Pages

Thursday, September 29, 2011

Rumah Sakit

Rumah sakit itu tempat yang menakutkan, tempat yang bikin mual perut karena bau obat-obatan menyengat disana-sini. Jujur saja, saya adalah orang yang paling anti berkunjung ke tempat satu ini, kecuali untuk urusan yang benar-benar urgent alias genting, misalnya saja menjenguk orang sakit.

Di luar dugaan, saya harus menginap di tempat bernama rumah sakit selama empat hari. Diagnosa dari dr Daniel yang sekaligus dibuktikan lewat hasil lab berupa tes darah, sukses mengantar saya ke tempat yang sangat ingin dihindari. Ya, tempat orang-orang sakit alias rumah sakit. Mendengar anjuran atau lebih tepat lagi suruhan agar saya opname membuat saya shock. Saya panik alang-kepalang ibarat orang tersengat aliran listrik.

Baru mendengar saran dokter saja, pikiran ini sudah terbang kemana-mana. Apa jadinya kalau tinggal di rumah sakit? Obat, suntik, infus, dan bermalam disana? Tidaaaaak!!! Sedikit pun tak terbayangkan sebelumnya.

Kakak saya merespon cepat, menelepon orang tua nun jauh di sana, berkonsultasi kepada kakak yang satu lagi, bertanya saya akan dibawa ke rumah sakit mana. Tak cukup itu, ia juga meminta bantuan pakde, budhe, serta sepupu untuk mengantar sampai mengurusi administrasi masuk rumah sakit. Demikian urgent kah kondisi saya hingga urusan masuk rumah sakit bisa menjadi demikian kompleks?


“Saya nggak mau masuk rumah sakit,” itulah kalimat yang terucap. Tapi nyatanya, penolakan seperti apapun caranya ternyata tidak mempan mencegah saya untuk tidak opname. Meski saya sempat merengek sampai menangis, berusaha menjelaskan kepada mereka kalau saya sehat dan cukup istirahat di rumah. Memang saat itu saya merasa tidak ada keluhan berarti. Tapi empat hari sebelumnya, badan ini lemas, menggigil karena demam sampai muntah-muntah. Dan jadilah saya harus opname di RS Al-Irsyad, Surabaya. Kemudahan akses dan kenyamanan, itulah yang menjadi pertimbangan kakak saya memilih rumah sakit satu ini. Tiba di rumah sakit, saya langsung dibawa ke UGD untuk diperiksa, tentunya setelah sang dokter membaca surat rujukan terlebih dahulu.

Tak ada yang saya ketahui sedikit pun mengenai isi surat rujukan tersebut. Hanya saja sang dokter menerangkan bahwa saya terserang gejala Demam Berdarah (DB). Trombosit yang terkandung dalam darah, drop separuh dari jumlah minimum untuk ukuran orang normal, yang jumlah seharusnya berkisar sekitar 120-150 ribu. Itulah alasan utama kenapa saya harus opname. Bila trombosit turun di bawah 20ribu maka akan terjadi pendarahan. Dan hal itulah yang terjadi pada kakak kandung saya, Ummamah ketika  masih kecil, yang pada akhirnya tak mampu tertolong. Kedua orang tua saya panik saat mengetahui saya terserang gejala DB. Langsung saja keduanya meluncur ke Surabaya lepas menerima kabar dari kakak.

Pergelangan saya sudah dililit infus. Mengingat bagaimana jarum itu dipaksa masuk ke nadi rasanya mengerikan. Kalau tidak pas, si perawat akan mencari celah lainnya. Lalu ditusukkan lah jarum itu lagi dan lagi. Badan saya juga sudah merebah di ranjang. Merasakan benar-benar, demikiankah rasanya jika harus bermalam di rumah sakit? Untunglah tidak ada bau obat menyengat di ruangan yang saya tempati. Saya juga teringat, beberapa saat setelah masuk kamar, tiba-tiba lewat beberapa perawat mendorong hospital bed dari ruangan lainnya. Rupanya baru saja ada orang meninggal. Innalillahi. Itulah rupa pertama yang saya kenal dari tempat bernama rumah sakit.

Rutinitas harian saya kala itu hanya berkutat soal makan teratur, minum obat, tes darah, suntik berkali-kali, kontrol tensi, dan pemeriksaaan dokter.  Setiap malamnya saya harus terbangun karena perawat kerap memberi suntikan obat sekitar pukul 2 dini hari. Pernah juga, pemeriksaan tes darah  dilakukan di jam tersebut. Saya kurang tahu pasti kenapa,mungkin sudah ada schedule untuk itu.

Satu, dua, tiga, dan seterusnya, infus saya habis. Saat kehabisan infus, tengah malam pun mereka (para perawat) selalu rajin mengganti. Luar biasa dedikasi para perawat itu atas pekerjaan mereka. Saya kagum dibuatnya. Terima kasih ibu-ibu dan kakak-kakak perawat;)

Dokter saya mengontrol sehari dua kali. Biasanya di waktu pagi dan malam hari. Seperti biasa pula, senyumnya selalu tersungging di awal ia menemui pasiennya. Melihatnya datang untuk memeriksa saya, rasanya dag dig dug. Saya sudah tak sabar ingin segera pulang. Di setiap jam pemeriksaan itu pula, saya menantikannya berujar ‘’Adik sudah bisa pulang.’’ Alhamdulillah, kalimat itu keluar setelah saya empat hari menginap di rumah sakit.

Special thanks to:
Allah SWT atas segalanya
Ummi yang sudah menemani saya penuh di rumah sakit, yang mencurahkan kasih sayangnya lebih dan sangat-sangat lebih buat saya
Abah yang selalu saya bikin khawatir meski lebih memilih tersenyum di depan saya
Kakak-kakak yang mau bolak-balik ke rumah sakit dan sering bawain saya makanan enak-enak
Ponakan-ponakan yang meramaikan hari-hari saya selama di rumah sakit dan bisa bikin saya ketawa lepas meski dalam keadaan sakit
Semua orang yang sudah jenguk saya
Semua orang yang sudah doain saya

Surabaya, 2010

No comments:

Post a Comment