|
Serius mengobrol di sela-sela bekerja |
Saya bahkan tidak mengenal namanya. Yang saya tahu, ia hanya duduk terpekur dengan kepala menghadap ke bawah, jeli melihat rumput di antara pavingan jalan. Sementara ia sibuk dengan serok kecil yang biasa tukang kayu gunakan untuk mendempul lemari, sinar matahari tak henti menempa tubuhnya yang kurus. Sesekali ia menyapa orang lalu lalang di sekitarnya. Saya yang tak kenal pun, mencoba menyapanya dari jauh, meski hanya dengan senyum dan anggukan kepala.
Hari berikutnya masih sama, saya mendapatinya dengan pekerjaan sehari-hari mencabut rumput di pavingan jalan kampus. Karena fz, rekan saya sesama reporter di ITS Online berniat mewawacarainya untuk profil majalah ITS POINT, saya mengiyakan saja ajakannya untuk nimbrung dan menjadi fotografer di sela-sela wawancara.
Di luar dugaan, baik saya maupun fz kali ini harus menggunakan sedikit gaya berbeda dalam wawancara. Pertama, narasumber kami hanya bisa berbahasa Jawa. Kedua, Bahasa Jawa yang digunakan paling tidak harus level kromo, melihat usia beliau terbilang cukup senior. Awalnya berjalan lancar, tapi sempat kesulitan juga saat harus menerjemahkan Bahasa Indonesia ke Boso Jowo, terus ke Boso Jowo Kromo. (hlah!)
Terlepas dari itu semua, saya menangkap satu pesan dari pria yang mengaku tidak tahu pasti berapa usianya tersebut . “Kerjo ngene yo mergo pengen nyekolahne anak, Nak, (Bekerja seperti ini karena ingin menyekolahkan anak)” ujarnya.
‘Mbah’, demikian saya memanggilnya, memiliki dua orang anak. Satu anak perempuannya sudah berkeluarga, sedangkan satu lagi anak laki-laki masih duduk di bangku SMA kelas 3. Di usianya saat ini, si Mbah masih memiliki semangat luar biasa. Semua dilakukannya hanya demi anak. “Wong tuwane iki goblok. Karepku iku Nak, disekolahne dhuwur ben ora dadi kuli bangunan ngoten lho, (Orang tuanya ini bodoh. Maksud saya itu, anak saya disekolahkan hingga pendidikannya tinggi agar kelak tidak menjadi kuli bangunan)” tuturnya.
Luar biasa perjuangan beliau untuk menyekolahkan anaknya. Lantas, siapa bilang orang berpendidikan rendah tak sadar pendidikan? Setidaknya, mereka sudah melakukan hal terbaik dengan mendukung anak-anaknya terus bersekolah. Saya pribadi, jadi teringat orang tua di kampung halaman. ” Bekerja seperti ini karena ingin menyekolahkan anak,” pasti mereka juga akan berujar hal sama seperti si Mbah saat ditanya. Terima kasih Ummi dan Abah.
foto by Lutfia