Pages

Friday, May 27, 2011

Mimpi

Ikal tumbuh bersama mimpi. Ia bermimpi bisa menginjakkan kakinya di Paris suatu hari nanti. Negeri yang bahkan sama sekali belum pernah terbayang dalam benaknya. Belum. Sama sekali belum pernah tergambar.


Bagi Ikal, setiap hari adalah satu anak tangga yang menuntunnya ke sana. Dari titian setiap anak tangga itulah Paris hadir. Kian lama kian dekat. Dan tiba-tiba, ia sudah menjadi nyata.

Tapi mungkin tidak bagi seorang Mitha, bocah yang duduk di kelas enam Sekolah Dasar (SD). Kisah seperti novel Laskar Pelangi di atas bisa jadi hanya sekedar mimpi baginya.  Mitha adalah anak seorang nelayan. Saya bertemu dengannya saat menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat bersama kelompok Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Kegiatan yang kami gelar bukan untuk anak-anak, melainkan ditujukan bagi para nelayan.


Mitha sama seperti bocah usia SD lainnya, dengan  rambutnya sedikit merah karena panas matahari dan kulit gelap khas anak pantai. Di awal perkenalan, ia belum menjadi perhatian saya. Ketika sempat saling bertatapan, ia hanya melempar senyum. Lalu berbisik-bisik pada teman sebelahnya, Ismi. Ismi dan Mitha sama-sama duduk di kelas enam SD. Dari perawakannya, Ismi lebih gendut dan tinggi dari Mitha.

"Tinggal nunggu pengumuman kelulusan ya?" tanya saya.
"Iya," jawab keduanya kompak.
"Mau nerusin ke SMP mana nanti?" tanya saya lagi. Keduanya bertatapan. Dan yang keluar adalah satu nama SMP negeri dan satu lagi SMP swasta.
"Cari yang dekat Mbak," kata Mitha.
"Cita-citanya nanti mau jadi apa Mitha sama Ismi?" pancing saya lagi.
"Mau jadi polwan," aku Ismi yang berpostur tinggi besar itu. Sementara Mitha masih belum berani menjawab. Saya ulang lagi pertanyaan sama padanya.
Seperti ragu menjawab. Tapi akhirnya keluar juga jawaban yang saya nantikan.
"Mau jadi petugas SPBU Mbak," ucapnya polos.
 
Saya terhenyak seketika dan baru tersenyum beberapa saat kemudian.
Senyum saya getir. Menahan perasaan miris dan tidak rela pada Mitha kecil.

No comments:

Post a Comment