Aku mengenalnya di balik tumpukan arang hitam. Kerap kudapati ia meringsuk di antara lautan arang hingga tak sadar baju dan mukanya pun coreng moreng berwana hitam.
Aku mengenalnya di balik wajah awet mudanya. Langkah kakinya tak pernah kendur menyusuri tujuh mata air yang konon membuatnya tetap muda.
Aku mengenalnya di balik baju usang, motor tua, rambut putih panjang dan tato yang merajah tubuhnya. Ia selalu datang dengan keras deru motor dan kegilaan tingkah lainnya.
Aku mengenal mereka semua, tiga orang di masa lalu.
Wanita tua berambut putih tampak jeli menghitung uang yang diperolehnya. Dimasukkannya rezeki hari itu ke dalam sebuah dompet yang lebih mirip kantong jimat dari kain jarik. Tangannya hitam sehabis melayani penjual bakso yang membeli dua kresek arang.
Aku menuju ke arahnya hendak menukar uang lima puluh ribuan. “Opo Yuk?” tanyanya saat melihat kehadiranku di depan pintu tempatnya berjualan. “Ijol dhuwit Mbah,” jawabku tanpa sedikitpun ber-kromo alus yang lazim digunakan untuk menghormati orang tua. Tanpa banyak omong, melihat selembar lima puluh ribuan dijulurkan, ia dengan sigap menghitung uang ‘recehan’ untuk diberikan kepadaku. Meski sudah tua, ia masih sangat jeli. Sedikit pun tidak ada kertas bertuliskan angka-angka itu luput dari matanya. Ya, setiap kali aku menukar uang pada nenek ini, hitungannya tidak pernah kurang atau lebih.
Selama ini, aku hanya tahu orang-orang memanggilnya yung Isah atau mbah Isah. Setahuku, mbah Isah tinggal sendiri di rumah yang berada tidak jauh dari tempatnya berjualan. Jarang sekali aku melihatnya bersama anggota keluarga yang lain. Tapi pernah juga, ia dikunjungi anak perempuannya.
Ya, aku memang tidak terlalu mengenal nenek yang entah sudah menapaki usia berapa puluh tahun ini. Dari kacamataku, ia adalah seorang single fighter, perempuan tua yang berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Kerutan-kerutan di dahinya tak sedikit pun menyiratkan beban berat kehidupan tengah menempanya. Sunggingan senyum dan gelak tawa yang dibaginya hampir setiap hari bisa jadi menutupi semua itu. Ya, senyum karena arangnya laris manis.
***
Ia begitu percaya hal mistis. Suatu kali saat keluargaku mengajaknya liburan di Candi Prambanan, ia tampak komat-kamit membaca sesuatu sambil menyentuh patung-patung di setiap candi. Keyakinan berbau kejawen itu sudah mengakar kuat agaknya, karena ia sendiri mengisahkan pernah menelusuri tujuh mata air dengan berjalan kaki.
Wanita yang sudah berusia lebih dari paruh baya itu memang masih nampak segar bugar. Bu Sum, demikian aku biasa memanggilnya. Meski saat itu usiaku masih 4 tahun, aku memanggilnya dengan sapaan Bu, meniru ibuku yang memang memanggilnya demikian.
Ia menghuni sebuah kios kecil selisih satu rumah di samping kanan kios orang tuaku berjualan. Wanita ini lebih sering keluar daripada menjaga kiosnya yang berisi jualan seperti obat nyamuk, rokok, minuman berkarbonasi, hingga tuak. Ke manapun pergi, ia selalu berjalan kaki, kecuali saat hendak pulang ke Ponorogo, kampung halamannya. Biasanya, ia selalu memberiku oleh-oleh jenang Ponorogo kalau sudah kembali dari kampung halamannya itu. Kadang aku sendiri menaruh heran, wanita yang sudah lebih dari 70 tahun kok masih kuat berjalan jauh.
Sama seperti mbah Isah, Bu Sum adalah orang yang selalu berbahagia. Ia kerap berkelakar dengan siapa pun. Pernah suatu saat dalam candaan di sore hari, Bu Sum spontan menari Jawa menirukan irama campur sari dari radio. Kami pun hanya bisa tertawa menyaksikan tingkah nenek yang penuh semangat itu. Dalam benakku, mungkin karena tidak pernah membebani diri dengan hal apapun, ia bisa tetap sehat dan jarang sakit-sakitan di senja usianya.
Di kota kecil ini Bu Sum tinggal sendiri. Atik, anak tertuanya bekerja sebagai TKW di Hong Kong. Setiap bulan, anaknya ini rutin mengirimi uang untuk keluarganya, termasuk sang ibu. Keluargaku pernah berkunjung sekali ke rumahnya di Ponorogo karena undangan acara pernikahan saudara Bu Sum. Melihat kondisi rumahnya di desa, menurutku Bu Sum bukanlah orang kekurangan yang harus banting tulang di usianya yang sekarang. Atik, putrinya malah sudah meminta ibunya itu berkali-kali untuk berhenti berjualan. Lebih baik tinggal di rumah saja istirahat. Tapi sang ibu menolaknya.
Bu Sum menentukan pilhannya sendiri. Pilihan untuk menikmati sisa hidupnya dengan apa yang sudah melekat di batinnya. Tanpa peduli pilihan itu benar atau salah, Bu Sum hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
***
Pertama kali bertemu dengannya, aku merasa takut alang kepalang. Penampilannya benar-benar seperti preman kampung walaupun usianya sudah menjelang senja. Tak kupungkiri wajahnya menunjukkan penuh wibawa, wibawa seorang lelaki.
Orang-orang memanggilnya Pak Dayak (dalam pelafalan orang Jawa biasa diawali konsonan n di depannya sehingga dibaca ndayak). Pak Dayak sering bertamu ke kios orang tuaku. Ya, meski keluargaku keturunan Madura, kami bisa membaur baik dengan siapapun dari kalangan mana pun.
Pak Dayak selalu hadir dengan kepulan asap motor. Bukan motor biasa karena lengkap dengan desing suara seperti motor pembalap yang sedang trek-trekan. Aku tidak kaget karena tahu pekerjaan sehari-harinya adalah montir di bengkel miliknya sendiri. Jadi, kalau ia ahli modifikasi motor butut jadi ala pembalap pun sudah bukan hal aneh lagi.
Pak Dayak tak pernah bisa diam. Saat beberapa kali ke kios orang tuaku, ada saja yang diperbuatnya. Pernah saat rumah kami kemasukan ular, dengan sigap ia menangkapnya. Hal yang paling gila adalah saat ia menyetir mobil kami setelah diperbaiki di bengkelnya. Pak Dayak mendemokan skill menyetirnya mulai dari loss setir sampai maneuver ala pembalap. Yang menambah jantungan adalah medan alias jalan yang tidak melulu lurus tapi berkelok dan naik turun. Aku hanya bisa berteriak histeris seperti saat menaiki roller coaster. Gila!
Karena sudah berteman baik dengan orang tuaku, Pak Dayak mengundang kami ke rumahnya untuk melihat kelinci peliharaannya. Ya, Pak Dayak memang mengembangbiakkan kelinci untuk dijual atau untuk dikonsumsi sendiri. Benar, di halaman belakang rumahnya ada banyak anak hingga induk kelinci yang gendut. Ayahku pun membeli beberapa anak kelinci untuk dipelihara. Dari kunjungan itu pula aku tahu Pak Dayak memiliki seorang anak laki-laki. Joko namanya. Joko kesulitan berbicara. Meski begitu ia selalu menyambut kami dengan ramah, sama seperti keramahan ibunya menjamu kami saat bertamu ke rumahnya.
Melihat keluarga itu, aku seperti melihat potret keluarga kecil apa adanya. Ya, meski di sisi lain aku mengenal Pak Dayak adalah pemabuk sejati, tapi aku bisa melihat tanggung jawabnya pada keluarga tidak pernah lepas. Ia tetap bekerja, berusaha mencukupi keluarga kecilnya. Pak Dayak is a man with his own choices, stay with drunk and stay with family.
***
Aku mengenal mbah Isah, Bu Sum, dan Pak Dayak sejak usia 4 tahun hingga SMA sebelum kuliah di Surabaya. Ketiganya kini sudah tiada. Ada banyak cerita ‘miris’ yang sengaja tidak saya tuliskan di sini mengiringi kepergian ketiganya. Pada akhirnya aku hanya menulis, mengenang tiga orang di masa lalu yang pernah menjadi bagian masa kecilku.
No comments:
Post a Comment