Cuaca pagi ini jadi teman yang baik saat menulis. Warm and bright. Tidak seperti tiga hari yang lalu, Surabaya tak henti diguyur hujan. Sedari pagi sudah suram dan ‘malas’ karena mendung, gerimis, dan tentu saja derasnya hujan. Tapi tetap saja, that weather was God’s will. Meski tak bisa dipungkiri juga, Tuhan berkehendak atas apa yang dilakukan manusia-manusia penyebab global warming *ups keceplosan. Yeah, during this time, the weather is upredictable. It may cause of global warming *ups (sengaja) keceplosan lagi.
Anyway daripada ngoceh tak beraturan tentang cuaca Surabaya, kenapa tidak menulis sesuatu seperti resensi buku? Hmmm… though I’m not sure I can make good execution on it, at least I try. Then what kind of book that I wanna talking about? Oiya, first of all I’m so sorry, there are lot of mix English and Bahasa here. That’s pure my error side..hehehe
Jadi ceritanya buku yang saya resensi ini adalah pemberian kawan kwaci saya, @sarinugraheni. Terima kasih deksar untuk buku inspiratif berjudul 9 Summers 10 Autumns-nya.
Karya Iwan Setyawan ini adalah novel fiksi yang terinspirasi dari kisah hidup Iwan sendiri. Ia berkisah bagaimana seorang anak supir angkot dari Kota Malang dengan segala keterbatasan ekonomi meraih mimpi menjadi seorang direktur di New York.
Di novel ini, Iwan menyajikan potret kesederhanaan kehidupan keluarga, tempaan masalah keuangan selama berstatus mahasiswa, hingga potret kerja kerasnya di lingkungan pekerjaan. Semua terangkum berurutan.
New York menjadi nyata bagi Iwan saat Mbak Ati, Nielsen International Research di New York mencarinya. Ia menawari Iwan menjadi data processing executive di New York. Mbak Ati sendiri adalah lulusan Statistika IPB, satu almamater dengan Iwan.
Tawaran bekerja di New York tidak lantas datang begitu saja. Kalau ada yang bilang Tuhan memiliki rencana, ini salah satu buktinya. Karir Iwan awalnya dibangun di Nielsen Office di Jakarta tapi tak berapa lama kemudian ia pindah ke Reksadana. Eh, tak dinyana Mbak Ati’s looking for him again. Tawaran New York yang sama sekali tidak pernah dibayangkan Iwan tiba-tiba mampir begitu saja. Tentu hal itu wajar jika menilik bagaimana kinerja Iwan selama di Nielsen dulu. Ia beradaptasi dengan cepat, melawan rasa minder anak kampung sekaligus anak supir angkot, melawan keterbatasan bahasa Inggris di sebuah kantor internasional, dan tentu saja ia bekerja dan belajar sangat keras di lingkungan profesionalnya itu. That’s why Mbak Atik offers him a good opportunity. He deserves it.
Iwan dalam novelnya ini juga memunculkan potretnya sebagai seorang anak, bagian dari keluarga kecil yang mengajarinya banyak hal tentang kehidupan. Sebagai satu-satunya anak laki-laki di antara empat saudara perempuannya serta hidup di lingkungan yang kurang mendukung secara ekonomi, Iwan tumbuh menjadi pribadi yang kerap cemas akan masa depannya. Akankah ia meneruskan profesi ayahnya sebagai sopir? Berteman dengan kepulan asap kendaraan tiap hari? Akankah ia tetap menjadi yang sekarang? Tidak akan pernah bisa memutus rantai kemiskinan keluarganya?
“Impian harus menyala dengan apa pun yang kita miliki, meskipun yang kita miliki tidak sempurna, meskipun itu retak.”
Iwan perlahan meretakkan cangkang ketidaksempurnaan mimpinya itu menjadi kesuksesan di masa depan. Tentu saja dengan keras dan rasa cinta pada keluarga terutama orang tua.
Wanna know more? Just read it by yourself then guys. I recommend it :)