Pages
Wednesday, August 17, 2011
Seni Menertawakan Diri (2)
Dufan di depan mata? Matanya siapa? Matanya Kingkong?
Di peta, jalan itu lurus terus, memotong kawasan Jakarta Pusat sampai di ujung peta, ANCOL, Jakarta utara. Sekali lagi, peta tak semanis apa yang tertera. Jalan lurus ini penuh dengan kemacetan luar biasa ditambah dengan lampu merah yang angkanya sampai 150 detik! Menunggu dari merah menjadi hijau pun bisa disambi dengan ngopi sejenak.
Satu lebih seperempat jam kita baru sampai di depan. Warna punggung kaki dan telapak tangan saya memikri, dari sawo busuk menjadi semakin busuk. Sementara pantat saya seolah sudah menjadi cetakan sama dengan tekstur jok sepeda ini. Benar-benar sempurna!
¬¬¬¬¬¬¬
Di Dufan.
“Nggak pengen nyoba lagi?” tanya Mas Dede, aktor utama cerita ini pasca diputar-putar oleh wahana Halilintar, kereta ekspres setengah menit.
“Boleh, tapi nanti saja,” ujarku ringan sambil menahan tawa selepas melihat muka Lutfia yang merah padam, mirip kepiting rebus dengan saus tomat, haha.
Adrenalinku dipaksa keluar bebas. Mengingat momen tiba-tiba terjun bebas dari ketinggian sekitar 10 meter atau saat kepala di kaki, kepala di kaki (Peterpan poenya). Padahal, rencana awalnya, saya mau memotret ekspresi Mas Dede dalam wahana halilintar yang mirip ulat bulu bingung jalan ini.
Tak tahunya, jangankan memotret, menahan jantung supaya tidak serampangan berdetak saja, susah. Tahu-tahu, setengah menit dalam lintasan, sudah cukup membuat fisik kita shock. (#katrok1). Di sepanjang jalan, kita sering memutar ulang humor ini, simak yak.
Ada seorang anak kecil yang sangat ingin naik wahana ini. Pasca antre, tibalah giliran dia. Pas safety beltnya sudah dipasang, tiba-tiba mukanya mendadak pucat. Dirinya berubah pikiran. Kepalanya galau akut, terlebih saat melihat tingginya lintasan di belakangnya dan kelokan yang akan dilaluinya. Ia berontak tak ingin meluncur. Ia menangis keras, merintih ketakutan.
“Ma...aku nggak mau naik,” rintihannya berkali-kali.
Tapi nasi sudah menjadi bubur ayam (yummiee...), safety belt sudah terpasang otomatis, tidak bisa dibuka kembali. Tak sampai 15 detik, kereta ekspres ini pun meluncur secepat kecepatan cahaya (#lebai4). Apakah yang terjadi dengan anak tadi?
“Hahaha...” tawa khas Mas Dede mengawali jawabannya.
“Anaknya pasti nangis-nangis terus sepanjang lintasan, hahaha,” jawabnya diakhiri tawa pula. Eits, ini tertawanya masih bersambung.
“Salah Mas. Pasti sepanjang lintasan dia nggak bersuara sama sekali,” jawabku ringan.
“Kok bisa?”
“Ya iya lah, lha sepanjang lintasan pasti dia sudah tak sadarkan diri alias pingsan gini, hahaha,” candaku dengan memasang muka orang pingsan (untuk bagian ini tidak usah dibayangkan). Memang, menari di atas penderitaan orang lain itu (seharusnya tidak) menyenangkan.
Dalam ketinggian ±60 meter di atas tanah, Bianglala, mirip roda raksasa yang dicenteli manusia di sisinya.
“£$%^&*()&%%$,”
Tahu bahasa apa itu? Alien dari Pluto pun pasti tidak faham. Dan itu adalah bahasa yang digunakan si Lutfia dalam beberapa komunikasi telephone dengan entah siapapun itu. Kini, di atas wahana yang minta ampun tingginya, di sebelah pemuda pemudi Jakarta yang lu-gue, dia malah bergumam dengan bahasa yang tak satu frase pun saya pahami. Ah, biarin.
“Wow, tingginya. Lihat, di sana ada gugusan pulau yang terlihat. Mungkin itu Kepulauan Seribu?” batinku. Tidak ada yang menanggapi. Ya iya lah, lha di batin saja.
Angin bersemilir. Cukup kencang. Wahana selebar kurang dari tiga meter ini bergoyang. Saya panik, walaupun pasang muka cool. Saya takut jika center of gravity (CG) benda ini berpindah. Bayangkan, dengan enam orang di dalamnya dengan beragam massanya, pasti dengan mudah CG berpindah-pindah. Dan kalau sampai ada yang panik (gara-gara ketinggian mungkin?), bisa berabe!
“Untung mas Dede nggak jadi ikut main ke sini. Kalau sampe ikut? Ah, gampang. Di samping sana ka nada kolam, tinggal lempar, haha” (tapi ini beneran lho mas, haha)
Mata saya beraksi, benda ini hanya disangga dengan sebatang poros. Itu pun hanya disambung dengan tiga baut yang tak terlampau besar. Ditambah dengan brake dan bantalan “apa adanya”, batinku. Tapi kok stabil menahan enam orang di dalamnya? Pasti salah satunya, material baja yang digunakan memiliki Yield Strengh yang tinggi (sok2an, hehe).
Di wahana Alap-alap, mirip Halilintar skala anak kecil (kan kita juga anak-anak :P).
Setelah setengah putaran, wahana berkelok tajam memperbesar gaya gesek pantat. Tanpa aba-aba, tubuh orang di sebelah saya meluncur bebas menabrak badanku yang kurus kering ini. Tanpa rem, langsung main tubruk! Brakkkk!
“Hahahahahaha....”
Tawa belum selesai, tak sampai sedetik kemudian, wahana berbelok tajam lagi. Tubrukan terjadi lebih keras, BRAAKKK!
“Hahahahahaha.....”
Belum sampai menutup mulut, Braaaakkkkk! Berulang sampai empat kali, dengan tawa yang sama. Tawa khas. Bebas. Datar. Tanpa intonasi naik atau pun turun. Seperti orang ngomong “Hahahaha” berulang kali dengan sangat keras.
“Hahaaa...hahaaa...., waduh-waduh, perutku sakit...,” Mas Dede mulai menyerah dengan tawanya, sementara saya semakin kesakitan.
Brakkk! Hahaaha Brakkkkk! Hahaha. Ternyata wahana ini masih berputar lagi sampai tiga kali. Dan tubuh saya pun semakin remuk, sementara orang di sebalah saya tertawa bahagia sejahtera. Sementara dua orang di depan saya (Lutfia salah satunya), juga ikut tertawa keras sepanjang wahana. Kok hobi sekali menertawakan penderitaan orang lain?
“Hahahaha...,” tawa Mas Dede belum selesai walaupun wahana sudah berhenti.
“Rasanya puas sekali menabrak kami, digencet loss tanpa rem, bahkan tangan kanan saya ikut mbantu menambah gaya, hahahaha”
“Nggak seru ya wahananya. Seruan tawanya Mas Dede, sepanjang putaran tadi sebenarnya cuman menertawakan gaya tertawanya Mas Dede, hahaha” Luftia pun ikutan tertawa. Hyahhh...Sementara saya memegangi bahu saya yang terjepit berkali-kali (#merana). Ingat, ini adalah bagian paling berkesan selama di Dufan, mengingat-ngingat tawanya Mas Dede membuat dunia semakin cerah! Suer!
Di wahana Kicir-kicir, saat seluruh tubuhmu diputar-putar tak tentu arah. Saat kaki bisa jadi kepala, dan otak jadi dengkul, haha. Tak satupun dari kru ekspedisi jelajah Dufan yang berani naik di sini. Mas Dede dengan alasan klasik, takut ketinggian, sementara Lutfia tak jauh beda, bisa muntah kalau diputer-puter. Terbukti, tanpa harus antre lama-lama, saya langsung bisa naik. Dari sini saya berkesimpulan bahwa wahana yang memacu adrenalin cenderung tidak begitu laku. Padahal kan itu terapi praktis hipertensi (#ngawur).
Sesaat sebelum naik.
“Busyettt, tinggi sekali. Menakutkan!” batinku minder akut, juga takut. Sempat terpikir untuk putar balik dan tidak jadi naik, daripada saya pingsan di atas sana? Ah, biarin, daripada saya ditertawakan gara-gara tidak jadi naik? Nekad, BONEK!
Benar, ini adalah wahana yang paling membuat saya jantungan. Bisa dibayangkan, saat kaki tiba-tiba berada di atas. Atau saat tubuh menghadap ke atas dan diputar berkebalikan dengan mengangkat kaki terlebih dahulu. Wow! Bahkan, pasca naik ini, tangan saya sampai gemetaran sampai beberapa menit (#katrok2).
“Hahaha...,” Mas Dede kembali menertawakan saya karena diminta motret, eh malah tangan saya nggak bisa diam, bergetar terus.
Mengantre di wahana Arung Jeram. Sama dengan namanya, hanya sungainya ini didesain manusia, lengkap dengan airnya yang mengalir deras. Entah berapa debit air yang dipompa setiap jamnya. Mirip sekali dengan arus air arung jeram alami.
Pikiran saya pun dipenuhi dengan air bah, membayangkan bagaimana gulungan air itu tumbah dan mengenai baju saya satu-satunya, saya tidak membawa ganti saudar? Antara maju atau mundur, namun karena sudah terlanjur antre seperseratus hari, jadi kudu pasang paying, mantel hujan, kalau perlu pakai lotion anti air, haha. Dan faktanya.
Kaki kananku melangkah pelan, tujuh tempat duduk manis menunggui kita. Selain manis, wahana mirip piring hanyut ini juga basah kuyup. Jaket saya ikat kencang-kencang, sementara tas mini saya masukkan di depan perut, jadinya mirip kucing hamil kedinginan. Wahana berjalan pelan, masih slow motion.
“Aaahhhhhhrggggg,” siulan antara tertawa dengan khawatir. Bukan sensasi jeram yang menyeramkan namun lebih karena ketakutan kalau air bah sampai masuk ke dalam sini. Bencana.
“Byaarrr”. Kelokan pertama sukses memasukkan air bah entah berapa ember ke celana saya.
“Argggg.....”
“Hahaha....” tawa khas Mas Dede berkumandang syahdu. Tak sampai sedetik kemudian.
“Croooottt”. Semprotan mancur tepat mengenai mukaku dari tadi. Dan sekali lagi, saya menjadi bahan tertawaan jamaah.
“Byaaaaaarrrrrrr!!!” Bancana alam terjadi! Tsunami setinggi setengah meter menyapu celana saya dari belakang.
Akhirnya saya pun harus basah kuyup dan PASRAH! Yang pasti di depan sana pun tidak akan menyediakan hair dryer apalagi body dryer.
Wahana berhenti, lintasan sudah selesai. Muka saya pucat pasi. Sementara dua orang di sana tertawa geli, mereka tidak basah berarti. Lha saya? Duh, nasib. Padahal kita belum sholat maghrib. Dan saya pun belum makan seharian (baru sarapan sekali). Penderitaan sempurna!
¬¬¬¬¬
“Berapa mbak?”
“Delapan puluh ribu sekiannn rupiah,” mataku mendelik, hatiku memelas, pikiranku berputar.
“Wah, penipuan besar! Padahal tertera harganya 18 ribu unutk ayamnya. Eh itu untuk bayar ayam saja, belum termasuk nasi, sambel, kemangi, minuman, kertas minyak, piring, sampai mungkin tusuk gigi juga dijual terpisah semua!”
Jus melon seharga 16 ribu! Seharusnya saya bawa jus dari keputih, bisa disimpan tiga hari sampai kembung. Nasi 6 ribu. Saya merasa bersalah sekali sama Mas Dede. Lagi-lagi kita ditraktir sama dia tanpa mengeluh sama sekali. Tapi senyuman Mas Dede mendadak berubah menjadi senyuman malaikat (wowow!), sembari bergumam ringan.
“Pelanggaran, semua dijual terpisah”
Oh, Mas Dede so(k) sweet (#jeritanfans)
Jujur terlampau panjang cerita di Dufan, bisa-bisa kalau diteruskan dapat dikumpulkan menjadi novel berjudul : Dede And His Smile :-). Special thanks to Mr. Dede Wahyu Kurniawan, insya Allah lain waktu kita akan membalas jasa sampeyan (ini komitmen kita, hehe).
Saksikan episode selanjutnya :-)
ditulis oleh Nur Huda
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment