Pages

Tuesday, May 17, 2011

Riwayat Hidup Singkat Pram

adalah tulisan asli Pramoedya yang diberikan kepada Koesalah pada 19 Mei 1996

Masa Kecil

Waktu kecil aku jadi anak kalahan. Naikin layangan nggak bisa. Main gundu kalh melulu. Main gaple kalahan. Apa saja kalahan.
 
Zaman Jepang

Begitu Jepang datang, kehidupan macet. Pasar tak ada lagi, toko-toko tutup, barang tak ada. Harga-harga melonjak. Harga beras naik sampai tiga sen seliter.
 
Uang sama sekali tak masuk dalam keluarga. Terpaksa aku jualan, buat menghidupi adik-adik. Apa saja aku jual: tembakau, benang lawe, piring. Barang-barang itu aku beli dari mana saja: dari Blora sendiri, dari Cepu, dari tempat-tempat lain. Waktu itu orang jual apa saja dan butuh apa saja. Jadi jual apa saja laku.
 
Banyak orang menjual barang rampokan dari toko-toko Cina dengan harga murah. Aku beli barang-barang itu. Aku beli juga cangkir-cangkir servis (cangkir saji) dari perak, yang bagus-bagus. Barang-barang itu nggak aku jual lagi. Aku kumpulkan khusus buat ibu. Tapi waktu ibu meninggal, habis semua, satupun nggak ada sisa.
 
Waktu itu aku dengar desas-desus, bapak mau kawin lagi. Itu rupanya sebabnya maka aku sama Pra mesti keluar dari rumah. Memang bapak nggak mengucapkan itu. Kami dibelikan dua karcis ke Jakarta, jadi kami berangkat.
 
Jadi orang yang paling berjasa sama aku itu Om Dig. Sama Om Dig aku dibawa ke Taman Siswa. Hubungan Om Dig sama Taman Siswa baik sekali.
 
Nah di sana itu ada mesin tulis nganggur. Aku pakai belajar ketak-ketik. Satu minggu! Lantas aku nglamar jadi tukang ketik di Kantor Berita Domei. Diterima. Kepalanya orang Jepang. Ngomongnya Inggris. Aku jawab saja terus dengan kata  “Yes, yes!”
 
Di Penjara Belanda

Di penjara Belanda itu bebas sekali. Perpustakaan ada. Buku boleh masuk. Malah majalah dan koran Republik boleh masuk. Aku belajar ekonomi di sana.
 
Kalau dipekerjakan, dapat upah sejam delapan sen. Sehari kerja tiga jam, jadi dapat 24 sen. Dengan uang itu bisa beli buku-buku lewat Komite Korban Perang. Yang biasa datang Erna Djajadiningrat. Komite itu dibentuk atas inisiatif mastarakat, tidak berpihak, semata-mata untuk kebutuhan kemanusiaan.
 
Aku kerja nyingkirin besi-besi bekas alat-alat berat. Juga mbabati (memotong) alang-alang di Lapangan Gambir, Lapangan Terbang Kemayoran, dan Jatinegara.
 
Pernah teman-teman sepakat menolak kerja paksa. Diputuskan besok nggak ada yang kerja. Tapi sampai waktunya, ternyata semua menerima kerja. Tinggal aku sendirian.
 
Aku dipanggil.
“Kamu menolak kerja?” aku ditanya.
“Ya, saya menolak kerja,” aku jawab.
“Masuk!” katanya. Aku dikurung dalam sel yang diasapi dengan bau got. Begitulah selalu yang terjadi dengan aku. Sendirian.
 
#Dikutip dari buku berjudul Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, sebuah catatan pribadi Koesalah Soebagyo Toer (Adik Pram)

No comments:

Post a Comment