Pages
Wednesday, November 30, 2011
Putus
"Kita berdua sering beda pendapat. Selama ini saya sama dia memang tidak sejalan." Kalimat yang sangat sulit dipahami. Karena merasa kesulitan untuk mengerti, saya hanya mendengarkan. Sementara teman di seberang telepon berceracau macam-macam kisah di balik itu semua.
Malam itu, sepulang dari praktikum KNT, saya sudah mendapat request khusus by phone. Apalagi kalau bukan urusan curcol dari kawan lama. Bunyi sms nya tidak mencerminkan apapun kecuali satu emoticon :( Ia berjanji akan menelepon setelah saya tiba di rumah dengan selamat tentunya.
Hampir satu jam kami mengobrol. Sedari awal, saya sendiri sudah mengetahui hubungan ia dan pacarnya. Layaknya wartawan infotainment, saya selalu update soal jalinan hubungan mereka. Sayangnya, berita terakhir yang nyantol di telinga, kisah mereka harus senasib dengan hubungan Yuni dan Raffi.
Putus. Satu kata yang sanggup mengubah dunia cerah mendadak jadi hitam. Satu kata yang sanggup mencabik-cabik hati ke lautan yang terdalam. Dingin. Sepi. Mencekam (alay jeh!). Bagaimana tidak? No more message from him, No more phone calling from him, no more somebody caring you, no more, no more, and many many no more (Kok jadi nget lagunya Jason Miraz ya? hehe)
Putus. Siapapun yang terkena sindrom ini bisa dipastikan akan terserang penyakit yang lebih akut lagi. Galau! Itulah nama penyakit yang akan menambah beban mental sekaligus meningkatkan status kesehatan menjadi komplikasi. Raditya Dika contohnya. Di Buku Kambing Jantan, ia menderita sindrom halusinasi berat setelah putus dengan si Kebo. Handphone berasa bunyi meskipun gak ada telepon atau sms. Nah lho, bahaya kan? Ada lagi, Bella di film New Moon. Setelah mendengar kata putus keluar dari mulut Edward, ia dilanda stress berat. Hanya menghabiskan waktu dengan duduk manis di kamar, memandangi jendela hingga empat musim berlalu. (Meski saya merasa agak heran juga sih. Apa si Bela ini nggak kuliah ya?hehe)
Putus juga bukan kata biasa. Ia merupakan lawan terbesar Dewa Amor. Dalam kamus Dewa aramsa ini, kata putus harus dihindari sejauh mungkin. "Gue udah susah-susah ngrajut benang hubungan duo sejoli ini, masak tega loe putus kayak tali layangan gitu aja sih ciiiiin?" kata Dewa Amor. Karena bingung mau jawab apa, saya putuskan no comment aja.
"Saya yakin dia itu orang baik. Tapi kenapa semua jadi kayak gini ya? Apa ini salahku?" ia mulai berdialog dengan diri sendiri, sengaja tidak melibatkan saya sama sekali. Sebagai pendengar, saya tahu diri. Tugas saya adalah mendengarkan dengan sabar. Membiarkan emosinya meletup-letup di awal, dan dengan sabar pula menunggunya reda beberapa puluh menit kemudian.
"Aku harus gimana pik?" Nah, tiba juga bagian ini. Akhirnya, dia sadar juga telah berdialog dengan orang di seberang telepon selama hampir setengah jam.
"Do your activity as usual!" jawab saya mudah. Dalam keadaan hati yang kacau, bisa jadi tidak ada gunanya memberi saran demikian. Tapi buat saya, memang itulah yang harus dilakukan. Membiarkan diri berlarut-larut dengan urusan yang menyita energi dengan percuma adalah kejahatan terkejam dalam hidup. So, kalau putus ya putus aja because we still have to do many many things in our life.
Saya jadi ingat, kata-kata motivasi Pak Mario. "Jadikan diri Anda pantas untuk dipilih. Ketika pasangan Anda meminta putus, Anda bisa pastikan bahwa dia lah yang rugi."
So, special for my beloved friend, try to say:
Loe minta putus? Fine. Loe yang rugi boy! Bukan gue!
then try to keep smile dear:)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wah, gue boleh request ndak? Kisah aramsamu diposting dong, wakakaka
ReplyDeletepasti bakal trading topik, best seller, dibukukan dan dipilemkan juga!
eh, btw setlah membaca gaya loe menjadi pendengar, bisa sy simpulkan: loe nggak cocok jd psikolog! Suer!
Saya memang tidak seprofesional Anda. Saya memang harus belajar lebih banyak kepada Anda.Titik.
ReplyDelete(ala siapa ya kalo pakai titik gini? hahahaha:D)