Pages

Wednesday, July 28, 2010

Dua Sisi Wajah Media


“Media cetak di Amerika sudah mati,” fakta mencengangkan saya dengar langsung dari Prof Janet Steele, konsultan Konjen AS di Surabaya.

Sekali lagi inilah oleh-oleh magang sebagai wartawan. Statement di atas memang di luar dugaan. Bagi saya pribadi ini terdengar aneh jika dibandingkan dengan media cetak di Indonesia yang bertebaran disana-sini.

Tak ayal fakta awal saja mengundang berbagai persepsi. Lantas kenapa hal ini bisa terjadi? Dan sebagai insan media, perlukah kita menganggapi isu-isu ala Amerika ini dengan kekhawatiran berlebih? Padahal seperti kita ketahui, sudut mana dari negeri ini yang tak haus akan story, yang kata orang luar berarti juga cerita dan berita?

Saya memang hanya jurnalis kampus, mungkin karena itu lah saya tidak mengalami permasalahan sekompleks rekan-rekan wartawan yang dalam keseharian, itu lah pekerjaan utama mereka. Sejauh yang saya ketahui, bergerak di media kampus hanya terbatas pada civitas akademika, alumni, dan kembali lagi ke kalangan yang nyangkut-nyangkut kampus.

Tapi bagi saya, mengikuti penjelasan Janet sangat menarik, fakta demi fakta ia paparkan. Tahun 2009 lalu, fakta menyebutkan iklan menurun hingga 26% dan selama  tiga tahun terakhir penghasilan surat kabar turun sebesar 43%, fakta terakhirnya adalah Washington Post tutup. “Permasalahannya lebih kompleks, bisnis, uang, dan iklan adalah sumber utama,” urai Janet.

Paradoks itu kian berlanjut, mengingat minat masyarakat Amerika yang besar dan haus story seperti yang dijelaskan di awal. Memang selama ini internet lah yang menjadi andalan utama meredam kehausan publik Amerika. Semua orang mengakses internet untuk memenuhi kebutuhan satu ini. Tapi sekali lagi fakta membuat saya tercengang, bahwa ternyata internet mengambil sekitar 80% beritanya dari media lama, ex: BBC, media cetak, dsb. Sedangkan 7% diambil dari media PERS secara umum. Logikanya, bukankah sedemikian penting penting peran media lama seperti koran? Toh, media online juga masih mencomot isinya.

Keadaan yang terjadi di Indonesia memang tak sama dengan negeri Uncle Sam sana. Keberadaan media cetak yang sangat langka, mengalihkan minat publik Amerika ke siaran radio. Alhasil siaran-siaran radio yang mengulas isu-isu kenegaraan secara lengkap pun kian digandrungi masyarakat. Hal berbeda justru kita dapati di negeri sendiri. Siaran radio selalu identik dengan full acara musik yang digandrungi masyarakat.

Memang benar kata pepatah, lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Tapi semoga, matinya media cetak yang terjadi di Amerika tidak perlu tejadi di Indonesia. Kalau pun suatu hari waktu menunjukkan hal lain, paling tidak jangan tergesa-gesa lah isu serupa mampir ke Indonesia.

No comments:

Post a Comment