Saya terkaget-kaget membaca fakta mencengangkan dari negeri China. Negara yang digadang-gadang mampu menyaingi perekonomian Amerika tak disangka punya rahasia tersendiri di balik kemajuannya. Tapi percayalah, tak ada satu negara pun yang mau mengikuti jejaknya dalam satu dan dua hal di balik rahasia kemajuannya tersebut.
Sebuah buku dengan sampul dominasi warna merah awalnya tidak begitu menarik perhatian saya di sela-sela kesibukan mencari bacaan saat liburan. Tapi karena warna mencolok dan sederet tulisan di cover tersebut membuat saya jadi berpikir lain dan menimbang sejenak. Di atas judul utamanya tertulis Dilarang Beredar di China! Pemenang Lettre Ulysses Prize. Edisi Bajakannya Terjual 10 Juta Kopi. “Buku macam apa ini?” gumam saya saat itu. Tanpa pikir panjang, saya pinjam saja bacaan berjudul China Undercover itu.
Penulisnya adalah pasangan suami istri bernama Chen Guidi dan istrinya Wu Chuntao. Keduanya sama-sama berasal dari keluarga rakyat jelata. Chen dan Wu merasa tergerak untuk mengungkapkan ketidakadilan yang mendera rakyat jelata terutama para petani. Mencengangkan bukan? Bagaimana bisa sebuah negara berpaham sosialis komunis macam China justru makin menindas kaum papa?
Sejak dulu China dikenal sebagai sebuah negara yang sangat luas dengan catatan sejarah lebih dari tiga ribu tahun. Dan petani adalah populasi mayoritas negara tersebut. Jika hendak dikaitkan dengan Revolusi Komunis China, secara teori memang perubahan besar-besaran ini sangat berpihak pada kaum petani. Tak lain karena ajaran komunis sendiri yang hadir untuk menguasai, membagi-bagikan tanah, dan membuang jauh-jauh kekuasaan tuan tanah yang parasit. Komunis juga benar-benar mempresentasikan keinginan kaum yang terpinggirkan kala itu.
Dan seperti biasa, teori selalu jauh dari praktek. Siapa sangka jika awal mula revolusi justru juga menjadi awal bencana bagi jutaan warga China. Kembali ke pertanyaan awal, lantas apa yang tidak perlu ditiru dari sebuah negara bernama China?
Sebuah buku dengan sampul dominasi warna merah awalnya tidak begitu menarik perhatian saya di sela-sela kesibukan mencari bacaan saat liburan. Tapi karena warna mencolok dan sederet tulisan di cover tersebut membuat saya jadi berpikir lain dan menimbang sejenak. Di atas judul utamanya tertulis Dilarang Beredar di China! Pemenang Lettre Ulysses Prize. Edisi Bajakannya Terjual 10 Juta Kopi. “Buku macam apa ini?” gumam saya saat itu. Tanpa pikir panjang, saya pinjam saja bacaan berjudul China Undercover itu.
Penulisnya adalah pasangan suami istri bernama Chen Guidi dan istrinya Wu Chuntao. Keduanya sama-sama berasal dari keluarga rakyat jelata. Chen dan Wu merasa tergerak untuk mengungkapkan ketidakadilan yang mendera rakyat jelata terutama para petani. Mencengangkan bukan? Bagaimana bisa sebuah negara berpaham sosialis komunis macam China justru makin menindas kaum papa?
Sejak dulu China dikenal sebagai sebuah negara yang sangat luas dengan catatan sejarah lebih dari tiga ribu tahun. Dan petani adalah populasi mayoritas negara tersebut. Jika hendak dikaitkan dengan Revolusi Komunis China, secara teori memang perubahan besar-besaran ini sangat berpihak pada kaum petani. Tak lain karena ajaran komunis sendiri yang hadir untuk menguasai, membagi-bagikan tanah, dan membuang jauh-jauh kekuasaan tuan tanah yang parasit. Komunis juga benar-benar mempresentasikan keinginan kaum yang terpinggirkan kala itu.
Dan seperti biasa, teori selalu jauh dari praktek. Siapa sangka jika awal mula revolusi justru juga menjadi awal bencana bagi jutaan warga China. Kembali ke pertanyaan awal, lantas apa yang tidak perlu ditiru dari sebuah negara bernama China?
Industrialisasi China
Selama lebih dari tiga puluh tahun, para petani China menanggung beban berat. Hanya saja beban tersebut tersembunyi karena negara tidak lagi berhubungan langsung dengan para petani secara individu. Sebanyak 130 juta rumah tangga petani tak lama kemudian berubah menjadi tujuh juta kelompok gotong-royong yang pada kelanjutannya bermetamorfosis kembali menjadi 790 koperasi pertanian. Tak butuh waktu lama untuk secara besar-besaran mengubah koperasi-koperasi tersebut menjadi 52.781 komune rakyat pada tahun 1958. Tidak ada satu pun petani yang dapat menghindar dari jerat jaring tersebut.
Lantas untuk apa pembentukan sekian puluh ribu komune rakyat yang beranggotakan para petani tersebut? Mereka (para petani) ternyata harus mengumpulkan modal untuk industrialisasi China. Berbagai sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap China membuat partai dan pemerintah pusat tidak punya pilihan selain memprioritaskan industrialisasi. Lagi-lagi kaum terpinggirikan macam petani lah yang menjadi sasaran. Jadi bisa dikatakan, perbaikan industri China dibangun dari darah dan keringat para petani yang membanting tulang. Dan pembangunan kota tak lain diraih lewat penderitaan dan pengorbanan mereka.
Lantas untuk apa pembentukan sekian puluh ribu komune rakyat yang beranggotakan para petani tersebut? Mereka (para petani) ternyata harus mengumpulkan modal untuk industrialisasi China. Berbagai sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap China membuat partai dan pemerintah pusat tidak punya pilihan selain memprioritaskan industrialisasi. Lagi-lagi kaum terpinggirikan macam petani lah yang menjadi sasaran. Jadi bisa dikatakan, perbaikan industri China dibangun dari darah dan keringat para petani yang membanting tulang. Dan pembangunan kota tak lain diraih lewat penderitaan dan pengorbanan mereka.
Pajak dan Denda Mencekik
Satu lagi yang sangat popular di kalangan para petani adalah pajak dan denda. Sudah tak terhitung jumlahnya berapa yuan yang harus dikorbankan para petani hanya untuk membayar beban yang dikenakan kepada mereka. Umumnya pajak dan denda yang sampai mencekik mereka adalah hasil dari penggembungan angka oleh birokrasi setempat.
Pemerintah tingkat desa bisa membebankan sampai sekian puluh pajak kepada para petani miskin ini. Tak jarang mereka berlaku tidak manusiawi untuk menagih pajak-pajak yang harus dibayar, mulai dari bentakan-bentakan kasar, perusakan, hingga pemukulan fisik, tak peduli yang dihadapinya adalah nenek tua renta. Tak pandang bulu. Bagi mereka pajak dan denda berarti uang. Jika tak bisa mendapat uang dari si petani, dengan seenaknya apa-apa yang ada di dalam rumah langsung disita, persediaan beras pun dikuras juga oleh mereka.
Sebenarnya para petani bukan tanpa usaha untuk menghadapi keadaan tersebut. Setiap mereka melapor ke birokrasi yang lebih tinggi, selalu saja diremehkan dan tak pernah mendapat tanggapan serius. Kongkalikong antara para peitnggi desa, kecamatan, sampai kabupaten adalah hal yang biasa. Karena itulah para petani merasa perlu mengadu ke birokrasi yang lebih tinggi, tingkat provinsi atau pusat.
Pemerintah tingkat desa bisa membebankan sampai sekian puluh pajak kepada para petani miskin ini. Tak jarang mereka berlaku tidak manusiawi untuk menagih pajak-pajak yang harus dibayar, mulai dari bentakan-bentakan kasar, perusakan, hingga pemukulan fisik, tak peduli yang dihadapinya adalah nenek tua renta. Tak pandang bulu. Bagi mereka pajak dan denda berarti uang. Jika tak bisa mendapat uang dari si petani, dengan seenaknya apa-apa yang ada di dalam rumah langsung disita, persediaan beras pun dikuras juga oleh mereka.
Sebenarnya para petani bukan tanpa usaha untuk menghadapi keadaan tersebut. Setiap mereka melapor ke birokrasi yang lebih tinggi, selalu saja diremehkan dan tak pernah mendapat tanggapan serius. Kongkalikong antara para peitnggi desa, kecamatan, sampai kabupaten adalah hal yang biasa. Karena itulah para petani merasa perlu mengadu ke birokrasi yang lebih tinggi, tingkat provinsi atau pusat.
Secuil Potret Konflik Daerah
Sebuah tragedi di Desa Zhang adalah secuil potret buram kehidupan para petani China. Desa Zhang terletak di dataran rendah tepi Sungai Huai, daerah yang cenderung mengalami kekeringan. Para petani disana juga masih dibebani berbagai denda dan pajak berlebih dari para pemimpinnya. Jadilah desa tersebut kian miskin.
Tanggal 18 Februari 1998 adalah hari yang menjadi bukti bahwa pemerintahan tirani di tingkat desa bisa demikian membabi buta. Zhang Guiquan, Deputi Kepala Desa sangat marah mendengar pengaduan dan tuduhan yang dilontarkan padanya. Dia dituduh menyalahgunakan dana warga. Tak selang berapa lama, tuntutan demi tuntutan warga berbuntut dengan dilakukannya audit pembukuan desa. Akal bulus tiran desa macam Zhang Guiquan kembali bereaksi setelah sekian lama digunakan untuk membebani para petani dengan denda dan pajak fiktif buatannya.
Tanggal 18 pagi, hujan musim semi masih mengguyur Desa Zhang, sebagian besar warga masih bersembunyi di balik selimut hangatnya. Namun apa yang dilakukan Zhang Guiquan justru di luar nalar, karena merasa terusik oleh rencana audit pembukuannya, ia justru nekat membunuh empat orang dari dua belas perwakilan warga yang bertugas mengaudit pagi itu juga.
Dibantu beberapa anak laki-lakinya, dalam hitungan menit Zhang Guiquan sudah membunuh empat orang. Ironis, bersamaan dengan semua itu suara Bos Partai, Zhang Dianfeng membahana lewat alat komunikasi desa. Dianfeng memanggil kelompok audit untuk memulai pekerjaan pagi mereka. Sementara, Zhang Guiquan sudah menghabisi empat pengaudit pembukuannya.
Memang fakta yang bertubi-tubi diungkapkan beresiko menjatuhkan citra bangsa China dengan sederet cap negative: korup, sadis, rakus, dan sebagainya. Setidak-tidaknya kisah nyata yang menjadi kontroversi di Negara China tersebut bisa membuka mata saya yang selama ini hanya silau dengan kedigdayaan mereka semata.
Niatan menulis cerita ini memang semata-mata bukan untuk membanding-bandingkan antara yang terjadi di China dengan Indonesia. Karena berdasarkan hemat saya pribadi, tentulah berbeda, menimbang ideologi yang sangat jauh antara kedua negara. Jika mereka hanya berbasis satu partai dengan sumpah setia pada paham Leninisme, Marxisme hingga Maoisme, tidak demikian halnya dengan yang terjadi di negara kita.
No comments:
Post a Comment