Pages

Thursday, July 22, 2010

Mereka Cerminan Masa Tua Kita

 
Sajak Seorang Tua Untuk Isterinya
W.S. Rendra - Sajak-sajak sepatu tua,1972

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.
 
Keriput, loyo, ompong, pikun, dan renta. Gambaran singkat untuk manusia berumur, kalo tidak mau dibilang lanjut usia. Lanjut usia? Aneh saja sepertinya menggunakan kata satu ini. Apa lanjut usia berarti jatah usiamya sudah habis dari rata-rata usia kebanyakan orang? Lantas mereka para lansia adalah mereka yang beruntung karena bisa bertahan lebih lama? Hmm… entahlah, lepas dari semua itu, usia sepanjang atau sependek apapun, ia tetaplah berkah bagi si empunya.

Manusia terlahir dengan fitrahnya. Usia, bagian dari fitrah makhluk hidup mana pun, tak pandang bulu. Manusia, hewan, hingga bakteri pun memiliki limit waktu untuk bertahan dan dipertahankan. Dipertahankan? Ya, sekuat apa pun semua makhluk survive, Tuhan lebih berhak untuk menentukan mereka layak dipertahankan hingga kapan.

Jika harus membayangkan apakah suatu hari saya akan menjalani hari seperti mereka (lansia)? Sedikit pun tak pernah terpikir bahwa apa yang terlihat, terdengar, dan dirasa saat berhadapan dengan mereka, membuat bumi ini serasa terbalik. Pikiran terjungkal dan klasik, ending-nya saya tersadar. Harus mengakui bahwa mereka lah cerminan saya di masa tua, logikanya itu pun kalau saya bisa seberuntung mereka.

Alur kehidupan yang dihadapkan pada saya siang itu cukup ekstrim. Bukan kecelakaan maut hingga menelan ribuan korban jiwa, bukan juga karena melihat orang frustasi lantas bunuh diri dari lantai sekian pusat perbelanjaan. Tapi menghabiskan sisa masa tua di sebuah tempat bernama panti, sungguh bukan impian siapa pun. Semiskin atau sepapa apa pun manusia, ia masih ingin berada di tengah-tengah keluarga. Menjadi bagian yang menghangatkan sekalipun demikian merepotkan.

Berkaca, bercermin, di peradaban mana pun maknanya tetap sama, introspeksi. Manusia terlahir dari kalangan manapun, fitrahnya sama, menginginkan kasih sayang sesamanya. Hanya saja, arti sesama menjadi lain, ketika sesama dari anggota keluarga tergantikan menjadi kasih sayang dari para pengasuh dan pengurus panti.

No comments:

Post a Comment