak tangga tadi. Saking antusiasnya ada perusahaan yang mau ngirim barang besar ke kampung mereka untuk pertama kali, penduduknya rame-rame bantuin kurir kita untuk ngangkut barang. How beautiful!! Happiness is simple rite? Bagi masyarakat yang punya kemudahan akses macam kota besar tidak akan se-hype itu menerima kiriman barang berupa kasur atau lemari ke rumah. Tapi bagi saudara kita di tempat lain, it means something!

Kalau dari sisi logistik mereka fokus untuk pengiriman barang, tentunya ada peran besar dari teman-teman sales (istilah internal kita penyuluh) yang berhasil meyakinkan masyarakat agar mereka terbantu dan mencapai hidup mapan. Karena bisa jadi, definisi hidup mapan bagi seorang ibu rumah tangga adalah hanya dengan memiliki mesin cuci untuk meringankan pekerjaan rumah tangganya. Bisa jadi membeli mesin jahit terbaru juga sudah cukup menjadikan seorang ibu penjahit merasa mapan. It’s so simple. Bukan mobil atau apartemen mewah yang mereka butuhkan untuk menjadi mapan. 

Ada juga 1001 cerita perjuangan penyuluh saat mengedukasi masyarakat untuk bergabung dengan Mapan yang tidak kalah menarik. Lapangan bagi penyuluh antara lain kantor kelurahan, rumah ibu RT RW, PAUD/TK, lapak pengusaha online, sampai rumah ibu-ibu rumah tangga biasa.

Office view saya saat tandem di lapangan dengan mereka berbeda-beda setiap harinya. Kadang mapping di area yang penduduknya petani, buruh pabrik, pegawai, sampai nelayan. Random banget tapi merekalah segmentasi target market kita.

Bagi saya pribadi, yang paling berharga adalah setiap dari mereka punya ceritanya masing-masing. Seperti yang saya singgung di awal, work process kita unik. Sebelum kita ngobrolin arisan, sudah menjadi hal wajib untuk connect terlebih dahulu dengan calon konsumen.

Kita gali apa yang menjadi permasalahan mereka dalam hal akses barang. Good news kalau kita bisa jadi solusi dari permasalahan mereka but sometimes we can’t help. Pernah dengar curhatan petani yang gagal panen? Pernah dengan curhatan paceklik ikan yang dialami nelayan hampir 2 tahun lamanya? Pernah dengar cerita keluarga yang bangkrut karena hutang koperasi menumpuk? We can’t get those kind of stories unless we are connected with them. Dan itu yang membuat saya merasa fresh setelah dari lapangan. Cerita yang saya bawa pulang membuat saya merasa ‘kaya’. Jadi ngerasa makin bersyukur bray!

Kalau kata CEO kita, Capt Aldi, Indonesia masih punya banyak pe-er. Kalau masyarakatnya bergerak sendiri-sendiri ala-ala kapitalis, kita nggak akan bisa karena kita bukan Amerika. Mau pakai paham komunis kayak Cina juga nggak bakalan bisa. Kita punya semangat Pancasila, yang paling masuk akal adalah menghidupkan kembali semangat gotong-royong. Karena apa? Karena kita Indonesia bukan Amerika apalagi Cina!

Next time ada cerita 50 juta anggota mapan. Ditunggu ya fellas!

No comments:

Post a Comment