Seminggu setelah awal Ramadan, saya memutuskan pulang ke kampung halaman. Alasannya, ada kawan-kawan yang hendak berkunjung ke rumah. Mereka berencana menginap beberapa hari lantaran ada tugas survei dari Jawa Pos. Sejatinya, tanpa ada alasan itu pun, saya sudah tentu pulang juga. Rindu pada suasana Ramadan di rumah.
Setahun yang lalu, saya menghabiskan bulan Puasa di Palembang. Bahkan hingga hari raya Idul Fitri. Kali ini, akan sangat menyesal rasanya jika belum sempat mencicipi berpuasa di kampung halaman.
Rutnitas yang saya lakukan di siang hari adalah membantu ibu memasak. Saya selalu bersemangat jika melakukan hal satu ini. Mulai dari mencuci ayam, memotong sayuran, hingga meracik bumbu. Urusan goreng-menggoreng lauk pun juga tidak ketinggalan.
Memasak bersama ibu itu menyenangkan. Yah, meski hanya sebatas asisten tapi dalam kacamata saya, memasak itu tidak mudah. Untuk menyajikan masakan yang enak ternyata memiliki tantangan tersendiri. Keseimbangan komposisi bumbu, tingkat kematangan setiap komponennya, hingga padu padan satu masakan satu dengan yang lainnya agar nyambung dimakan, adalah beberapa hal yang harus diperhatikan.
Saya berpikir, bagi seorang ibu yang sudah menjadi chef keluarga bertahun-tahun, pekerjaan itu tentu tidaklah terlalu berat. Ternyata tidak demikian saudara-saudara. Memasak ternyata butuh proses yang panjang. Ibu harus memulai proses jerih payah itu sejak sebelum berbelanja. Beliau harus memikirkan cukupnya anggaran dengan apa yang akan dibelanjakan untuk keperluan menu hari itu. Selesai dengan rencana itu, ibu akan menuju pasar untuk berbelanja. Di pasar, ia akan menawar harga yang dipatok para pedagang. Setidaknya, itulah yang selalu saya lihat saat menemani ibu berbelanja.
Sepulangnya belanja, pekerjaan memasak yang sesungguhnya menanti. Perjuangan di dapur ini juga bukan perkara sederhana. Karena nikmat tidaknya hidangan keluarga hari itu ada di tangannya. Sudah tentu, seorang ibu tidak ingin menyajikan nasi yang terlalu keras, atau ikan yang gosong saat digoreng, atau bahkan lauk yang kurang matang untuk suami dan anak-anaknya.
Memasak itu harus bisa multi tasking. Sekali melakukan satu hal, ibu harus mampu melakukan hal lainnya selama bersamaan. Sambil menanti sayur matang, beliau menyempatkan mencuci piring. Sambil menggoreng ayam, sesekali beliau mengupas bumbu dapur untuk racikan bumbu.
Saat saya membantu ibu menggoreng ayam, sempat beberapa kali kecipratan minyak panas karena bumbu ayam mengandung sedikit air. Belum lagi kalau sudah menggoreng ikan bandeng. Entah berapa kali cipratan minyak dengan volume lebih banyak yang nyasar saat hendak membalik ikannya.
Saya jadi teringat tweet Goenawan Mohamad, "Dirahmatilah makanan di meja kita, karena ia juga dari jerih payah orang lain." Semakin berarti lagi adalah saat makanan di meja itu adalah buatan ibu.
Dan ibu saya melakukan semua hal itu sejak dulu. Agar beliau bisa menghidangkan yang terbaik untuk orang-orang yang dicintainya. Agar suami dan anak-anaknya tidak terlambat untuk sarapan, makan siang, makan malam di hari-hari biasa serta sahur dan berbuka dengan nikmat jika bulan Ramadan tiba. Dari sinilah saya menyadari, entah sudah berapa banyak hari, bulan, dan tahun yang terlewat sehingga saya bisa tumbuh baik dari masakan chef terbaik keluarga.
Terima kasih ibu atas semuanya. Suatu hari aku juga ingin seperti ibu, menjadi chef terbaik di mata suami dan anak-anakku.
aduh mau nangis baca nya
ReplyDeletekenapa gue jd melankoli gini
nangis aja nyum. kamu kan emang nangisan.. hehehe
Deletemakanya sekali2 bantuin mamak memasak, jangan macul aja di sawah :D
huaaa pengen nangis rasanya... ternyata gak senyum doank yg berubah jd melankolis...nggak jarang saya masih suka protes sama masakan mamak, "kurang asin" atau misal "kurang krasa nih bumbunya", tanpa memikirkan perjuangan mamak masakin saya dan keluarga... terimakasih upik, telah mengingatkan saya :*
ReplyDeletesame with me. masih suka komplain dengan masakan ibu. kalo dipikir2 lagi, nyesel juga suka ngomong gitu.
Delete