Pages

Thursday, February 7, 2013

Seni Pulang Kampung


Bejubel di dalam bis ekonomi dengan ransel berisi laptop adalah seninya mahasiswa pulang kampung. Rindu kampung halaman memang bisa mengalahkan segala hal. Termasuk ber-stand up ria (tanpa komedi) di dalam kendaraan umum. Biasanya momen pulang kampung ini terjadi saat weekend, libur tanggal merah, hari kecepit nasional, dan yang jelas adalah saat libur hari raya.

Bagi mereka yang menempuh perjalanan dengan kereta pun tak kalah sigap mempersiapkan diri saat hendak menuju kampung halaman. Perburuan tiket dimulai sejak jauh-jauh hari demi mendapatkan kursi 'incaran' ala mahasiswa. Pun demikian halnya dengan rekan-rekan yang nun jauh berasal dari luar pulau Jawa. Fiksasi jadwal keberangkatan mutlak dipikirkan matang-matang lantaran risiko yang ditanggung akibat pulkam juga sangat besar.  Tak ayal, urusan akademik hingga organisasi diorganisir sedemikian rupa sehingga dapat menentramkan hati, ups maksudnya sehingga dapat pulang kampung dengan tenang. Salah-salah perhitungan, bisa kacau tiket seharga sekian ratus ribu di tangan.

Well, selain tiga transportasi umum di atas, beberapa mahasiswa  juga menempuh perjalanannya menuju kampung halaman dengan motor. Kalau kendaraan satu ini modalnya hanya dua jenis bensin. Bensin jenis pertama adalah bensin murni buat motor. Bensin kedua adalah bensin sintetik khusus untuk pengendara motornya. Dari segi keuangan, sudah jelas gak akan berat di ongkos lah karena pertama: itu motor disetiri sendiri, kedua: ongkos dua jenis bensin tadi juga tidak mahal-mahal amat.

Pulang kampung naik apapun, punya seninya masing-masing. Namanya saja mahasiswa, diam-diam juga pasti menyimpan kerinduan pada kampung halamannya.

Saat hendak menuju kampung halaman minggu lalu mengendarai bis, saya duduk bersama seorang wanita bernama Mbok Darmi. Di perjumpaan itu, saya mendapatinya hampir menangis. Entah apa yang membebani pikiran wanita asal Nganjuk itu.

Percakapan dengannya dimulai lewat sebuah pertanyaan sederhana, "Mbak mau ke mana?" Hanya satu jawaban keluar dari mulut saya , lepas itu Mbok Darmi merangkai ceritanya satu per satu, membaginya kepada saya.

Mbok Darmi adalah potret 'wanita karir'. Hanya saja level karir yang dijajakinya adalah level pembantu rumah tangga. Berdasarkan penuturannya, saya kira Mbok Darmi adalah wanita desa yang terlampau polos. Bagaimana tidak, untuk naik bis Nganjuk-Surabaya sendirian saja ia masih sangat was-was dan takut. Pernah sekali ia kebablasan turun karena bis tidak berhenti di terminal, alhasil Mbok Darmi panik setengah mati.

Ia menuturkan kepulangannya kali ini adalah karena ibunya sakit dan sudah opname. Ia bersyukur karena majikannya yang seorang dokter gigi dengan baik hati mengijinkannya pulang. Tak hanya itu, sang majikan bahkan memberinya uang saku untuk pulang kampung. Mbok Darmi pun menanyakan apakah uang itu sudah dipotongkan dari gaji bulanannya. "Bukan Mbok, itu bukan gaji yang dipotong. Mbok Darmi cepetan balik ya, nanti anak-anak bingung kalau tidak ada yang menjaga," tuturnya menirukan ucapan sang majikan. Tak henti ia mengucap syukur atas rezeki yang didapatkannya itu. Tentu bukan hanya rezeki berupa materi melainkan rezeki karena dapat bekerja pada keluarga yang murah hati. Sesekali ia tertawa saat menceritakan beberapa kejadian lucu dan menyenangkan yang dialaminya bersama keluarga majikannya tersebut. Melihatnya tertawa, saya turut senang. Setidaknya Mbok Darmi yang sudah bisa tersenyum, melupakan kekhawatirannya sejenak akan ibunya. Secuil cerita yang mengisi perjalanan itu membuat saya bersyukur. Bersyukur atas banyak hal yang saya miliki hingga saat ini.

No comments:

Post a Comment