Selama kuliah ini, sejak maba hingga sekarang berada di tingkat akhir, saya kerap pulang malam dari kampus. Bahkan pernah juga pulang pagi. Jelas itu tidak baik, apalagi saya perempuan. Namun apa daya, karena berbagai kepentingan, saya tetap tak bisa menghindari hal tersebut.
Bodohnya saya adalah kerap melupakan nikmat besar tiba di rumah dengan selamat. Tak terhitung sudah berapa kali saya menyaksikan banyak kecelakaan terjadi saat tengah dalam perjalanan pulang-pergi rumah-kampus.
Tadi malam sepulang dari rapat buku djoeang, saya kembali mendapati kejadian nahas menimpa seorang wanita. Ia dijambret di Jalan Indrapura dekat Giant Rajawali saat mengendarai motor. Saat penjambret yang juga mengendarai motor hendak meraih tas si wanita, rupanya ia ikut terseret. Akibatnya, perempuan muda itu terjatuh dan terpental jauh dari motornya.
Seketika itu pula terbayang kekhawatiran orang tua saat menunggu saya pulang ke rumah. "Pulang jam berapa? Jangan malam-malam," bunyi sebuah pesan yang lebih sering saya abaikan karena (sok) punya kesibukan.
Kalau kebetulan ibu sedang berada di Surabaya, beliau selalu mengantar saya hingga depan gang. Tak lupa mengingatkan agar berhati-hati dan berdoa sepanjang perjalanan. Hal yang biasanya saya lakukan memang berdoa sebelum berangkat tapi setelah itu saya menyumbat telinga dengan lagu sambil bergumam melantukan lirik demi lirik.
Dulu, saat masih SMA pun saya kerap pula pulang malam. Saat booming-boomingnya internet, waktu di malam hari kerap dihabiskan di warnet. Bisa dibayangkan, berhadapan dengan internet saya rasa siapa pun jadi lupa waktu. Yang sering terjadi adalah ibu tertidur di hadapan TV menunggu saya pulang. Mengingat hal itu, saya jadi merasa bersalah.
Namun beliau tidak pernah memarahi saya karena hal itu. Pun demikian halnya dengan ayah. Beliau sedikitpun tidak pernah marah. Saya yang saat itu masih SMA belum bisa membaca kekhawatiran orang tua.
Maklum, sejak kecil orang tua saya memang membebaskan saya dalam berbagai hal. Mereka membiarkan saya bermain hingga larut malam, membiarkan saya tidak belajar, membiarkan saya bergaul dengan siapa pun, membiarkan saya menempuh pendidikan formal hingga bangku kuliah, membiarkan saya pulang larut malam, dan membiarkan saya memilih apa pun sekehendak hati.
Tetapi semakin dewasa, agaknya saya kian paham arti di balik kebebasan itu. Kebebasan adalah kepercayaan. Keduanya mempercayai saya sepenuhnya bahwa saya bertanggung jawab penuh atas setiap pilihan sendiri.
Saya pun mulai paham, kebebasan yang saya rasakan kadang kala berbalut kekhawatiran di hati keduanya. Mungkin sengaja tidak ditunjukkan tapi orang tua tetaplah orang tua. Mereka tidak akan pernah berhenti mengkhawatirkan keselamatan dan kebahagiaan putra-putrinya hingga kapan pun. Karena sejatinya, cinta orang tua kepada anak sangat jauh berbeda dengan cinta anak kepada orang tua.
Orang tua : "Nanti kalau sudah tiba di Surabaya langsung telefon ya?"
si Anak : "Iya."
Setiba di Surabaya si anak lupa memberi kabar kepada orang tuanya.
Orang tua (menelepon duluan) : "Hallo, gimana Nak? Sudah selamat sampai Surabaya?"
si Anak : (tanpa perasaan bersalah) "Alhamdulillah sudah."
Terima kasih teruntuk ummi dan abah yang dengan sabar membesarkan saya dan memberikan kebebasan ini. Semoga bisa menggunakannya dengan amanah.
kita,nanti menjadi seperti mereka,insyaAllah :)
ReplyDeleteinsyaAllah nggih mas isma:D
Deleteso sweaatt...
ReplyDeletegue yang sweeeet ya nyip? hehehe
Deletegreat one! well done Upik!
ReplyDelete