Pages

Tuesday, August 2, 2011

Jakarta

Jakarta! Merasakan kota bebal ini sungguh sangat menyesakkan. Bukan hanya fisik melainkan juga pikiran. Ketika pagi menjelang, deretan manusia sudah siap menantikan busway, kereta, kopaja, dan segala macam angkutan pengantar menuju tempat kerja. Setiap paginya berdesakan. Tak ada jalanan sepi. Semua macet penuh kendaraan. Tak ada udara bersih, semua berpolusi, berdebu, lengkap dengan kepulan asap hitam produk bajaj dan kopaja. Mereka, penduduk Jakarta, berkendara di bawah pacuan waktu agar tidak datang terlambat. Dalam hati saya berbisik, Betapa kesibukan pagi yang menguras emosi!

Jakarta penuh manusia
Pagi tak segar sama sekali. Siang kian terik. Membakar! Jam istirahat berdentang. Franchise makanan siap saji bejibun dipenuhi orang. Instan! sesuai dengan gaya hidup masa kini yang serba praktis. Jalanan kembali macet. Saya berkendara sepeda motor, menengok ke dalam mobil, rata-rata satu mobil berisi satu orang. Di dalam sudah pasti ber-AC. Sepanas apapun di luar tidak jadi masalah. Sampai di sebuah perempatan menuju Ancol, saya mendapati pengemis, kakinya buntung, meringsuk di antara jalanan ibu kota. 

Panas benar-benar menusuk kulit. Allah, demikiankan keadaan Jakarta? Sebagian besar diantaranya menikmati kemewahan hidup, hedonisme tak terkendali, sisi lain menunjukkan kemiskinan abadi, tak tersentuh tangan-tangan penolong kecuali belas kasihan segelintir orang. Pikiran saya menerawang. Kembali berpikir, apa yang sudah saya berikan sebagai bantuan pada sekitar? Kepedulian dan rasa sosial diri ini masih kurang, terlalu selfish! Astaghfirullah.

Sore beringsut. Halte-halte busway dekat lokasi perkantoran mulai penuh. Jalanan macet lagi. Sampai kawasan menuju Pancoran, mata saya terbelalak mendapati busway penuh sesak penumpang. Bukan, bukan pemandangan sesak biasa, tapi benar-benar sesak, barisan tengah bus dipenuhi orang berdiri, berdempet-dempetan.

Kota macam apa pula ini? Jantung pemerintahan dan perekonomian berdenyut di satu kota besar seperti ini? Ah, saya mengibaratkan Jakarta tengah terserang jantung koroner.  Kesibukan saban hari jutaan manusia di sini ibarat pembunuh nomor satu. Ketika semuanya tak terkendali, habis sudah kehidupan baik-baik yang selama ini terbangun. Iman! Ia lah satu-satunya perisai diri membentengi hati. Meski belum menyaksikan secara langsung ganasnya permainan Jakarta, sudah bisa ditebak kehidupan macam apa yang ditawarkan kota ini.

Malam kian larut. Saya berada dalam taksi. Sebelah kiri jalan yang saya lalui, lampu diskotek hijau, biru, kuning, bernuansa gelap menyala. Musik ditabuh keras-keras. Dalam pikiran seketika terbersit gambaran Emka dalam buku Jakarta Undercover-nya. Ya Allah, ketika suatu saat saya harus tinggal di kota ini, semoga bisa menjaga hati bersama iman dan Islam. Amin. (Dalam hati, saya berdoa tidak mendapat jatah tinggal di sini)

No comments:

Post a Comment