Tik…tak…tik…tak…tik…tak…
Tik untuk waktu yang berdetik, dan tak untuk jantung yang berdetak. Ketika tak senantiasa berpacu melawan tik, demikian sedikit penghargaan kita terhadap tik. Namun ketika tak tak lagi mau berdetak, barulah tik menjadi mahal, dan tak kan lagi bisa teraih oleh gaji selangit para pejabat sekali pun.
Waktu, hanyalah sebuah kata tanpa makna jika tak diresapi sepenuh hati. Namun jika menelisik lebih jauh, waktu adalah hal paling krusial yang dimiliki siapa pun. Dikatakan krusial karena tak seorang pun hidup tanpa menggunakannya. Karenanya, bersyukurlah kita masih diberi kesempatan menikmati waktu.
Sehari yang kita lewatkan ada 24 jam, dan hal tersebut berlaku di belahan dunia mana pun. Tak peduli berapa pun banyaknya urusan yang kita miliki, hanya 24 jam itulah yang Tuhan berikan kepada kita untuk digunakan. Atau kalau mau diplesetkan, mengutip kalimat yang diungkapkan AA Gym, “Orang Singaparna dan orang Singapura sama-sama punya waktu 24 jam dalam sehari,” Dan pada kenyataanya memang demikianlah fakta berbicara.
Dari 24 jam yang ada, manusia selalu disibukkan dengan sejuta aktivitas yang dilaluinya melintasi ruang dan waktu. Bahkan tanpa terasa, ia terus saja mengikis usia. Sudah bukan rahasia lagi, usia telah membebankan tanggung jawab pada pribadi mana pun. Tak perlu jauh-jauh mengambil contoh mengenai pertanggungjawaban penggunaan usia. Pernahkah Anda melihat iklan di televisi yang bunyinya “Kapan nikah? Kapan punya anak?”
Memang sepintas yang tertangkap oleh kita hanyalah sebuah upaya sosialisasi Keluarga Berencana (KB) yang dilakukan pemerintah. Padahal sebenarnya, itulah contoh kecil dari permintaan tanggung jawab setiap individu akan usianya. Kita dituntut sejalan dengan usia yang telah kita habiskan. Atau dengan kata lain, “Sudah umur segini, pantasnya kita bersikap seperti apa?” Sebuah pertanyaan mudah, tapi sulit terjawab.
Mengutip kata-kata bijak Pak Mario Teguh, waktu mengubah semua hal kecuali kita. Dan memang benar adanya bukan? bahwa kita mungkin menua seiring dengan berjalannya waktu, tetapi belum tentu membijak karena kematangan usia.
Sekali lagi masih tentang waktu, sedemikian penting kah sebuah hal yang bernama waktu ini? Hingga karena terlampau penting, ia menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang? Kesuksesan berarti pula sebuah pencapaian. Sementara pencapaian sendiri tidak akan datang begitu saja. Pencapaian adalah sesuatu yang dikerjakan dengan detik, menit, jam dan hari yang diluangkan. Kalau demikian barulah kita bisa menilai betapa berharganya sebuah waktu.
Lantas, bagaimana kita harus menggunakan waktu yang ada? Sedikit yang bisa menjadi renungan, sudah selayaknya sejuta pertanyaan kita ajukan pada diri masing-masing. Mengenai bagaimana saya dan Anda memanfaatkan waktu satu jam terakhir? Apa yang akan saya dan Anda lakukan pada jam berikutnya? Dan di akhir nanti, apakah kita mampu melihat kembali dengan puas, apa yang telah dilakukan hari ini? Setidaknya, pertanyaan-pertanyaan kecil itu mampu menyadarkan kita akan pentingnya detik-detik dalam kehidupan. Sama seperti pembaca semuanya, penulis juga sedang berproses ke arah positif itu.
Tak salah jika ada yang menyebutkan ”Barang siapa yang hari ini lebih buruk daripada hari kemarin adalah orang yang bangkrut, barang siapa yang hari ini sama seperti hari kemarin adalah orang yang rugi, dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang beruntung," Sepakatkah dengan pernyataan biasa tapi luar biasa tersebut? Jika Anda tersenyum dan hati sanubari Anda mengiyakan, beruntunglah Anda.
Satu lagi cerita masih berkenaan dengan waktu, Imam Al-Gazali pernah bertanya pada muridnya. “Apakah yang paling jauh?” Dan jawabannya adalah hari kemarin. Karena yang kemarin dan telah lalu tidak akan dapat dijumpai lagi. Tapi justru akan semakin jauh ditinggalkan.
Berbicara tentang hidup, berarti pula berbicara tentang waktu. Manusi mana pun yang hidup, pastilah brepacu dengannya. Keterbatasan akan hal satu ini, menjadi pemicu tersendiri dalam menjalani hidup. Akan kah kita hidup untuk menghabiskan waktu atau kah memanfaatkannya? Dua hal yang memiliki perbedaan tipis jika tidak cermat memahami arti.
Mengutip ucapan Pak Mario Teguh, seorang motivator Indonesia, "Awal dari kelahiran kita bukanlah pilihan kita. Dan akhir dari kehidupan kita, bukanlah kewenangan kita untuk menentukan. Maka, tugas kita adalah menjadikan waktu antara kelahiran dan akhir kehidupan kita sebagai keberadaan yang sejahtera, yang berbahagia dan yang secermerlang mungkin," Sepenggal kata bijak yang menuntun kita membijaksanakan penggunaan waktu.
Waktu Bisa Mengubah Segalanya
Tak berlebihan kiranya jika penulis mengungkapkan pepatah, waktu bisa mengubah segalanya. Setidaknya sebuah kejadian kecil di Minggu pagi mengingatkan penulis pada putaran roda waktu di era sebelum reformasi. Minggu pagi, penulis bersama ibu pergi ke pasar kain Pabean, Surabaya. Pasar yang dihuni puluhan pedagang dari etnis pribumi, keturunan Arab hingga Tionghoa itu tampak ramai seperti pasar pada umumnya.
Tertangkap lah sebuah pemandangan yang menggugah hati penulis. ”Selamat pagi Wushu,” sapa seorang pedagang keturunan Arab pada lelaki tua paruh baya. Si pria tua menyambut sapaan itu dengan senyum mengembang di kedua bibirnya. Matanya terlihat semakin sipit saat mengulum senyum karena memang dia keturunan Tionghoa. Sapaan kecil di awal pagi pun berlanjut pada obrolan ringan antara keduanya. Sesekali terdengar gelak tawa mereka beradu dengan riuh rendah suara pasar.
Pemandangan kecil itu lah yang tak mungkin didapatkan beberapa tahun silam. Ketika etnis Tionghoa dianggap sebagai musuh nyata pemerintah, hingga memicu terjadinya kerusuhan dimana-mana. Tak terbayang dahsyatnya insiden kala itu, masa ketika masyarakat Indonesia benar-benar termakan isu anti Cina.
Kini, tak boleh lagi temui celah untuk hal buruk sesuram masa lalu. Seiring berputarnya waktu, berputar pula lah pemikiran untuk memilih yang terbaik, termasuk pilihan menuju reformasi. Senang rasanya tirai toleransi terbuka demikian lebar, dan rakyat negeri ini sudah bisa membuka mata serta membaca sejarah negeri demi kebaikan bersama. Terakhir, semoga putaran waktu senantiasa membawa perbaikan dari sisi mana pun bagi siapa pun.
Lutfia
(Penulis yang juga masih belajar lebih menghargai waktu)