Pages

Wednesday, May 16, 2012

Cak! Becak!


Lepas maghrib, saya bersama ibu sudah siap-siap mau ke pondok. Ada peringatan 1000 hari wafatnya Romo Kyai Asrori. Di luar dugaan budhe saya juga ikut. Okelah no problemo karena sedari awal memang diniati akan naik becak. Bertiga dalam satu becak? Cukuplah.

Saat berangkat perjalanan lancar. Hanya saja sempat terjebak macet di kawasan Wonokusumo. Maklum jalan seiprit begitu, yang lewat naujubillah! Komposisi duduk kami saat itu: ibu saya di sebelah kanan, saya di tengah, dan budhe di kiri. Saya duduk agak condong ke depan makanya ibu jadi agak khawatir. Takut saya nyolot ke depan pas becak kami melewati jalanan yang tidak rata (atau rusak? Hehe). Sekali lagi saya katakan, perjalanan berangkat menuju TKP lancar-lancar saja. Aman man man man!

Lantas bagaimana dengan perjalanan pulang? Kira-kira jam 9 malam, kami meninggalkan pondok. Berangkat naik becak pasti pulang juga naik becak. Buat saya yang setiap hari mengendarai motor, hal ini bisa dianggap refreshing. Anggap saja jalan-jalan pakai becak. Refreshing saat perjalanan pulang malam itu, benar-benar tidak akan saya lupakan. Pasti!

Layaknya calon penumpang pada umumnya, kami memulai transaksi dengan agenda tawar-menawar. Tak butuh waktu lama, cukup lima menit, urusan ongkos sudah deal. Simpel! Maklum yang nawar emak-emak (bukan saya lho! Sapaan itu hanya akan saya terima saat menjalankan tugas sebagai korlip).

Yak, let’s start our vacation! Komposisi masih seperti tadi. Tak ketinggalan, ibu saya memegangi lengan saya erat-erat karena alasan yang sudah disebutkan di atas.

Belum ada lima menit, kami serasa menaiki rodeo. Kami dibuat tak tenang tiap ada jalanan tak rata, polisi tidur, cekungan, batu,  dan sejenisnya. Gila! ‘smooth’nya naik becak yang ingin saya rasakan justru hancur berkeping-keping karena si abang becak ini. Ibu saya yang sedari awal memegangi lengan saya, jadi bertambah kuat saja genggamannya. Sampai saya mengeluh ‘ngilu’ barulah beliau agak melonggarkan sedikit genggamannya tadi. Tapi tak berapa lama, makin kuat saja genggamannya. Saya menyerah, biarlah ngilu sejenak sampai nanti tiba di rumah (masih sekitar 10 menit perjalanan meeen!)

Ini becak emang (agak) kurang tahu aturan kayaknya. Termasuk etika dalam menenangkan penumpang. Sumpah, yang membuat kami shock adalah saat di perempatan lampu merah daerah Sidorame. Sudah tahu lampu merah menyala dan mau belok kanan, eh dia dengan pedenya melakukan manuver layaknya pembalap F1 ato motoGP. Gendheng!

Saya yang awalnya masih ketawa-ketiwi menghibur diri agar tidak terlalu stress, mendadak kaget. Siapa yang  tidak shock, melihat banyak kendaraan dari kanan melaju kencang sementara kami dengan santainya diumpankan oleh si abang becak sebagai permodelan penumpang yang diajak manuver? Alhamdulillah kami masih diberi keselamatan.

Sebenarnya Ibu dan budhe saya sudah komplain berkali-kali sama si abang becak yang bisa dibilang agak muda ini. Berkali-kali juga mengingatkan kalau keselamatan adalah hal utama. Eh, si abang becak malah balik cerita soal keprofesionalannya mengendarai becak. “Saya ini sudah sering ikut lombanya pemerintah, balapan becak, menang terus. Dapet lemari, macem-macem pokoknya,” ujarnya bangga.

Budhe sama ibu saya tertawa mendengar jawaban itu. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala.  “Ya itu kan kalau becaknya kosong bisa balapan!” timpal keduanya.

*Daripada naik roller coaster, lebih seru naik becak ini menurut saya.Bayangkan, tanpa pengaman, bisa merasakan sensasi manuver serta bisa duduk di posisi strategis: di tengah dan agak condong ke depan. Mantab! Mantab ngawure Cak Becak!

1 comment:

  1. agagagagagagag....ngakak baca ni posting...mpe gw bayangin lw duduk mucuk dicepit 2 ibu-ibu...ditambah lg soal abang becak yg cerita soal keprofesionalannya mengendarai becak...wkakkakakakak...brasaa banggaa bgt gtuh...

    syukurlah selamat sampai tujuan pik ^^

    ReplyDelete