Apalah arti keluguan, jika lugu itu berkonotasi sebuah kebodohan. Menjelma menjadi aksi ketololan akut. Bermetamorfosa menjadi muka yang hobi mringis, menertawakan sang pemilik tubuh. Senyum keterpaksaan yang lahir dari ketidakberdayaan menghadapi kenyataan. Tapi, justru inilah seni. Sebuah seni untuk menertawakan diri sendiri. Aneh kan?
¬¬¬¬¬
Hari Pertama
Tiga belas jam pasca pantat saya beradu dengan kursi kereta, mata saya tiba-tiba diadu dengan Kopaja yang hendak men”cium” bajaj yang kita tumpangi. Maksrooot, main srobot bung! Hingga hampir bersinggungan dengan sisi bajaj, tak sampai semeter! Mungkin, Lutfia yang baru kali pertama naik kuda besi beroda tiga ini, sudah istighfar 33x! Asap hitam pekat dari knalpotnya sungguh mesra memeluk kita yang belum mandi air, tapi sudah mandi keringat seharian ini. Sempurna!
Untuk menikmati fasilitas eksklusif nan menantang adrenalin tadi, saya harus merogoh kantong 30ribu. Padahal angka itu sudah saya tawar sama seperti menawar harga bayam di pasar, huft. Memang, Ibu Kota sangat amat sungguh lebih kejam dari pada Ibu tiri? Jama’ah...Oh...Jama’ah, betul nggak?
Selamat datang di Jakarta!
Eh, habis ini kita mau kemana? Terdiam. Menggeleng. (#bingungnangalau)
Silahkan dinikmati sebuah memoar: Catatan Perjalanan Orang Udik Masuk Kota.
¬¬¬¬¬¬¬
¬¬¬¬¬¬¬
Di kawasan Sunter.
Tips paling jitu mensiasati hidup sebagai musafir adalah: carilah gratisan dimana pun kesempatan itu ada. Kalau pun tidak ada, buatlah kesempatan itu (#mekso). Yap, agenda pertama kita adalah mencari gratisan. Tepatnya meminjam sepeda motor seorang teman yang kerja di sini. Eh, tak dinyana, kita dapat bonusan berupa pinjaman dua helm plus peta.
Akhirnya, bermodalkan sepeda motor dan peta pinjaman, kita memulai perjalanan ke barat mencari kitab suci, hehe (#lebai1).
Akhirnya, bermodalkan sepeda motor dan peta pinjaman, kita memulai perjalanan ke barat mencari kitab suci, hehe (#lebai1).
Jujur, saya secara pribadi bonek dengan meminjam sepeda itu. Pengalaman di Jakarta mengajarkan, berkali-kali saya terdampar di atas kendaraan umum karena satu kata: MACET. Jatah waktu hidup diatas kata macet itu, jika diakumulasi bisa sama dengan jatah tidur kita sehari. Bayangkan pula, delapan narasumber yang akan kita temui tersebar ke berbagai negeri antah berantah. Siapa tahu jalan Ahmad Yani, kediaman Pak Buchori? Saya mah tahunya Ahmad Yani menuju Graha Pena.
Tanpa pengetahuan berkendara pribadi di jalanan Jakarta, kita memulai langkah pertama perjalanan panjang ini (#lebai2) menuju sekretariat IKA ITS di kawasan Jakarta Pusat. Eits, dari Sunter (Jakarta Utara) hanya sekitar lima centimeter lho, itu kalau di peta. Ah, pasti gampang, deket kok. Tinggal mengikuti jalan saja. Eh, mana arah utara ya? Edisi cerita goblok baru dimulai dengan pertanyaan tadi. Padahal di belakang kita ada masjid, kok masih bingung ara utara?
Tanpa pengetahuan berkendara pribadi di jalanan Jakarta, kita memulai langkah pertama perjalanan panjang ini (#lebai2) menuju sekretariat IKA ITS di kawasan Jakarta Pusat. Eits, dari Sunter (Jakarta Utara) hanya sekitar lima centimeter lho, itu kalau di peta. Ah, pasti gampang, deket kok. Tinggal mengikuti jalan saja. Eh, mana arah utara ya? Edisi cerita goblok baru dimulai dengan pertanyaan tadi. Padahal di belakang kita ada masjid, kok masih bingung ara utara?
¬¬¬¬¬¬
“Pesen soto sama teh hangat Bu”
Sembari menunggu kita menentukan strategi untuk melawan musuh bernama: NYASAR. Dan pesanan pun siap disantap.
“Soto apaan ini?” batinku. Beda sama soto Lamongan, haha. Semakin ke barat, kuah soto semakin encer dan campuran sayurnya pun semakin aneh-aneh.
Tanpa banyak cingcong, soto ini pun seperti lenyap ditelan bumi. Tapi, pas minum teh hangatnya. Kok tawar? Saya coba sekali tegukan lagi. Masih tawar. Saya coba sampai hampir setengah gelas, khawatir lidah saya mati rasa manis gara-gara dipelet orang di Kereta tadi malam.
“Bu, tehnya kok tawar”
“Lho, Masnya nggak ngomong kalau teh manis”
Sembari menunggu kita menentukan strategi untuk melawan musuh bernama: NYASAR. Dan pesanan pun siap disantap.
“Soto apaan ini?” batinku. Beda sama soto Lamongan, haha. Semakin ke barat, kuah soto semakin encer dan campuran sayurnya pun semakin aneh-aneh.
Tanpa banyak cingcong, soto ini pun seperti lenyap ditelan bumi. Tapi, pas minum teh hangatnya. Kok tawar? Saya coba sekali tegukan lagi. Masih tawar. Saya coba sampai hampir setengah gelas, khawatir lidah saya mati rasa manis gara-gara dipelet orang di Kereta tadi malam.
“Bu, tehnya kok tawar”
“Lho, Masnya nggak ngomong kalau teh manis”
Ups! Saya lupa, kalau di sini, teh itu sama dengan teh tawar. Jadi kalau mau teh manis, bilang teh manis, harus lengkap. Ingat! Beda sama negeri Malaysia. Di sana, teh sama dengan teh campur susu. Kalau mau teh saja, harus bilang teh tanpa susu. Hashh..
¬¬¬¬¬¬
Akhirnya, tiba di kawasan Tebet. Prestasi kita hari ini: hanya nyasar satu kali dengan jarak tak lebih dari 50 meter. Satu jam dari Sunter, kita sampai juga Sekretariat IKA ITS, Royal Palace Building B-11, Jl. Prof. Dr. Soepomo SH 178 A, Jakarta Selatan.
¬¬¬¬¬¬
Akhirnya, tiba di kawasan Tebet. Prestasi kita hari ini: hanya nyasar satu kali dengan jarak tak lebih dari 50 meter. Satu jam dari Sunter, kita sampai juga Sekretariat IKA ITS, Royal Palace Building B-11, Jl. Prof. Dr. Soepomo SH 178 A, Jakarta Selatan.
“Hahhh? Ini kandang ayam apa kandang kebo?”
“Bukan. Ini kapal pecah”
“Salah. Ini penampungan TKI”
Otak kanan saya bernostalGILA, sementara mata ini semakin terpaku dan terpukau dengan kondisi lantai tiga bangunan ini. Kondisinya tak jauh beda dengan kontrakan saya yang dulu. Berantakan! Kaos, sarung, kertas, pulpen, handuk, air minum, laptop, bersatu padu membentuk persatuan tak bernama. Bahkan, ada celana dalam perempuan digantung di depan kamar mandi!!! Dimanakah Superwomannya? Sampe itunya tertinggal.
“Tepatnya, inilah barak pengungsian bencana akibat perang moral abad ke-XXX!,” otak saya semakin gila.
Jujur, saya tidak bisa mendiskripsikan kondisi Hotel Gratis Tjap IKA ITS ini. Tapi inilah tempat tinggal saya selama empat hari ke depan bersama dengan tiga anak PSM yang sedang mencari spondon sejak lima hari lalu.
¬¬¬¬¬¬¬
Setegah hari pertama, tanpa adaptasi, dan tanpa pengetahuan awal tentang rute kawasan ibukota, kita langsung menjajal peruntungan dengan mendatangi kediamannya Pak Marseno, Rektor ke-2 ITS di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Pusat. Sebagai aktivis jalanan yang hobi nyasar, tidak terlalu susah mencari alamatnya beliau. Hanya satu kata yang membuat muak sepanjang perjalanan: MACET! Kata itu seperti kutukan yang tidak ada obatnya.
Beliau masih segar bugar, bahkan masih masuk kerja. Saya sebagai anak muda (biasanya ngaku tua), sungkan dengan semangatnya di usianya yang sudah senja ini. Secara, saya masih malas-malasan kalau sudah terbentur aktivitas yang seakan-akan tidak bisa diteruskan lagi (YouKnowWhat)
“Sudah lama, Pak?”
Saya tercekat dengan pertanyaan Lutfia kepada beliau.
“Oh baru kemarin bulan Maret,” ungkap Pak Marseno sambil memandang foto almarhum Istrinya.
Ini menanyakan kematian orang tercinta narasumber seperti menanyakan “Berapa anak Bapak?”. Frontal banget, batinku.
Tapi sepertinya yang paling parah adalah kebodohan saya. Saya berkali-kali salah menyebut nama Marseno dengan Prof Soemadijo, rektor ke-3 ITS yang sudah almarhum. Yang lebih fatal lagi, saya suka menyebut lengkap dengan kata “almarhum”.
“Selama Bapak menjadi Rektor, apakah Bapak sering interaksi dengan almarhum bapak Marseno?”
Heitss..Polosnya diriku. Dan Pak Marseno hanya bengong. Ketika beda arti kata "polos" dan "goblok" hanya selebar selembar kertas.
¬¬¬¬¬¬
Hari kedua
“Tepatnya, inilah barak pengungsian bencana akibat perang moral abad ke-XXX!,” otak saya semakin gila.
Jujur, saya tidak bisa mendiskripsikan kondisi Hotel Gratis Tjap IKA ITS ini. Tapi inilah tempat tinggal saya selama empat hari ke depan bersama dengan tiga anak PSM yang sedang mencari spondon sejak lima hari lalu.
¬¬¬¬¬¬¬
Setegah hari pertama, tanpa adaptasi, dan tanpa pengetahuan awal tentang rute kawasan ibukota, kita langsung menjajal peruntungan dengan mendatangi kediamannya Pak Marseno, Rektor ke-2 ITS di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Pusat. Sebagai aktivis jalanan yang hobi nyasar, tidak terlalu susah mencari alamatnya beliau. Hanya satu kata yang membuat muak sepanjang perjalanan: MACET! Kata itu seperti kutukan yang tidak ada obatnya.
Beliau masih segar bugar, bahkan masih masuk kerja. Saya sebagai anak muda (biasanya ngaku tua), sungkan dengan semangatnya di usianya yang sudah senja ini. Secara, saya masih malas-malasan kalau sudah terbentur aktivitas yang seakan-akan tidak bisa diteruskan lagi (YouKnowWhat)
“Sudah lama, Pak?”
Saya tercekat dengan pertanyaan Lutfia kepada beliau.
“Oh baru kemarin bulan Maret,” ungkap Pak Marseno sambil memandang foto almarhum Istrinya.
Ini menanyakan kematian orang tercinta narasumber seperti menanyakan “Berapa anak Bapak?”. Frontal banget, batinku.
Tapi sepertinya yang paling parah adalah kebodohan saya. Saya berkali-kali salah menyebut nama Marseno dengan Prof Soemadijo, rektor ke-3 ITS yang sudah almarhum. Yang lebih fatal lagi, saya suka menyebut lengkap dengan kata “almarhum”.
“Selama Bapak menjadi Rektor, apakah Bapak sering interaksi dengan almarhum bapak Marseno?”
Heitss..Polosnya diriku. Dan Pak Marseno hanya bengong. Ketika beda arti kata "polos" dan "goblok" hanya selebar selembar kertas.
¬¬¬¬¬¬
Hari kedua
“Ini memang jalannya yang terlalu rumit apa aku yang bodoh ya?” mulutku mulai mengumpat. Menyesali kebodohan diri.
Hanya karena salah mengambil jalur dari kanan, kita memilih kiri dengan asumsi akan jauh lebih dekat dan menghindari macet, ehhh...kita justru nyasar ke negeri 1001 jalan. Ya, akhirnya kita nyasar. Ini bukan nyasar biasa. Jarak yang seharusnya bisa kita tempuh antara 10-15 menit menjadi 2 jam guys!
Dari kawasan Tebet, menuju jembatan Casablanca dan lurus terus sampai SMA 79 dengan tujuan akhir kawasan Mega Kuningan, justru kita nyasar sampai Menteng! Gila nggak sih? Parahnya lagi, kita dengan kepolosan yang luar biasa melalui Jalan Jatinegara Barat sebanyak tiga kali! Apakah kita perlu thowaf 33x di jalan ini untuk mendapatkan pencerahan?
Kegalauan itu ditambah dengan “aksi mencari putar balik” yang membuat kita harus melaju lurus terus sampai Kemayoran Baru, alamaaakk. Dari peta yang sudah tidak bisa dipercaya, sampai mulut yang kehabisan air liur untuk bertanya (#lebai3), kita pasrah dengan mengandalkan naluri untuk kembali saja ke basecamp daripada menyusuri jalan tak berujung ini.
Pernah satu kali memutar balik memotong jalur busway. Legal, berhasil dan lega. Tapi ada yang aneh saat kita sudah berhasil putar balik.
"Jalur yang kita lewati ini jalur apa?"
"Arrggg...Ini jalur Busway! Lha trus, kendaraan di depan kita itu ngapain berada di jalur ini?"
Pikirku, kita mengikuti kendaraan mirip Kopaja di depan kita sejak awal putar balik supaya aman dan ada "temannya". Tapi?
"Dasar bis edan!"
Dengan embel-embel bendera warna merah layu bertuliskan "SMK", dua mini bis dengan satu sepeda motor yang membututinya dari tadi melaju tanpa merasa berdosa. Dan kita?
"Mampus koen! Ini jalurnya kok disekat dengan pedestrian sih? Masak kita harus menabrak pembatas jalan busway dengan jalur normal ini? Hah?"
"Mampus! Pasti ketilang ini! Sudah sepeda pinjem, ketilang di Ibu Tiri pula :'( "
Ahhh...setelah hampir 3 kilometer. Tidak ada tanda-tanda polisi, dan ada lampu merah di depan sana. Akhirnya bisa melalui jalur Halal. Alhamdulillah.
Setengah jam kemudian.
“Mass...., Mbalik ae wes, iki endi dalane?” suara Lutfia sudah separau rintihan bebek kehilangan paruh. Menyesal. Pasrah.
Memang benar apa kata pepatah, banyak jalan menuju Keputih. Setelah nyasar, tersasar dan menyasarkan diri, akhirnya kita mendapatkan “hidayah” berupa jalan awal di dekat SMAN 79. Puter balik dan akhirnya kita bisa sampai di kediaman Pak Marseno kira-kira jam setengah enam lebih, menjelang maghrib.
Teringat arloji yang melengkung mesra di pergelangan tangan. “Tadi kita berangkat jam setengah empat!”
¬¬¬¬¬¬¬
Hari ketiga.
“Ahhh.....Ini sudah Bekasi Masss...,” seperti biasa, partner saya memulai kegaluannya dengan aksi panik.
Tapi justru saya lebih panik lagi. Tujuan kita adalah kawasan Pangkalan Jati, Jakarta Selatan. Lha ini sudah sukses menembuh kawasan itu sampai di Bekasi! Nah, jalan sejengkal di peta memang penipu ulung. Ternyata dari Tebet sampai ke kawasan ini, jauuuh sekali. Jauhnya menjadi-jadi setelah (seperti biasa) kita menyasar berkali-kali pula.
Tapi akhirnya tepat masuk Jalan Pangkalan Jati, di depan sana ada penjual Es Buah, EUREKA! Akhirnya, ngidam pertamanya Lutfia terpenuhi. Sejak kemarin, padahal dalam kondisi flu, masih saja terobsesi akut dengan Es Buah. Huffft.
Pasca es buah lenyap oleh mulut yang penuh kerakusan, saya menghubungi dua narasumber terkait.
“Maaf Pak, hari ini saya harus pergi dengan keluarga. Besok pagi saja bagaimana?”
Hampir semua narasumber pasti menyapa dengan kata “Pak”. Bahkan, Bapak Djawahir Adnan pun sama. Apakah saya sudah setua itu? Ah, alhamdulillah, masih belum disapa “Om”, haha.
Tengah hari ini berakhir dengan ketidakbisaan dua narasumber yang memupuskan semangat DJOEANG! kita. Sudah dibela-belain nyasar sampai Bekasi! Tapi tak apalah, Dufan di depan mata.
#saksikan episode selanjutnya :-)
#saksikan episode selanjutnya :-)
ditulis oleh Nur Huda, rekan ITS Online yang mbolang bareng saya ke Jakarte
No comments:
Post a Comment