Orang bilang kami beruntung bisa foto bareng Pak Habibie.
Tapi kami bilang, itu bukan keberuntungan. Kerja keras tidak bisa disamaratakan dengan keberuntungan.
Kebanyakan orang hadir di Grha untuk mengikuti orasi ilmiah BJ Habibie pada 10 November lalu dalam rangka dies natalies. Tapi saya, Ima, Aldrin, dan Eka, menuju Grha untuk tujuan lainnya. Yakni launching Buku Titik Nol Kampus Perdjoeangan.
Launching? Bagaimana ceritanya? Lhawong H-1 hari layout sekaligus editing bukunya saja belum selesai. Sebenarnya kami semua sudah mulai ngebut menyelesaikan buku sekitar H-3 hari untuk layout disambi ngedit untuk finishing. Antara optimis dan pesimis buku akan selesai tepat 10 November benar-benar seperti Mission Impossible. Bedanya, kalau Tom Cruise selalu sukses dengan misinya, kesuksesan tim kami justru sangat diragukan.
Seolah membaca kekhawatiran dan semangat yang hampir redup, koor tim Djoeang, mas Huda mulai melancarkan aksi pemaksaan. Caranya? Gampang, hanya dengan meminta kami semua stay di kantor ITS Online hingga waktu yang tidak ditentukan. Alhasil, sukses sudah hampir seminggu lamanya, kami bergantian stay awake untuk nungguin layouter plus ngedit tulisan dari pagi siang sore malam hingga pagi lagi. Siklus hidup yang kurang normal menjadi semakin tidak normal.
Di antara sekian banyak perjuangan tim Djoeang, hari terakhir merupakan perjuangan yang paling berkesan. Saya dan Ima sudah teler dan ingin tidur, padahal editannya belum kelar. Sementara mas Huda dengan setia masih mendampingi layouter. Aldrin? Entah, saya lupa perannya saat hari terakhir. Seingat saya, dia diberdayakan untuk ngedit. Layouternya? Mas Hasan (layouter dadakan) dan Iqbal (DKV 2010).
Malam sudah berganti pagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Sesuai rencana, kami akan ngeprint offset sebanyak 3 buku untuk keperluan launching seperti saran pak Bekti, pimpinan redaksi ITS Online. Satu-satunya printing yang buka di jam-jam kelelawar hanyalah Cido. Jadilah kami berempat berbondong-bondong ke sana. Alay sih menurut saya karena sebenarnya dua orang cowok, mas Huda dan Aldrin saja cukup. Tapi bukan ITS Online kalau tidak alay. "Nanti kita perlu diskusi untuk ukuran kertas," ujarnya dengan sangat meyakinkan. Meki tahu alasan yang dikemukakan sudah jelas tidak relevan sama sekali, nyatanya saya dan Ima akhirnya ikut juga.
Sesampainya di sana, mas Huda dan Aldrin menjelaskan keperluan buku yang akan dicetak. Pemilihan kertas, ukuran, hingga merapikan halaman, beres dalam sekian puluh menit (saya lupa, sepertinya agak lama karena file kami lumayan berantakan, hehe). Sekian detik berganti menit berganti jam dan tiba-tiba sudah pagi. Subuh menjelang, saya dan mas Huda ngacir menuju masjid Asrama Haji Sukolilo. Lantas selama menunggu print out keluar, apa yang kami lakukan? Ini dia.
Kami di PHP-in men! Tiap kali nanya ke mbak penjaga, cuma diberi senyuman manis dan janji palsu. "Sebentar lagi," ujarnya. Yang mengagetkan, saat 1 lembar kata sambutan di print sebagai sampel, ukurannya adalah ukuran poster A2. Spontan semuanya ngakak. Gila meeen, kita mau bikin buku jumbo, saingan sama jus jumbo keputih kali ya soal ukurannya? Hehehe.
Well, karena sudah pagi, kami memutuskan balik dulu untuk mandi karena jam 08.00 buku kami baru akan selesai. Setelah bersih diri (kayak mau ngapain aja), saya, Ima, dan Aldrin kembali ke Cido. Ternyata, kami masih harus menunggu. Yak, PHP lagi untuk kesekian kalinya. Sekitar pukul 09.00 buku kami jadi. Itupun hanya 2 biji. Kami tinggal karena waktu sudah mepet.
Buku sudah di tangan, cap cus deh ke Grha ITS. Di sana, kami bingung meminta waktu untuk launching. Setelah dikonsultasikan ke pak Bekti, ternyata memang tidak memungkinkan 'mengganggu' jalannya acara. Kami pun berinisiatif memberikan buku tersebut langsung ke Pak Habibie. Caranya? Menemui beliau saat makan siang.
Jurnalis nekat seperti kami, kalau sudah punya kemauan, apapun akan diusahakan. Prinsip yang saya pegang saat menjadi reporter dulu, entah bagaimanapun caranya, harus bisa cari berita, harus dapat data sesulit apapun narasumber berkelit dan sulit ditemui. Alhamdulillah ilmu itu berguna pada kasus-kasus tertentu. Saya dan Ima mulai meneror jajaran dewa alias senat yang berada di panggung. Sms ke rektor, PR 1 hingga PR 4 pun dilancarkan. Jawabannya? Tidak ada yang memuaskan. Rata-rata meminta kami menitipkan bukunya ke panitia. Baru saat makan siang akan diberikan kepada Pak Habibie. Ima yang notabene adalah mantan preman, tidak terima. "Gak bisa, pokoknya harus kita sendiri yang ngasihkan," ujarnya ketus.
Eits, sekilas saya melihat sosok Kak Irnanda, Ketua IKA ITS Pusat turut hadir. Eka pun diumpankan untuk meminta tolong kepada beliau. Gayung bersambut. Beliau bersedia membawa kami ikut saat makan siang. Dengan sigap, saya, Ima, dan Eka mengikuti beliau, menerabas barikade SKK. Sayang Aldrin tertinggal di belakang. Jadi yang berkesempatan memberikan buku tersebut ke Pak Habibie hanya kami bertiga. Usai menunaikan misi mulia menyerahkan buku, kami pun berbincang dengan Kak Irnanda untuk keperluan launching buku di IBS. Cerita buku Djoeang pun (kembali) berlanjut di Jakarta.
*Eh, mas Huda kemana? Dia tengah mengisi pelatihan jurnalistik di Jurusan Teknik Industri saat kami hebring di Grha