Pages

Monday, October 31, 2011

Ya Sudahlah!

Tadi pagi saya tes praktikum ke dosen. Lumayan lah hasilnya, lumayan runyam. Bahasannya mengenai pressure drop dan pressure saat tes pun, saya rasakan juga bikin drop, hahahaha*menertawakan diri sendiri.
Sorenya, menumpahkan seember uneg-uneg ke salah satu teman. Sharing sejenak dan saya hanya bisa tertawa lagi meski masalahnya tak serunyam kasus pertama (baca: tes dosen tadi).  Enggan berpanjang-panjang, saya menutup hari ini dengan kalimat: "Ya sudahlah"

Thursday, October 27, 2011

Sat=Saturated



Minggu perkuliahan sudah berada di pertengahan. Dan mahasiswa, sudah tahu betul apa artinya. Tugas, kuis, praktikum, tes dosen, dan kuliah mendadak menggila. Lagu lama! Hal berkebalikan didapati saat awal-awal minggu perkuliahan. Minimal, sebelum tersentuh waktu praktikum. Kuliah teknik serasa kuliah ilmu sosial. Lepas kuliah, tak ada praktikum, belum penuh tugas, dan dengan santai bisa melanglang buana ke organisasi atau kesibukan (tak) penting lainnya.

Saya mendengar istilah saturated pertama kali sejak kuliah Azas Teknik Kimia I. Tepatnya di tahun kedua kuliah. Pengertian saturated yang saya pelajari saat itu hanya terbatas pada solutions alias larutan. Tidak lebih!

Meningkat lagi ke mata kuliah lain di semester yang sama, ada Kimia Fisik. Istilah ini muncul lagi. Kali ini kaitannya dengan diagram fasa. Di atas grafik, berteman dengan garis batas antar fase, ia menari-nari minta dipahami. Yeah, saturated!

Lain Kimia Fisik, lain pula Thermodinamika. Mata kuliah penuh simbol properti gas dan larutan ini entah sudah berapa kali menyertakan kata ‘sat’ di tiap chapternya. Smith Van Ness menurut saya terlalu mengumbar istilah saturated. Sampai-sampai ia melabeli setiap variable semacam suhu, tekanan hingga entalphy dengan embel-embel ‘sat’. Sepenting itukah eksistensi makhluk bernama saturated ini?

Jejak Smith Van Ness rupa-rupanya mampu menginspirasi Geankoplis, Mc Cabe, dkk di mata kuliah Operasi Teknik Kimia. Dasar tren! Biar pun nggak keren, terus saja diikuti. Kenapa bukan kata lainnya?

Saturated buat saya berarti cukup sederhana. Jenuh! Yang artinya, saya butuh istirahat. Butuh berhenti sejenak dari rutinitas. Cukup. Lepas itu, bisa saya pastikan saya punya lebih banyak tenaga untuk menghadapi saturated yang nyata di Operasi Teknik Kimia maupun Thermodinamika.

Sunday, October 23, 2011

Tentang Cinta

Cinta yang berkobar-kobar itu cepat padam. Ibarat lilin yang dibakar dari dua sisi, ia akan cepat habis. So, tegakkanlah cinta dengan nasehat orang tua, dengan iman, serta kedekatan pada Tuhan.

-Mario Teguh-

Buka Mata Buka Hati

Mengisolasi diri dengan seabrek rutinitas harian macam saya (mahasiswa) sebenarnya sah-sah saja. Normal jika sehari-hari saya harus bergulat dengan kewajiban kuliah, praktikum berikut membuat lapres atau justru harus sibuk berkelindan dengan tugas-tugas organisasi. Sekali lagi, ini wajar alias lumrah. Hingga suatu saat saya tersadar, justru di situlah letak ketidakwajaran saya sebagai seorang mahasiswa.

Sedikit berbagi cerita. Saat itu saya harus menemui seorang nara sumber untuk keperluan wawancara. Beliau adalah salah satu Pembantu Dekan (PD) Fakultas Teknologi Industri (FTI) ITS. Cukup lama juga saya menunggunya menyelesaikan berbagai berkas yang berserakan di mejanya. Tak jadi soal buat saya yang saat itu kerjanya hanya menunggu.

Tiba-tiba terlintas dalam benak, entah dari mana asalnya. “Alangkah nyaman ruangan ini, ber-AC dan nikmat sekali rasanya jika bisa bekerja hanya dengan duduk di balik meja dengan sebuah laptop,” batin saya saat itu. Karena dari kursi tempat saya duduk menghadap langsung ke jendela, saya jadi bisa menengok ke luar kaca bening sekedar mengamati orang berseliweran. Kontras. Hawa di luar panas, jauh dari hembusan surgawi macam udara penyejuk ruangan, lengkap dengan pengharumnya sekalian.

Pak PD meninggalkan saya sendirian di ruangan besar tempatnya sehari-hari berkantor itu, Ia keluar ruangan sebentar entah untuk keperluan apa lagi. Dan kembali muncul lah pikiran-pikiran nyeleneh dan melenceng dari topik cuaca panas. Lantas saya jadi mengingat-ingat sesuatu kemudian membandingkannya, sama persis dengan yang saya lakukan barusan.

“Kira-kira apa ya yang dikerjakan para kuli bangunan sekarang? Apa ia berada tinggi di gedung-gedung pencakar langit hanya untuk menyusun batu bata satu persatu? Terus, bagaimana dengan abang tukang becak? Apa dia mengayuh pedal becaknya dengan loyo karena belum sarapan? Atau dia lagi pusing mikirin hutang setorannya kemarin sama juragan si empunya becak?” Pikiran masih berkelebat ke sana ke mari dan Pak PD masih belum berniat wawancara, kali ini ia tengah sibuk dengan suara di seberang telepon. Artinya ia memberi kesempatan imajinasi saya melambung kian tinggi.

Sinyal otak kembali berbunyi, mungkin ia kasihan melihat saya yang sedari tadi menunggu. “Apa jadinya ya gedung para wakil rakyat disana? Bisa jadi selevel di atas ruangan yang sedang saya tempati ini mungkin. Ah tidak-tidak, pasti lebih bagusan, dana pembangunannya triliunan itu,” batin saya lagi. Retorika sederhana. Maklum, hanya sekedar pemikiran dangkal. Tapi juga tidak mengada-ada.

Sudah hampir setengah jam menunggu dan rupanya Tuhan benar-benar menguji kesabaran saya. Syukurlah masih ada pikiran nyeleneh yang setia menemani. “Ruangan nyaman bisa dibilang fasilitas oke donk. Soal kinerja pasti jos, kan ndak ada yang dikeluhkan kekurangan ini-itu?” Saya kembali termenung karena faktanya tidak demikian.

Menyedihkan. Berpikir tentang hal satu ini membuat saya kehilangan minat berpendapat. Selain karena memang menyadari bahwa ironi itu bisa hadir dari sisi mana pun, saya merasa tidak berhak mengadili sesuatu yang cacat dan salah di mata hukum. Salah satunya soal kinerja awut-awutan para wakil rakyat. Toh, sudah ada peradilannya sendiri. Meskipun kerap kali ia juga harus mengorbankan kewibawaannya karena memvonis koruptor puluhan triliun uang negara dengan sekian tahun hukuman penjara hingga memunculkan antipati masyarakat.

Tiba-tiba terlintas satu hal menyoal ketidakwajaran saya sebagai seorang mahasiswa. Seperti mahasiswa pada umumnya, saya memiliki kesibukan kuliah dan berorganisasi. Baik kuliah dan berorganisasi lebih banyak memberikan porsi sosialisasi dengan sesama civitas akademika kampus. No fell alias biasa saja.

Karena juga menekuni bidang jurnalistik di kampus, kerap kali saya harus meliput event-event kemahasiswaan. Dari situ lah ada sedikit pencerahan menanggapi rutinitas harian kebanyakan mahasiswa, termasuk saya.

Kegiatan yang saya liput bertajuk Buka Bersama Anak Negeri dan BEM FTK, yang bertempat di Sanggar Alang-Alang. Istilah anak jalanan memang diperhalus menjadi anak negeri oleh seorang Didit Hape, pensiunan jurnalis senior TVRI. Bersama sang istri yang sevisi, Bunda Ersa, Didit gigih membangun sanggar yang menanungi anak-anak terlantar.

Memang sedikit sekali jumlah orang yang memiliki kepekaan sosial macam Didit dan istrinya, yang mau bekerja tulus tanpa pamrih untuk mengabdikan diri bagi sekitar. Dihadapkan pada kenyataan demikian, saya merasa kerdil. Jadilah saya menilai diri sendiri sebagai pribadi yang tidak peka, terlalu lama menutup mata dan telinga karena tak meluangkan waktu sedikit saja untuk melihat lingkungan sosial sekitar.

Saya kembali teringat nasehat Ibu Sri Sutantinah, alumni Teknik Sipil ITS yang saat ini menjadi Kepala DPU Kaltim. “Jadi mahasiswa itu jangan hanya sibuk dengan kuliah dan organisasi, tengok lingkungan sekitar, belajar lah lebih peka dengan membantu semampunya,” pesannya.

Kiranya kita semua sudah harus membuka mata dan hati, belajar peka dengan kehidupan sosial sekitar. Beruntunglah kalian, teman-teman mahasiswa yang telah lebih dulu melangkah membangun negeri atas inisiatif sendiri. Semoga tak hanya kalian atau seorang Didit Hape yang bersedia setia bekerja tulus.

Hanya bermula dari menunggu di sebuah ruangan ber-AC entah kenapa saya jadi berurai panjang lebar seperti ini.

What An Inspiring People They Are


Bagiku, siapa pun orangnya dan apa pun profesinya adalah sosok inspirasional. Entah itu penjual kacang rebus, tukang becak, wanita penjaja koran, atau seorang bapak-bapak dengan keterbatasan fisik tapi rela berpanas-panasan berjualan koran di perempatan lampu merah. Ia bergelanyut dengan tongkat yang menopang tubuhnya sambil menanti lampu merah tanda berhenti menyala lantas menghampiri para pengendara dengan tumpukan beberapa koran di tangan kanan .Teriakannya turut mengisi padat jalan di terik siang. Bagi saya, mereka semua inspiratif.

Sense sebagai seorang jurnalis menuntut saya peka pada hal-hal kecil di masyarakat, bukan hanya di kampus. Jika di kampus yang saya hadapi adalah civitas akademika dengan background apa pun, menurut pemikiran saya mereka semua terdidik, tapi tidak dengan kehidupan luar kampus.

Saya masih harus berguru pada sosok-sosok sederhana yang pernah saya jumpai tadi. Pelajaran mengenai hidup berkecukupan lebih luas pengertiannya bagi mereka. Bagi mereka, hidup cukup sangat jauh dari pengertian awal yang kebanyakan orang definisikan. Hidup berkecukupan bukan berarti memiliki rumah mewah, mobil sekelas pajero dkk atau deposito menggunung.

Pertanyaan-pertanyaan kecil yang kerap saya ajukan kepada mereka mulai membuka mata saya. “Bapak sudah lama berjualan kacang rebus?” atau “Dapat rezeki berapa Pak dalam sehari kalau mbecak gini?” Demikian mengejutkan ketika pertanyaan tersebut dijawab dengan kalimat yang tak biasa. “Sejak 1969 mbak, sampean aja belum lahir,” jawab bapak penjual kacang rebus yang hingga kini masih setia dengan gaweannya itu. Sementara bapak tukang becak , “Dapatnya ndak mesti mbak, tapi alhamdulillah cukup saja,” jawabnya sambil mengayuh becak yang saya tumpangi.

Satu lagi pelajaran, bahwa rezeki boleh datang dari jalan mana pun. Selama ia dicari dengan usaha, keringat, dan yang terpenting adalah halal maka rezeki tersebut menjadi berkah bagi pemiliknya. Tak salah lagi apa yang diucapkan ibu saya, “Cari rezeki yang halal, Insyaallah pasti jadi berkah,” pesannya.

Saya Sangat Mencintai Almamater

“Saya sangat mencintai almamater, saya bangga pada ITS,” dua orang yang penah saya wawancarai berujar demikian. Mereka adalah Prof Djoko Sungkono (Teknik Mesin 1967) dan Sri Sutantinah (Teknik Sipil 1978). Lagi-lagi karena keperluan jurnalistik, saya berkesempatan bertemu beliau-beliau.

Bu Sri Sutantinah atau akrab disapa Bu Tantin, saya temui saat meliput beliau untuk profil alumni inspiratif. Saat ini beliau tengah menjabat sebagai Kepala DPU Kalimantan Timur. Ucapannya di atas membuat saya kagum. Bagaimana tidak, ia yang sudah lulusan sekian puluh tahun silam ternyata masih menaruh hati pada almamaternya.

Hal ini tentu kontras dengan mahasiswa ITS saat ini. “Saya itu lho, bangga sekali sama ITS,” ujarnya dengan logat Jawa. “Tapi saya heran, anak-anak yang kuliah di ITS kok sepertinya biasa-biasa saja, tidak memiliki kebanggaan tersendiri begitu?” lanjutnya.

Prof Djoko Sungkono, saya temui saat proses pembuatan buku sejarah ITS. Beliau adalah Guru Besar ketiga yang dipunyai kampus perjuangan. Kebetulan, saya berkesempatan mewawancarai beliau untuk menggali informasi seputar ITS di masa  lalu. “Saya sangat mencintai ITS, mungkin karena almamater ya,” ujarnya sambil tersenyum.

Dari kedua orang tersebut, saya menangkap satu kesimpulan. ITS punya tempat tersendiri di hati mereka.

Antara Tugas dan Kado Pernikahan

I wrote this note unseriously,
just wanna describe and remember the past when we were at Senior High School.



 

Sabtu itu berjalan layaknya Sabtu-Sabtu kemarin. Tapi selalu saja ada sensasi berbeda ketika sudah tiba hari H. Kelas TIK menjadi kenangan tersendiri bagi saya dan kawan-kawan XII IA 4. Dari situlah kami banyak belajar, mulai dari kemandirian hingga keberanian yang berbuah cerita konyol masa SMA, khusus yang terakhir mungkin hanya dialami Genk Kwaci .

Dua jam senam jantung di jam pelajaran Bahasa Inggris milik Pak Eko usai, bel tanda istirahat pun berbunyi. Dari ruang 14, semua berbondong-bondong pindah ke kelas berikutnya, TIK. Khusus kelas satu ini, kami menempati laboratorium komputer di lantai satu, kecuali untuk saat-saat tertentu, sesekali juga menempati laboratorium lantai 2.

Tak berapa lama kemudian usai jam istirahat, pelajaran dimulai. “Jaringan berdasarkan area bisa terbagi atas LAN, MAN, dan WAN,” suara di depan mengalir mengisi ruangan penuh komputer yang kami tempati. Terdengar asing bagi saya dan anggota Genk Kwaci lainnya yang juga udik dengan bahasa informasi ala Mr Nasrun.

Mr Nasrun? Ya, itulah nama guru muda yang mengajar kelas TIK kami. Dan menurut pendapat kami semua, kelas TIK menjadi berasa lebih hidup semenjak kehadiran sosok guru satu ini beserta sejuta tugas asingnya. Pak Nasrun, demikian kami semua menyebutnya. Belakangan Rina, salah satu teman sekelas saya lebih senang memanggilnya dengan sebutan ‘Sweetie’, nama yang saya anggap lebih cocok untuk merk sabun bayi. (Dan pada kenyataannya, bukankah memang ada sabun bayi dengan merk seperti yang saya sebut tadi?)

Cukup sudah guru ini membuat pusing seisi kelas. Bukan karena skandal hot macam video porno Ariel Peter Pan, tapi sekali lagi karena sederet tugas aneh yang ditempakan pada kami, murid-murid gaptek di SMA yang notabene jadi patokan kabupaten Magetan tercinta.

Dan benar saja, tugas kali ini adalah mencari informasi mengenai bagaimana cara membuat sebuah jaringan dalam sebuah ruangan. “Buat makalah tentang jaringan, gampangannya cari tahu bagaimana mendirikan warnet,” jelasnya tanpa beban sedikit pun di hadapan kami semua.

Singkat cerita, beliau meminta kami menerangkan dan merangkum secara detail soal jaringan. Tak ketinggalan dengan mendata berbagai perangkat yang diperlukan sampai menghitung biaya setiap komponen. ”Sebagai contoh, ada berapa jenis kabel yang digunakan, butuh berapa meter, berapa harga tiap meternya, dan bagaimana cara pemasangannya, semua harus jelas,” terangnya lagi. Belum cukup puas memberi beban sekian puluh ribu Newton, si Sweetie menambahi lagi dengan satu lagi istilah extra ordinary di telinga kami. “Makalah harus dibuat dengan format pdf,” imbuhnya.

Dooooooorrrrrr !!!! Seisi kelas meledak. Suara riuh rendah pasar mendadak berpindah dari Pasar Sayur ke dalam Laboratorium Komputer SMA 1 Magetan. Saya sendiri yang sedari tadi ngah-ngoh soal tugas membuat makalah jadi tambah kehilangan minat. “Heh, format pdf ki piye?” Dan jawaban klasik hampir seisi kelas, “Mboh ora ruh,”  Sebuah pertanyaan dan jawaban yang terngiang-ngiang di telinga sampai bel pulang berbunyi. Kalau Mbet yang mengeluhkan pasti sydah berujar demikian, “Mbet piye iki?” (Hehehe, peace Mbet)

Itulah sedikit oleh-oleh yang kami dapat di Sabtu yang indah. Genk Kwaci yang notabene juga tergabung dalam satu kelompok, tak satu pun paham dengan tugas yang diberikan barusan because all of us are gaptek.

Ide awal untuk menutupi kekurangan diri (lho?) adalah bertanya. Bertanya pada mbah Google dan bertanya langsung pada sang ahli topologi jaringan. Memilih bertanya pada sumber yang pertama bisa dibilang susah-susah gampang. Gampangnya informasi yang dicari jumlahnya berada di kisaran berjuta-juta sampai tak hingga. Sementara susahnya, bisa jadi karena saking banyaknya bikin kepala pusing memilah-milah. Oke lupakan sejenak sesi wawancara ekslusif dengan mbah Google. Mari memulai kisah romantis saat wawancara bersama para narasumber yang kedua (maksude opo?).

Tokoh pertama yang menjadi sasaran kami untuk menggali informasi adalah sebuah toko komputer yang berlokasi dekat dengan TKP (baca: SMA 1 Magetan). Sontak kami berempat pun grudukan memadati toko yang bahkan sampai sekarang saya tidak tahu namanya (Parah Jeh, ada yang tahu?tempatnya di sebelah barat Pom bensin). Belum apa-apa kita malah sudah ditawari Flash Disk (FD). “Mau beli FD yang berapa giga?” tanya pria separoh baya yang barusan keluar dari Avanza hitam. Kami berempat jadi makin keki mau bertanya lebih soal tugas, malu karena ke situ ternyata tidak berniat membeli apapun.

Bukan Genk Kwaci namanya kalau menyerah dan mundur hanya karena rasa malu. Akhirnya, dinekat-nekatin juga dah memulai percakapan soal niatan mulia menunaikan tugas dari Sang Hyang Guru Sweetie. Beruntung Pak Heri, pemilik toko yang menanyai kami tersebut bersedia berbagi ilmu. Sesi wawancara pun dimulai, beliau memberi tahu kami mengenai biaya dari berbagai peralatan yang diperlukan untuk merangkai sebuah jaringan.

Tak cukup puas dengan hanya satu sumber, kami berlima melanjutkan investigasi ke lokasi dekat TKP. Kali ini yang menjadi pilihan kedua adalah bakal calon Warnet Azema. Bisa dikatakan, kami lah saksi berdirinya warnet satu ini. Bagaimana tidak, warnet yang belum di-launching dan masih dalam tahap renovasi itu sudah kami datangi (kurang gawean men sing nekani? batinku). Tak apalah, sekali lagi inilah bukti pengorbanan kami mencari ilmu meski hanya dengan separo niatan.

Beberapa orang tampak sibuk di bakal calon warnet yang berada tepat di depan SMA 1 Magetan tersebut. Kami pun memberanikan diri menemui salah seorang diantara beberapa mas-mas yang (kelihatan) sangar. Satu orang yang agak gendut lah yang menjadi pilihan kami. Rupanya ia tengah sibuk dengan komputer server di depannya. Tanpa perkenalan dan basa-basi sedikit pun (yang jelas ini tentu sangat tidak sopan, menurut yang saya pelajari, salah satu etika wawancara adalah memeperkenalkan diri terlebih dulu) kami langsung mencecar si mas yang agak gendut tadi dengan berbagai pertanyaan soal pendirian sebuah warnet.

“Wah, aku gak ngerti nek masalah kuwi,” jawabnya polos dan sedikit terkesan tanpa usaha. Namun ia mau sedikit bermurah hati agar kami tidak terlalu kecewa mendengar ucapannya barusan. Spontan, dengan berselancar ria browsing, ia mencarikan contoh proposal untuk mendirikan warnet. Disuguhi informasi demikian kami hanya bisa tersenyum dan berterima kasih. Dan tak disangka-sangka, mas agak gendut itu tadi malah menawarkan promosi, ”Nanti kalau Azema buka perdana kesini ya, biar dapat gratisan,” iklannya. Satu lagi budi baik yang kami terima dari mas agak gendut adalah rekomendasinya atas narasumber yang ketiga. Siapa mereka? Cekidot!!!

Tokoh berikutnya yang beruntung kami datangi adalah pemilik NEY Comp, toko penjual barang-barang berbau elektronik IT. Sekali lagi kami harus kembali menemui mas-mas. “Mas Arief bukan?” demikian sapaan awal salah satu dari kami, tentunya dengan gaya sok kenal dan lagi-lagi tanpa perkenalan diri dulu. Untungnya, kami tak salah orang, dia lah pemilik NEY Comp yang mas warnet agak gendut tadi maksudkan.

Tanpa babibu dan menunggu lebih lama, niatan wawancara untuk melengkapi tugas TIK segera kami ceritakan. Syukurlah, Mas Arief yang juga agak gendut sedikit mau menerima kami berempat yang tidak jelas asal-usulnya ini. Usai menggali sedikit informasi dengan menanyakan bebearapa hal. Mas Arief juga menyuruh membuat list pertanyaan dan meminta kami datang lagi keesokan hari di rumahnya jika ingin bertanya lebih.

Persis seperti yang dijadwalkan, besoknya kami menuju rumah narasumber ketiga untuk wawancara lebih lanjut. Namun apa dikata, kami harus menelan pil pahit (lebay, baca: rasa kecewa) karena yang dicari tidak ada. Eh, malah dihadapkan pada mas-mas lagi.

Sepintas wajahnya memang mirip dengan Mas Arief. Hanya saja mas yang kami jumpai kali ini lebih putih dan lebih kurus. Dia memperkenalkan diri, namanya Mas Nur, yang ternyata adalah kakak dari Mas Arief. “Koyok kembar, tapi ngganteng sing iki,” batin saya. Kami juga baru tahu kalau di rumahnya, ternyata juga membuka servis komputer dan lain-lain. Dari Mas Nur pula kami tahu kalau Mas Arief tengah sibuk menyiapkan resepsi pernikahannya. Karena itulah Mas Nur bersedia meladeni niatan wawancara kilen adiknya kemarin. Tak sampai setengah jam tanya soal ini itu, kami pun berpamitan. “Matur nuwun nggih Mas,” ujar kami kompak dan masih dengan gaya cengar-cengir.

Karena bingung bagaimana hendak membalas budi baik narasumber ketiga, kami berempat pun sepakat membelikan kado pernikahan untuk Mas Arief. Entah dari mana asalnya ide konyol macam itu tercetus. Padahal kalau dilogika, harusnya kami memberikan barang yang tidak hanya dikhususkan untuk satu orang saja. Sudah lupakan saja masalah ini, mari memilih kado yang tepat untuk resepsi pernikahan. Singkat cerita, pilihan kami pun jatuh pada satu paket gelas seharga Rp XXX,00 (Maaf saya lupa nominalnya). Dengan dibungkus kertas kado seadanya kami juga turut menyertakan ucapan Selamat Menempuh Hidup Baru.

Paket itu pun kami antar langsung untuk diberikan. Dengan gaya malu-malu dan ragu-ragu, akhirnya kado pernikahan itu berhasil juga diberikan lewat Mas Nur. “Opo iki? Wis gak usah gak popo,” ujar Mas Nur (Jujur, uisn puol Jeh pas kuwi). Kami berempat hanya bisa tersenyum dan menahan malu untuk kesekian kalinya. Pemberian kami sore itu disambung ucapan terima kasih Mas Nur dan beberapa kerabatnya di rumah (Sumpah, tambah isin pindho soalae akeh wong pas ngekekne).

And finally, kelompok kami pun berhasil menelurkan sebuah makalah berjudul JARINGAN WIRELINE, JARINGAN WIRELESS DAN TOPOLOGI. Parahnya setelah sekarang file yang masih nangkring di komputer saya itu  coba saya baca ulang, hasilnya sama sekali tidak memenuhi standar penulisan sebuah makalah. Sementara isinya? Blas bablas, sing nggawe dhewe ae gak mudeng opo maneh wong liyo… hahahaha

Saturday, October 22, 2011

Need To Be Focus

You just need to be focus. Then you can see it clearly.


Tuesday, October 18, 2011

Lelah

Kadangkala saya enggan mengeluhkan lelah yang  mendera. Tapi saat sudah berlebih, keluhan itu meluncur begitu saja. Meski sebenarnya, saya menyadari betul bahwa lelah adalah konsekuensi diri. Mau lelah atau tidak sebenarnya adalah pilihan tho? Duduk manis di rumah serta berkawan dengan kesenangan pribadi juga adalah pilihan. Bangun dengan paksa di pagi hari serta meng-off-kan diri di waktu dini hari, lagi-lagi juga pilihan. Hendak menambahkan sambal atau tidak pada mangkok bakso kita pun juga pilihan. Bukankah memang benar demikian?

Okelah kalau begitu. Sudah saya putuskan. Saya memilih lelah untuk saat ini. Bukan, bukan. Bukan lelah yang saya pilih. Tapi saya hendak melelahkan diri dulu.

Maharani

Lepas kuliah lapangan PT Petrokimia Gresik, pulangnya mampir ke Lamongan. Iseng-iseng, saya jeprat-jepret Gua Maharani. Wooooa, nice:D

Welkam:)

Etnik! satu hal yang saya suka dari tempat ini

Mulut Gua Maharani

Stalaktit di langit-langit goa


Batuan, That's a beautiful one!

Keep focus with the triangles, not the model.. hahahay:)

Sarang lebah, Meskipun hanya replika, tetap eyecatching.

And guess which one is ethnic? hahaha

Cute monkey. Baru tahu kalau ada spesise monyet ukuran mini:)

Dont u know, inside it is a museum!

Just Stay

Nothing else. Just stay with........

Saturday, October 15, 2011

Trans Studio Makassar

Relaks sejenak setelah hampir satu minggu berkutat dengan presentasi PIMNAS.
Sebelum kembali ke Surabaya, kontingen ITS berkesempatan mengunjungi Trans Studio Makassar.


Photo taken by: Lisana and Fanny

Thursday, October 13, 2011

McCoy Sosialisasikan Program Fullbright


Michael E McCoy, Executive Director American Indonesian Exchange Foundation (Aminef) hadir secara langsung ke ITS untuk mensosialisasikan Program Fullbright. Di awal sosialisasi, McCoy sempat menyebutkan beberapa nama orang-orang hebat lulusan Fullbright. Salah satu diantaranya adalah novelis dan cerpenis yang saya kagumi, Putu Wijaya. Superb!

Di beasiswa Fullbright ini, partisipan akan mendapatkan fasilitas berupa biaya kuliah, uang buku, uang saku bulanan, tiket penerbangan internasional, serta asuransi kesehatan. Lebih lanjut, McCoy juga memaparkan beberapa tips lolos beasiswa. Menurutnya, hal terpenting dari aplikasi beasiswa adalah study objective. Banyak peserta yang gugur sebelum sampai ke tahap wawancara karena menulis study objective menggunakan SKS (Sistem Kebut Semalam). Study objective memang hanya sebanyak satu halaman dan 500 kata, tapi dari situ hampir 85% menentukan lolos tidaknya peserta ke tahap wawancara.

Untuk menulis sebuah study objective, tentunya peserta memerlukan berbagai informasi tentang sekolah tujuan di Amerika. Hal itu dinilai penting untuk mengetahui kemana tujuan dan arah calon penerima beasiswa. McCoy memberikan tips sederhana. Cukup buka website universitas yang bersangkutan, cari tahu bidang keahlian seperti apa yang ada, lihat persyaratannya, kemudian bandingkan, dan selesai. Tinggal menuliskan seperti apa rencana-rencana Anda terkait riset hingga tujuan yang ingin dicapai.

Ada jokes yang selalu terlontar sepanjang sosialisasi. McCoy bercerita soal pengalamannya mensosialisasikan program dari berbagai tempat di Indonesia. "Kebanyakan mereka mengeluhkan skor TOEFL yang terlalu tinggi," ujar McCoy. Pria berambut putih ini berpendapat meraih skor TOEFL tinggi tidak sesulit yang dibayangkan. "If you spend just 30 minute at night to study, I think in six month you'll reach 600 TOEFL score." Dan tips terakhir yang disampaikan McCoy: Perbaiki study objective dan aplikasi kita berkali-kali!

Just Apply!
Kalau persyaratan mengharuskan TOEFL 500 dan TOEFL Anda hanya 480, apakah Anda tetap akan melamar?
"Ya! Just apply. Kita akan membaca study objective secara teliti."
Kalau persyaratan mengharuskan GPA 3.0 dan GPA Anda hanya 2.87, apakah Anda tetap akan melamar?
"Ya! Just apply. Kita akan membaca study objective secara teliti."

***

Nice info. Thanks Mr McCoy. Anyway saya baru sadar. Global Undergraduate Exchange Program (UGRAD) yang saya minati tinggal 2 mingggu lagi menuju deadline. And what does it mean? Segera lengkapi aplikasimu Upik!

Wednesday, October 12, 2011

Hotel Majapahit Surabaya

Meski sudah tidak menjadi reporter lagi, selama ada kesempatan yang bisa diambil., ya saya ambil. Prinsipnya itu saja. Termasuk ketika ada ajakan ke Hotel Majapahit Surabaya dari reporter junior. Tanpa pikir panjang, langsung saya iyakan, Budhal wis! Memang pekerjaan sebagai redaktur bisa dikatakan lebih santai,. Saya tidak perlu lagi turun lapangan berburu berita dan menulis demi memenuhi deadline. Tapi menjadi redaktur bukan juga pekerjaan mudah. Itulah pekerjaan, setiap posisi ada plus minusnya.

Meski sering melewati Hotel Majapahit, satu kali pun saya belum pernah masuk ke dalamnya. Baru ketika  ada tawaran tadi, saya bisa sedikit mencicipi destinasi satu ini. Ketika Toni, reporter junior mengunjungi hotel untuk keperluan liputan, saya pergi ke tempat itu untuk satu tujuan: foto-foto. Dan rasa penasaran saya pun terobati setelah jeprat-jepret sana sini.



Hotel Majapahit dulunya bernma Hotel Yamato. Hotel ini merupakan salah satu tempat bersejarah di Kota Surabaya. Di sini ini pula terjadi Insiden Hotel Yamato, peristiwa perobekan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) menjadi bendera Indonesia (Merah-Putih) pada 18 September 1945 oleh arek-arek Suroboyo. Tak heran jika tempat ini memiliki prestise tersendiri karena bernilai sejarah tinggi.

Hotel Majapahit sendiri hingga saat ini masih mempertahankan gaya kuno bangunan-bangunannya meski sudah renovasi di sana-sini. Di beberapa spot bahkan sengaja dipampang beberapa foto Soerabaja Tempoe Doeloe. Dan lagi pemandangan hijau di hotel benar-benar mengesankan. Waktu satu jam untuk berkeliling pun jadi tak terasa.














Tuesday, October 11, 2011

Nongkrong Lepas Lembur

Open recruitment ITS Online rupanya cukup menguras tenaga. Rapat digelar hari Minggu lepas maghrib hingga hampir pukul 22.30 malam. Hasilnya? Menentukan siapa yang berhak lolos tes tulis tak sesederhana yang dibayangkan.  Usai melaksanakan kewajiban rapat, kami memutuskan agenda rutin: makan-makan. Karena sudah hampir tengah malam, kami sempat galau mencari tempat makan. Alhasil, genk motor kami pun putar balik sampai dua kali di daerah Mulyosari. Eh, akhir-akhirnya malah mampir ke KFC. Dan, yak dari sini lah sesi geje part 2 dimulai. Di jam yang sudah goblok, kami semua mendadak jadi tambah goblok.. hehe. But it's fun! Really!

Malam itu saya benar-benar menjadi waitress sepertinya
Senyum dulu sebelum makan:D
Gaya baru minum sup ala mas bah: pake sedotan
Sup aneh nan kental membuat ton berekspresi seperti itu
Yak, Agnes Monica dan IDP menemani dinner midnight kami malam itu

Super!!! Onliners, kapan lagi ada momen seperti ini?

Saturday, October 8, 2011

Totally Full on Saturday

What for today?
1.Preparing writing test for open recruitment ITS Online
2.Getting Toefl Test
3.Being a spokerman in journalistic training at Skala D3teksi
4.Correcting the reportation of open recruitment's participants

Tired? Maybe
Bored? Absolutely no because it's fun.

Bruce Lee said: 
If you spend too much time thinking about a thing, you’ll never get it done.
If you love life, don’t waste time, for time is what life is made up of.

Sunday, October 2, 2011

Ethnic

Sarung tradisional khas Madura dan sebuah sandal teklek. Dua benda yang hampir setiap hari saya pakai ini unik. Lebih tepatnya ethnic! Berbau tradisional. Asal tahu saja, keduanya favorit saya lho! Teman-teman saya bilang, "Kok bisa pakai sarung fi? Apa nggak takut mlorot itu nanti?" hahahaha:) Saya hanya tertawa. Itu kan pikiran mereka. Buat saya yang sudah pro pakai sarung begini, tidak ada kekhawatiran berarti. hehe:)