Tahun lalu, saya menjalankan puasa di Surabaya meski pada malam pertama ramadhan harus dilalui di dalam kereta api. Saat itu saya bersama mas huda berada dalam perjalanan pulang dari Jakarta untuk keperluan wawancara nara sumber buku. Tahun ini saya harus melewati ramadhan di kampung orang karena alasan kewajiban Kerja Praktek (KP) di Plaju, Palembang, Sumatera Selatan.
Malam pertama ramadhan di sini alhamdulillah bisa tarawih di masjid bersama keluarga Bapak Sigit, alumni K-24 Teknik Kimia ITS. Selama KP, saya memang tinggal di rumah beliau.
Tiba-tiba, saya jadi teringat suasana tarawih di Magetan. Biasanya, lepas berbuka dan sholat maghrib, kami sekeluarga sudah siap menuju masjid. Perjalanan ke masjid agung ditempuh sekitar 10 menit mengendarai mobil.
Saat masih SD dulu, saya ikut ke masjid hanya karena ingin bermain. Kenakalan paling sederhana kala itu adalah berlarian di dalam masjid hingga menabuh bedug saat orang-orang pada sholat. Kenakalan paling ekstrim yang saya lakukan adalah mengganggu kakak dan ibu di tengah-tengah sholat.
Saat rukuk, saya dengan bebasnya bergelanyut di belakang punggung mereka. Belum lagi kalau saya tidur-tiduran di depan orang sholat. Biasanya saya iseng menggoda kakak sampe tertawa. Mirip-mirip acara Tahan Tawa begitulah kalau dipikir-pikir. Bedanya, yang menjadi objeknya adalah kakak atau ibu saya yang lagi sholat. Meski ujung-ujungnya saya diomeli, nyatanya masih terulang juga kejadian serupa. Ternyata saya dulu bandel juga (hehe).
Seiring bertambahnya usia, kenakalan seperti itu tadi berangsur-angsur hilang. Saya mulai menggunakan mukenah saya sesuai fungsinya, yaitu sholat. Yang awalnya hanya bertahan di rakaat-rakaat awal berangsung-angsur meningkat hingga selesai sholat witir di rakaat ke-23.
Entah kenapa kini saya merasa rindu sholat tarawih bersama keluarga. Mungkin karena hal itu berlangsung sejak saya kecil dan terus berulang hingga masa SMA. Sekarang dan seterusnya, sudah pasti akan tetap saya rindukan.
No comments:
Post a Comment