Pages

Tuesday, July 23, 2013

Jerih Payah Memasak

Seminggu setelah awal Ramadan, saya memutuskan pulang ke kampung halaman. Alasannya, ada kawan-kawan yang hendak berkunjung ke rumah. Mereka berencana menginap beberapa hari lantaran ada tugas survei dari Jawa Pos. Sejatinya, tanpa ada alasan itu pun, saya sudah tentu pulang juga. Rindu pada suasana Ramadan di rumah.

Setahun yang lalu, saya menghabiskan bulan Puasa di Palembang. Bahkan hingga hari raya Idul Fitri. Kali ini, akan sangat menyesal rasanya jika belum sempat mencicipi berpuasa di kampung halaman.

Rutnitas yang saya lakukan di siang hari adalah membantu ibu memasak. Saya selalu bersemangat jika melakukan hal satu ini. Mulai dari mencuci ayam, memotong sayuran, hingga meracik bumbu. Urusan goreng-menggoreng lauk pun juga tidak ketinggalan.

Memasak bersama ibu itu menyenangkan. Yah, meski hanya sebatas asisten tapi dalam kacamata saya, memasak itu tidak mudah. Untuk menyajikan masakan yang enak ternyata memiliki tantangan tersendiri. Keseimbangan komposisi bumbu, tingkat kematangan setiap komponennya, hingga padu padan satu masakan satu dengan yang lainnya agar nyambung dimakan, adalah beberapa hal yang harus diperhatikan.

Saya berpikir, bagi seorang ibu yang sudah menjadi chef keluarga bertahun-tahun, pekerjaan itu tentu tidaklah terlalu berat. Ternyata tidak demikian saudara-saudara. Memasak ternyata butuh proses yang panjang. Ibu harus memulai proses jerih payah itu sejak sebelum berbelanja. Beliau harus memikirkan cukupnya anggaran dengan apa yang akan dibelanjakan untuk keperluan menu hari itu. Selesai dengan rencana itu, ibu akan menuju pasar untuk berbelanja. Di pasar, ia akan menawar harga yang dipatok para pedagang. Setidaknya, itulah yang selalu saya lihat saat menemani ibu berbelanja.

Sepulangnya belanja, pekerjaan memasak yang sesungguhnya menanti. Perjuangan di dapur ini juga bukan perkara sederhana. Karena nikmat tidaknya hidangan keluarga hari itu ada di tangannya. Sudah tentu, seorang ibu tidak ingin menyajikan nasi yang terlalu keras, atau ikan yang gosong saat digoreng, atau bahkan lauk yang kurang matang untuk suami dan anak-anaknya.

Memasak itu harus bisa multi tasking. Sekali melakukan satu hal, ibu harus mampu melakukan hal lainnya selama bersamaan. Sambil menanti sayur matang, beliau menyempatkan mencuci piring. Sambil menggoreng ayam, sesekali beliau mengupas bumbu dapur untuk racikan bumbu.

Saat saya membantu ibu menggoreng ayam, sempat beberapa kali kecipratan minyak panas karena bumbu ayam mengandung sedikit air. Belum lagi kalau sudah menggoreng ikan bandeng. Entah berapa kali cipratan minyak dengan volume lebih banyak yang nyasar saat hendak membalik ikannya.

Saya jadi teringat tweet Goenawan Mohamad, "Dirahmatilah makanan di meja kita, karena ia juga dari jerih payah orang lain." Semakin berarti lagi adalah saat makanan di meja itu adalah buatan ibu.

Dan ibu saya melakukan semua hal itu sejak dulu. Agar beliau bisa menghidangkan yang terbaik untuk orang-orang yang dicintainya. Agar suami dan anak-anaknya tidak terlambat untuk sarapan, makan siang, makan malam di hari-hari biasa serta sahur dan berbuka dengan nikmat jika bulan Ramadan tiba. Dari sinilah saya menyadari, entah sudah berapa banyak hari, bulan, dan tahun yang terlewat sehingga saya bisa tumbuh baik dari masakan chef terbaik keluarga.

Terima kasih ibu atas semuanya. Suatu hari aku juga ingin seperti ibu, menjadi chef terbaik di mata suami dan anak-anakku.

Monday, July 8, 2013

Friday, July 5, 2013

9 Summers 10 Autumns


Cuaca pagi ini jadi teman yang baik saat menulis. Warm and bright. Tidak seperti tiga hari yang lalu, Surabaya tak henti diguyur hujan. Sedari pagi sudah suram dan ‘malas’ karena mendung, gerimis, dan tentu saja derasnya hujan. Tapi tetap saja, that weather was God’s will. Meski tak bisa dipungkiri juga, Tuhan berkehendak atas apa yang dilakukan manusia-manusia penyebab global warming *ups keceplosan. Yeah, during this time, the weather is upredictable. It may cause of global warming *ups (sengaja) keceplosan lagi.

Anyway daripada ngoceh tak beraturan tentang cuaca Surabaya, kenapa tidak menulis sesuatu seperti resensi buku? Hmmm… though I’m not sure I can make good execution on it, at least I try. Then what kind of book that I wanna talking about? Oiya, first of all I’m so sorry, there are lot of mix English and Bahasa here. That’s pure my error side..hehehe

Jadi ceritanya buku yang saya resensi ini adalah pemberian kawan kwaci saya, @sarinugraheni. Terima kasih deksar untuk buku inspiratif berjudul 9 Summers 10 Autumns-nya.

Karya Iwan Setyawan ini adalah novel fiksi yang terinspirasi dari kisah hidup Iwan sendiri. Ia berkisah bagaimana seorang anak supir angkot dari Kota Malang dengan segala keterbatasan ekonomi meraih mimpi menjadi seorang direktur di New York.

Di novel ini, Iwan menyajikan potret kesederhanaan kehidupan keluarga, tempaan masalah keuangan selama berstatus mahasiswa, hingga potret kerja kerasnya di lingkungan pekerjaan. Semua terangkum berurutan.

New York menjadi nyata bagi Iwan saat Mbak Ati, Nielsen International Research di New York mencarinya. Ia menawari Iwan menjadi data processing executive di New York. Mbak Ati sendiri adalah lulusan Statistika IPB, satu almamater dengan Iwan.

Tawaran bekerja di New York tidak lantas datang begitu saja. Kalau ada yang bilang Tuhan memiliki rencana, ini salah satu buktinya. Karir Iwan awalnya dibangun di Nielsen Office di Jakarta tapi tak berapa lama kemudian ia pindah ke Reksadana. Eh, tak dinyana Mbak Ati’s looking for him again. Tawaran New York yang sama sekali tidak pernah dibayangkan Iwan tiba-tiba mampir begitu saja. Tentu hal itu wajar jika menilik bagaimana kinerja Iwan selama di Nielsen dulu. Ia beradaptasi dengan cepat, melawan rasa minder anak kampung sekaligus anak supir angkot, melawan keterbatasan bahasa Inggris di sebuah kantor internasional, dan tentu saja ia bekerja dan belajar sangat keras di lingkungan profesionalnya itu. That’s why Mbak Atik offers him a good opportunity. He deserves it.

Iwan dalam novelnya ini juga memunculkan potretnya sebagai seorang anak, bagian dari keluarga kecil yang mengajarinya banyak hal tentang kehidupan. Sebagai satu-satunya anak laki-laki di antara empat saudara perempuannya serta hidup di lingkungan yang kurang mendukung secara ekonomi, Iwan tumbuh menjadi pribadi yang kerap cemas akan masa depannya. Akankah ia meneruskan profesi ayahnya sebagai sopir? Berteman dengan kepulan asap kendaraan tiap hari? Akankah ia tetap menjadi yang sekarang? Tidak akan pernah bisa memutus rantai kemiskinan keluarganya?

Impian harus menyala dengan apa pun yang kita miliki, meskipun yang kita miliki tidak sempurna, meskipun itu retak.

Iwan perlahan meretakkan cangkang ketidaksempurnaan mimpinya itu menjadi kesuksesan di masa depan. Tentu saja dengan keras dan rasa cinta pada keluarga terutama orang tua.

Wanna know more? Just read it by yourself then guys. I recommend it :)


Wednesday, July 3, 2013

Sudah Libur (?)



Habis sidang skripsi dan tambahan praktikum adsorpsi karena saran para penguji, bawaannya pengen libur sih. Tapi libur kali ini terasa lain karena kompensasi liburnya karena sakit. Well, the doctor said: bed rest at least for a week. What??? Seminggu? Muke gile men kalo sampe seminggu kudu stay di rumah mulu terus nggak ngapa-ngapain.

Padahal seribu planning (kerjaan) sudah menanti. Kalo bener-bener seminggu nggak balik ke kehidupan kampus, bisa dipastikan banyak hal yang akan terbengkalai. Back into reality, I need to back soon. I think three days are more than enough to take a rest. Yeah, consodering 12 pills that I must take everyday, it's gonna be okay for my body to endure I think.

Yosh, I decide, tomorrow I will be back. Miss you lotta works(?).
Holiday just have ended here!