Pages

Saturday, August 27, 2011

She's The Naked Traveller

Saya belum pernah mengenal Trinity sebelumnya. Karyanya? Belum pernah juga. Saya baru mengetahui kiprahnya sejak diterima sebagai salah satu peserta Future Leader Summit di Universitas Diponegoro. Ternyata, ia adalah seorang traveller.

Trinity: the white one

Trinity (nama pena) adalah seorang full-time traveller dan penulis freelance. Dia juga seorang editor in Chief dari Venture Travel Magazine, kontributor dari berbagai majalah nasional Indonesia, bekerja di Indika FM, blog dan social media entrepreneur. Tak hanya itu, ia juga menjadi English-Indonesian translator, copywriter, dan speaker di beberapa bidang kreatif penulisan, blogging, atau traveling. Lulusan S1 Komunikasi Undip Semarang itu sudah traveling di hampir seluruh provinsi di Indonesia dan juga 44 negara di dunia. Salah satu karyanya adalah The Naked Traveler. The Naked Traveler adalah travel blog pertama di Indonesia (www.naked-traveller.com ) dan juga buku traveling best seller di Indonesia.

Sepanjang diskusi berlangsung, ia lebih banyak memberi kami masukan terkait penulisan popular seperti blog. Ia menyebutkan, blog merupakan salah satu media yang dapat kita gunakan untuk berlatih menulis. Penting untuk membuat suatu identitas blog. Dikatakan Trinity, pemilihan genre ini juga bisa dikaitkan dengan hobi kita, misalnya saja traveling seperti yang dilakukan Trinity. Prinsipnya, setiap orang yang membaca tulisan kita akan merasa mendapat informasi baru. ”Jangan narsis ya,”ujarnya. Wah-wah, saya sepertinya memang harus mengurangi intensitas narsis di blog sendiri…hehehe

Kalau sudah terbiasa menulis. Step berikutnya adalah improvement. Peningkatan kualitas ini bisa dilakukan dengan banyak membaca. Ingat, membaca karya orang lain ternyata bisa menambah referensi kepenulisan kita. Selain itu, kita juga bisa menanyakan kualitas tulisan kita kepada teman. Jangan meremehkan komentar teman lho. Karena komentar mereka juga berperan dalam peningkatan kualitas tulisan kita. 

Next, setelah blog jadi, tugas berikutnya adalah promosi. Trinity mengungkapkan perlu adanya marketing strategy dalam mempromosikan blog. “Sering-sering aja comment di blog orang. Nanti mereka pasti ada kunjungan balik,” ungkapnya. Sertakan juga alamat kita di signature seperti email, cv atau kartu nama. Strategi lainnya yang patut dicoba adalah membuat stiker bertuliskan blog kita, bagi-bagikan secara gratis, tempel di bagian belakang motor atau mobil temen-temen kita. Minta tolong dikit lah buat promosi. Eits, ini khusus kalau ada budget lho!hehe

Kalau semua sudah dilakukan, ya sudah selebihnya hanya tergantung konsistensi kita menulis. Bukan begitu?

Malam 27 Ramadhan


Ramadhan sudah sampai di malam ke-27. Di Pondok Pesantren Al-Khidmah, berduyun-duyun ribuan orang menghadiri majelis dzikir. Malam itu, pertama kalinya saya kesana di bulan ramadhan. Lagi-lagi karena tergoda ajakan orang tua. Lepas maghrib kami meluncur. Untunglah jalanan tidak semacet yang dibayangkan, meski tak bisa dikatakan juga bahwa jalanan tidak ramai. Dari arah barat sebelum menyebrang jembatan Kedinding, sudah tampak mobil pick up, colt, lyn, berderet-deret parkir di sebelah kanan jalan. Plat mereka rata-rata S, AG, W, L, dan M.





Sampai di dalam, saya lebih terkejut lagi. Entah ada berapa ribu orang malam itu. Luar biasa animo umat muslim. Tanpa terasa adzan isya berkumandang. Sementara saya masih antri berdesakan, berjubel diantara puluhan orang yang baru datang dan hendak masuk. Syukurlah, ada tetangga yang  kami kenal. Ia memberikan space cukup agar kami bisa sholat dan tentunya berdzikir mengingat Allah sepanjang malam. Aduhai, nikmatnya......


Serangkaian kegiatan malam itu berakhir hingga sekitar pukul 12 malam. Saat pulang, saya sempat memotret salah satu mobil pick up penuh penumpang. Itu hanya salah satu, yang lainnya masih banyak lagi. Sudah tradisi.

Lupa Janji Sendiri

Cerita ini mungkin adalah hal terburuk yang saya alami selama menjadi reporter. Saat rapat redaksi saya sudah menyanggupi mewawancara salah seorang ketua jurusan berprestasi nasional. Beliau adalah Ibu Sri Gunani Partiwi,  dosen Jurusan Teknik Industri ITS. Saya meminta kontak handphone beliau dari Icha, rekan sesama reporter. Senin siang saya sms si ibu. Beliau mengatakan ada waktu longgar mulai Rabu sampai Jumat. Saya menawarkan hari Rabu pukul 10.00 di ruangan beliau. Oke, waktu dan tempat fix sudah.

Minggu ini saya memang berniat ngebut liputan. Tidak liputan selama bulan Juli lalu sukses membuat saya menabung hutang cukup banyak. Total ada tujuh hutang liputan saudara-saudara! Sebelum lebaran, saya berniat mengangsur. Jadilah ada empat liputan di kantong.

Hari Rabu tiba. Saya santai berangkat dari rumah pukul 10.00. Dalam ingatan, saya janjian ketemu ibunya pukul 11.00. Kesalahan besar pun dimulai. Pukul 10.30 saya tiba di kampus dan langsung menuju kantor. Sempat browsing dan bahkan ngobrol-ngobrol sejenak dengan rekan-rekan di sana. Saya tengok handphone, ternyata ada satu sms. Isinya:


Bu Sri Gunani ternyata akan ada rapat pukul 11 siang. Tanpa perasaan bersalah, saya meminta bertemu pukul 13.00 saja, usai si ibu rapat.

Pukul 13.00
Saya sms si ibu, menanyakan apakah rapat beliau sudah selesai dan sudah bisa saya temui. Jawaban beliau sudah. Tahukah Anda dimana posisi saya saat mengirim dan menerima sms tersebut? Saya masih di kantor! Belum sedikit pun beranjak. Akhirnya, saya buru-buru comot tas, kamera, dan kunci motor. Ngacir lah saya menuju Jurusan Teknik Industri. Sekitar lima menit kemudian saya sudah berada di ruangan si ibu.

Kalau Ibu Sri tidak mengatakan bahwa dirinya menunggu sejak pukul 10 siang tadi, mungkin saya tidak akan pernah menyadari kesalahan ini. Attitude-nya? Akhirnya saya memohon maaf berkali-kali. Karena saya benar-benar lupa jam janjian. Bahkan si ibu sampai hendak menunjukkan sms yang saya kirim. Ampuun bu, saya benar-benar minta maaf karena lupa.

Jika sebelum-sebelumnya saya selalu on time dan datang lebih awal saat janjian dengan nara sumber, kali ini benar-benar kesalahan. Mohon dimaklumi, wartawan kan juga manusia.

Tuesday, August 23, 2011

Just Write It!

"Tulis saja! Meski tulisan itu tidak terpublish, bahkan memang tidak perlu dipublish, tetaplah tulis! Karena ketika suatu hari kau baca kembali, akan berbeda rasanya."
Mungkin sekitar setahun lalu, saya mewawancarai Tere Liye, pengarang buku Hafalan Surat Deliza. Pesan itu diucapkannya di sela-sela percakapan.

Monday, August 22, 2011

Best ITS Online 2011


Ini dia keluarga saya selama di kampus. ITS Online edisi 2011. Saya katakan edisi 2011, karena wajah-wajah di atas lah yang masih aktif. Apakah ada edisi sebelumnya? Tentu! Tetapi mereka kakak-kakak sudah pada lulus. Momen-momen gokil saat rapat, saat hang out dan kumpul bersama, sungguh sangat saya rindukan.

Foto:Lisana Shidqina

Smart As'ad


Tiba-tiba saja saya ingin menuliskan manusia kecil satu ini. Ramadhan kali ini, dia menambah gaduh rumah keluarga kami. Saat berbuka, ada-ada saja yang dia lakukan, entah itu mondar-mandir di tikar yang kami gelar lesehan, ceplas-ceplos dengan suara nyaring sekedar mengajak kami ngobrol, atau lebih parah lagi menjelang berbuka, makhluk kecil satu ini mendadak berubah jadi speaker masjid memanggil anggota keluarga yang belum berkumpul. Dasar bocah!

Namanya Muhammad As’ad. Ayah saya memberikan nama untuk keponakan saya itu. Posturnya kecil, item, sedikit gemuk tetapi sangat lincah. Dia cerdas, usianya baru menginjak 2,5 tahun. Senang sekali rasanya ketika kakak perempuan saya (mama As’ad) menginjikan As’ad tinggal bersama kami selama ramadhan ini.

As’ad cerdas?  Ya, dia sudah hafal surat Al-Fatihah, menyanyi macam-macam lagu sampai mengucapkan Thank You saat berterima kasih. Meskipun pendengaran saya sedikit gelu saat mendengarnya mengucapkan thank you dengan lafal tengkiu yang sangat aneh. As’ad suka sekali mandi, kalau sudah maunya, ia bisa mandi sampai tiga kali sehari. Kami pun hanya bisa menuruti. Malas juga melihatnya merengek dan menangis keras-keras. Kalau menggosok gigi, entah berapa banyak busa pasta gigi yang ditelannya..hahaha:D

Keponakan saya ini, komunikatif sekali. Ia selalu bisa membuat kami sekeluarga tertawa karena jawaban-jawabannya. Bagaimana ia bisa terbolak-balik menjawab antara pertanyaan bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, membuat saya terpingkal-pingkal. Makanan kesukaannya? Ayam goreng KFC!!! Minuman favoritnya? Susu bendela!!! Mainan kesukaannya? Hingga saat ini, masih suka mercon banting!!!

As’ad, jangan jadi anak bandel ya sayaaaaang?

Saturday, August 20, 2011

Berjamaah di Plaza

-Joni Ramlan-Berjamaah Di Plaza-oil on canvas-2004-

Suatu hari di bulan puasa…..

“Sialan macet lagi! Sejak kapan Surabaya macet begini?” umpat saya dalam hati. Udara panas di siang bolong kian mempermainkan emosi. Waktu tempuh menuju kampus yang biasanya hanya setengah jam, belakangan bertambah 15 menit. Penyebabnya? Macet! Saya paling benci dengan satu kata itu.

Pernah suatu ketika, saya bersama kakak menempuh perjalanan Magetan-Surabaya dalam  tujuh jam, padahal waktu normalnya adalah lima jam, itu pun melajukan mobil dengan kecepatan standar. Hendak mengumpat? Kepada siapa coba? Jalanan macet ya macet saja, tidak ada solusinya memang. Pengalaman di Jakarta lain lagi. Meski sudah mengendarai motor, saya juga masih terkena macet. Kalau teman saya bilang, macet itu ibarat makan, sudah menjadi kebutuhan pokok penduduk Jakarta.

Namun macet kali ini berbeda. Macet ini bukan karena jam-jam orang berangkat atau pulang kerja, bukan karena kecelakaan lalu lintas, bukan karena iring-iringan pejabat negara lewat, bukan pula karena antrian lampu merah sampai sekian ratus detik. Bukan, bukan karena itu semua. Penyebab macet kali ini sepele, karena antrian mobil dan motor keluar masuk mall.

Jalan depan Jembatan Merah Plaza (JMP) antri. Becak, mobil, motor, angkot sampai pejalan kaki campur aduk di situ. Para tukang becak justru menambah ricuh jalanan. Mereka mengambil jalan berlawanan dari yang seharusnya. Biasalah, potong sana-sini, mencari jarak terdekat.Saat menuju kampus, saya memang melewati jalan yang searah dengan rute kendaraan keluar Plaza itu.

Jam di tangan sudah menunjukkan waktu menjelang dhuhur. Banyak kendaraan keluar mall tapi yang masuk justru tak kalah banyak. Putar balik dekat Jembatan Merah ke arah Plaza juga tak luput dari macet. Motor saya masih melaju pelan dan tentu saja tersendat-sendat. Bunyi klakson hingga umpatan khas Suroboyo nyaring terdengar. Menambah panas ubun-ubun yang sudah terkungkung di dalam helm. Pikiran ini pun merangkak kemana-mana.

Hari berikutnya…..

Saya kebagian mengantar kakak ke pasar. Lepas itu, ia mengajak ke JMP untuk sekedar membelikan anaknya KFC. Motor saya melaju dengan lancar paling tidak hingga arah putar balik dekat Jembatan Merah tadi. Setelah itu jangan tanya? Butuh setengah jam lebih untuk bisa masuk sampai mendapat parkir motor. Lahan parkir darurat pun didirikan. Alasannya sudah bisa ditebak, jumlah pengunjung membludak.

Masuk ke dalam Plaza saya mendapati mall sesak pengunjung. Jauh-jauh lebih ramai dari biasanya. Maklum menjelang lebaran. Kakak saya mulai mengantri KFC. Saya hanya menunggu. Karena penuh, daripada berdiri akhirnya saya nimbrung juga di kursi pembeli lain yang kebetulan kosong. Pemandangan saat itu, demikian banyak orang makan secara terbuka. Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, semua makan dengan nikmatnya di situ. Saya tercengang. “Vulgar sekali!” batin saya. Bulan puasa begini para ibu dan bapak itu makan di siang bolong tanpa perasaan bersalah? Apa memutari mall, sekedar belanja baju dan sepatu membuat mereka benar-benar tidak kuat melanjutkan puasa? Pikiran saya lagi-lagi merangkak kemana-mana. Ah, malas mikirin orang! Pada akhirnya pikiran itu saya biarkan berlalu. Toh, bukan urusan saya!

Hari berikutnya menuju kampus, melewati jalanan macet yang sama…..

Puisi aming aminoedhin tiba-tiba hadir dalam ingatan. Ya, meski tidak membaca karyanya saat lomba baca puisi SMP se-kabupaten dulu, saya masih ingat betul beberapa bagian sajaknya. Puisi itu berjudul Berjamaah di Plaza.

Saat SMP dulu, saat mendengar puisi itu dibaca teman saya Dhana, tak pernah terbayangkan kenapa plaza demikian dipuja dan disambangi melebihi tempat ibadah. Kini setelah tinggal di Surabaya, tahu sudah saya jawabannya. Plaza, setidaknya ia bisa menjadi surga, pemuas konsumerisme hingga gaya gidup.


BERJAMAAH DI PLAZA
 

kata seorang kyai, belajar ngaji
adalah amalan yang patut dipuji
dan sholat berjamaah
dapat pahala berkah
berlipat-lipat jumlah
tapi kenapa banyak orang
belajar nyanyi, belajar tari
dan baca puisi?
tapi kenapa banyak orang berjamaah
hanya di plaza-plaza
hamburkan uang berjuta-juta?
adakah ini dapat dipuji, dan
adakah plaza menyimpan pahala
berlipat ganda?
ah… barangkali saja, plaza-plaza
telah jadi berhala baru
yang dipoles gincu
begitu indah
dan banyak orang ikut berjamaah
 

Surabaya, 1992

Ramadhan sudah lewat 20 hari. Baju lebaran masih belum beli. Besok saya mau ke Plaza ah…..
Dasar kehidupan!

Wednesday, August 17, 2011

Seni Menertawakan Diri (3)

“Kamu nggak ketilang Da?”

“Nggak lah, kan aku juga bawa SIM dari Surabaya dan STNKmu”

“Serius?”

“Ya boi. Tapi tadi sempat ada razia Polisi. Eh, pas sudah mengeluarkan SIM dan STNK, polisinya dengan judes menyuruh kita jalan terus tanpa diperiksa. Tahu gitu kan kita tidak usah berhenti?”

“Hahahaha....syukurlah..”

Saya merasa ada yang aneh dengan teman saya ini. Dari gelagat tawanya sepertinya ada sesuatu yang benar-benar lucu, tentu bukan dari cerita ku sebelumnya. Dan seperti biasa, selalu ada udang di balik rempeyek. Misterius, khas pribadinya.

“Da, tau nggak?”

“Apa?”

“Untungnya kamu nggak ketilang”

“Lha kenapa”

“Ya iyalah, itu kan STNKnya sudah mati beberapa bulan yang lalu”

“Asem! Jadi dari awal kamu sengaja supaya SIMku disita di Jakarta?”

“Hahahaha...,” tawanya semakin keras. Lepas.

“Ya sengaja lah. Aku nggak bisa bayangkan wajahmu di depan polisi Jakarta”

Dan semakin ASEM!

Inilah hobinya, sengajar menyasarkan ku. Menari di atas penderitaan ku. Duh, masih teringat pas kali pertama bertemu dengannya.

“Lho Da, kok kamu tambah pendek?”

Makjleb. Mentang-mentang tambah tinggi dan yang tiap hari fitnes, kalau ngece orang seperti tidak pernah kenal sama sekali.

¬¬¬¬¬¬¬

Malam semakin larut. Tapi, seperti malam tidak punya arti di jalanan kota ini. Lampu penerangan jalan masih tetap setia menggantikan matahari yang sedang beristirahat. Laju kendaraan dihentikan di bagian pinggir jalan yang gelap gulita. Di antara kerumuman pohon yang berjejer rapi itu, saya turun. Tidak ada kendaraan, tidak pula manusia. Tanpa suara. Hening.

Tanpa bulan, tanpa bintang. Hanya kita berdua. Memandangi langit hitam pekat di atas sana. Sambil melirik kanan kiri, saya menggerutu mengapa berhenti di tempat seperti ini. Ini kan tengah malam? Untuk apa kita ke sini?

“Kau lihat Da, orang tua di seberang jalan sana”

Seorang lelaki tua, mungkin sudah paruh baya lebih. Berjalan gontai membawa karung di punggungnya, mungkin pemulung, pikirku. Di tengah malam seperti ini, sepi. Suasana membawa pikiran ku untuk memaklumi kesimpulan ini, teman ku ini ingin bercerita. Saya pun diam.

“Orang itu juga butuh hidup, sama seperti kita. Mungkin dia juga punya keluarga, yang dia perjuangkan hidupnya.
Adakah kepedulian kita dengan mereka?”

Mulut saya terkunci, pikiran ini tidak mau menjawab pula.

“Sementara umat muslim di negeri ini katanya mayoritas, dimana mereka? Sering aku bertanya, apakah ini Islam?”

Masih terdiam. Menyimak.

“Saya paling benci kalau lewat kompleks Sekolah Al Azhar”

“Mengapa?” tanyaku pelan.

“Mereka itu membawa label Islam, dengan nama besar Sekolah Islam pula. Mereka kaya. Setiap berangkat sekolah juga berjejer mobil-mobil kelas atas, yang justru sering membuat macet. Tapi apa mereka peduli dengan orang di depan sana?” tanyanya sambil menunjuk orang tua tadi.

“Sering orang mengaku muslimlah, ikhwah lah tapi tidak pernah ambil peduli dengan orang-orang seperti mereka? Padahal mereka kan juga tanggung jawab kita?”

“Pedulikah kau dengan mereka?” tanyanya padaku.

Aku diam.

“Siapkah kau terjun ke dunia yang sebenarnya? Dunia yang jauh berbeda dengan dunia kampus, dunia mahasiswa yang mengagungkan idealismenya. Mahasiswa yang hobi melakukan aksi demonstrasi. Dunia yang campur aduk. Apalagi di kota Jakarta”

“Ya boi, kan tidak idealisme kan juga dinamis, bisa berubah terus. Apalagi dari mahasiswa ke masyarakat, tidak mungkin stagnan,” timpalku.

“Aku sering menyendiri seperti ini. Menyaksikan idealisme yang bertubrukan, hanya karena alasan bertahan hidup. Terkadang aku keluar sejenak, berdiam diri menyaksikan orang lain di tengah malam. Atau pergi clubbing, menyaksikan banyak wanita berpakaian mini, bir, pemuda pemudi berbaur....hanya sekedar memahami bagaimana islam ada di sana. Padahal rata-rata mereka kan beragama Islam? Idealisme macam apa yang mereka bawa? Inilah Jakarta”

“Sementara orang-orang, yang katanya Muslim taat lah, ustadz lah, atau apalah itu sebutannya,  apa peduli dengan mereka? Bagaimana dakwah Islam bisa sampai kepada mereka, jika tak satu pun dari kita yang memahami mereka? Mereka lebih sibuk mengurusi golongannya sendiri, sibuk mengurusi dirinya sendiri, sibuk dengan zona nyamannya”

Aku tercekat. Anak ini, selalu dan selalu frontal jika bercerita, yang seringnya juga mengkritik pribadi saya secara tidak langsung dan langsung pula.

“Aku juga sering miris, banyak dari dari klienku itu yang mengaku non-muslim atau bahkan atheis tapi mereka bisa sukses dunianya. Dimana umat muslim? Apakah juga, kekayaan teknologi, pengetahuan dan keunggulan sains itu hanya untuk mereka yang non muslim? Saya sebagai muslim juga terkadang malu dengan semangat belajar direkturku dari Jepang yang barusan mualaf”

“Umat muslim hanya menjadi babu, pesuruh. Untuk sholat saja, muslim harus mencuri-curi waktu dan tempat. Sholat saja susah, bagaimana ingin berdakwah? Mengapa bukan hal sebaliknya yang terjadi? Muslim punya perusahaan dan memberikan kelonggaran ibadah untuk karyawannya? Apakah kamu mau menjadi babu juga?”

Kembali, aku tertegun. Tersindiri tajam.

“Ah dunia mahasiswa, dunia penuh kekonyolan. Mengapa dulu aku senang ikut aksi ya?” urainya ketus.

“Mahasiswa...Mahasiswa....,” ujarnya sambil tertawa terkekeh.

“Habis lulus kamu kemana Da?”

“Kerja insya Allah”

“Kerja, itu saja? Dimana?”

“Inginnya di perusahaan energi atau perminyakan”

“Itu saja? Apa nanti kamu hanya kerja saja? Jika sudah kerja, apakah kamu akan masih mau peduli dengan orang-orang seperti itu?”

Sungguh, saya mesti mati kutu jika berdebat dengan dia. Selalu dan selalu, saya mesti dihadirkan dengan paradoks kehidupan yang aslinya juga saya alami, dan ini disodorkan dengan menonjok-nonjok nurani. Seringnya, saya eyel-eyelan mirip anak kecil tanpa ada yang mau mengalah. Sama-sama keras kepala. Kepala batu.

Tapi malam mini, saya lebih banyak terdiam. Memang demikian, itu kesimpulan singkatku. Walaupun aku juga terkadang menyanggah dengan hal-hal yang sedikit tidak nyambung.

“Namanya mahasiswa boi, mereka belum mengalami terjun ke dunia kerja, atau masyarakat langsung. Kan wajar?”

Tapi, apakah kelak apakah sisa hidup saya akan dihabiskan di dunia kerja? Apakah saya masih bisa berkontribusi dengan masyarakat? Apakah saya akan menjadi babu pula? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar, berkeliling cepat, memenuhi otak.  Dan pertanyaan paling mendasar: sampai sekarang, saya masih meraba-raba passion ku terkait dengan profesi. Duh, aneh. Galau.

Sementara dia, memandang life plannya yang terpampang di kamar kosnya, sudah bisa direka kemana dia akan melangkah. Juga setiap detail hal yang harus dilakukan.

“Aku masih punya hal yang belum terwujud Da. Setidaknya aku bisa menghidupi keluarga lain, termasuk dua keluarga yatim yang di Keputih itu”

Pikiranku melaju ke masa lalu. Di kawasan Kejawan gebang, di belakang perumahan dosen blok U, di dekat rawanya ITS. Di situ, saya pernah diajak berkenalan dengan seorang Ibu dengan anak-anaknya. Teman saya ini berbicara bak anak dan Ibunya. Sementara anak laki-lakinya berlari, mengambil nilai rapor yang dijanjikan untuk disodorkan kepadanya. Anak bungsunya, masih mengaji.

Oh...Ternyata. Aku malu.

“Tahun depan insya Allah mau beli rumah dan mau membuka franchise perusahaan di Surabaya”

Semoga sukses Kawan, terima kasih untuk semuanya.

¬¬¬¬¬¬

“Dimana Pak?”

“Di Gedung Bidakara, dekatnya patung Pancoran”

“Itu dimana Pak? Saya tidak begitu hafal jalan di Jakarta”

“Lho, posisi anda kan di Tebet. Itu patung Pancoran itu dekat sekali dari situ”

“Oh begitu Pak. Itu sekitar mana Pak”

“Itu sebelah selatan Pas dari Jl Soepomo”

“Wah..ya sudah kita cari Pak. Oh ya, Bidakara itu sebelah mana?”

“Itu gedung terkenal di Jakarta. Semua orang pasti tahu. Dekatnya Pancoran”

“Ya Pak. Nanti kita cari”

Percakapan saya dengan Pak Tjuk Sukardiman sengaja disingkat agar keluguan saya tidak terekspos secara frontal.

“Hahaha...,” tawa Luftia lepas setelah saya beritahukan percakapan tadi.

“Patung Pancoran itu di belakang sana Mas, itu lho yang kita lewati dari setiap dari rumahnya Pak Marseno”

Dan saya pun teringat dengan patung mirip orang kebelet BAB itu. Atau patung mirip orang yang terobsesi untuk menculek mata temannya, haha. Ya Allah, kecerdasan visual saya memang payah. Itu kan jalan nyasar kita tiga hari berturut-turut sebelumnya.

Sepeda motor kita nyalakan. Menyusuri jalan Prof Dr Soepomo. Ternyata, tak sampai sepuluh menit kita sudah masuk di kawasan yang dimaksud.

“Maaf Pak, gedung Bidakara itu mana ya?”

“Itu di belakang sana,” sembari menunjuk bangunan menjulang tinggi.

“Gedung segede ini gimana nggak popular? Benar-benar udik diriku, haha”

Ya. Akhirnya di kompleks bangunan pencakar langit ini, saya menurunkan Lutfia untuk menemui narasumber. Sementara saya harus ke kediaman Bu Soebagyo Angka dan Bu Maning di kawasan Jakarta Selatan. Kembali, saya terkenang percakapan terakhir dengan Pak Tjuk Sukardiman.

“Ya Hapenya diaktifkan terus ya. Nanti saya hubungi, anda kan tidak ada pulsa telephone”

Ratapan mahasiswa kere.

¬¬¬¬¬¬

Kebiasaan lama saya kambuh, dari kemarin saya belum mandi. Waktu mengantar Lutfia pun saya belum mandi. Bahkan dari kemarin, saya belum ganti baju. Bagaimana bisa ganti baju, sementara seluruh perkakas baju saya ada di dalam sekret yang pembawa kuncinya masih terlelap tidur sampai jam setengah sembilan ini.

Pasca mandi dan packing seluruh perlengkapan, saya meluncur ke arah Pangkalan Jati (lagi). Dengan modal pengalaman galau sebelumnya, hari ini saya lebih pede. Semoga hari ini memeluk asa saya untuk menemui dua narasumber yang keren-keren ini. Lewat jalan Kol MT Haryono, pikir saya, jauh lebih cepat daripada memutar seperti kemarin.

Dari sini, saya melaju terus. Beberapa fly over saya lewati dengan melogika, berapa fly over yang harus saya lewati, baru setelahnya saya harus belok kiri. Satu fly over...dua fly over...tiga...empat...lima...dan saya mulai panik. Tanpa navigator yang biasanya selalu bisa membaca peta, saya berjalan melambat dan pelan-pelan membaca petunjuk jalan. Lurus terus.

“Hah? Bandara Halim Perdanakusuma?”

Alamaaak...Hobi sekali kendaraan ini melaju melampaui batas? Duh, saya harus putar balik. Tapi ternyata, tol tengah di jalan ini seperti tembok besar Berlin yang memisahkan Berlin Barat dan Berlin timur. Akses untuk memutar balik pun, sampai puluhan kilo. Kembali saya harus memutar melewati Kemayoran baru hingga Menteng! Itu lebih jauh daripada jalan awal yang melebihi kawasan Tebet.

Sejam lebih kegalauan jalan ini menemaniku. Hingga sampai di Jalan Kalimalang. Huft...setelah setengah jam kemudian, akhirnya saya sampai di kawasan Pangkalan jati lagi. Berhenti sejenak, membuka Hape. Ada SMS dari Bu Soebagyo hampir dua jam lalu. Isinya, “Maaf pagi ini saya harus pergi, wawancaranya diganti hari senin saja Pak”.

Saya langsung mengalami demotivasi pelan-pelan. Tak apalah, masih ada Bu Menik, pikirku. Ku telephone nomer yang ada di catatan miniku.

 “Maaf Pak, Ibu lagi keluar sejak pagi tadi. Ada temannya yang meninggal”

“Oh...Innalillahi...Kira-kira balik jam berapa Pak?”

“Mungkin sore”

“Sore?” Pekikku dalam hati. Sore itu saya harus sudah di stasiun atau bakal jadi gelandangan di Jakarta tanpa bekal.

“Oh ya sudah Pak, nanti saya hubungi lewat telephone saja soalntya saya harus pulang sore itu juga”

Demotivasi akut. Tubuhku lemas. Perjuangan hari ini harus berakhir hari ini. Pagi jam 6 saya sudah berangkat dari Sunter ke Tebet. Menunggu pintu Sekre dibuka dua jam lebih. Tidak mandi hampir dua hari. Belum makan seharian.

Mau mengeluh? Kepada siapa? Mau marah? Karena apa? Ya sudah lah, lagu Bondan Prakoso terngiang-ngiang. Ya sudah lah, saya harus kembali dan mendengarkan cerita dari parner saya yang entah bisa pulang atau tidak. Atau ditinggalkan begitu saja narasumbernya? Entahlah.

¬¬¬¬¬¬

Hahaha...

Ya. Tertawa itu menyenangkan. Tapi ditertawakan? Tapi sudahlah, tiga hari ini memang penuh dengan agenda menertawakan diri. Justru itulah seninya, hal unik yang belum pernah dilakukan oleh orang lain, ikut menertawakan diri sendiri.

Kembali, Lutfia tertawa mringis.

“Sudahlah mas, memang tidak bisa diprediksi bakal terjadi seperti itu. Masak orang meninggal itu direncanakan?”

Ceritanya, Lutfia sukses berat memeras narasumber, hehe. Dia menemui Pak dan Bu Tjuk, putrinya Pak Jahja Hasyim, salah satu pendiri Yayasan Perguruan Tinggi Teknik (YPTT) Sepuluh Nopember. Tidak hanya kisah dan cerita yang menarik, dia juga dapat lipstick dan pacar yang dibawakan oleh pasangan itu dari Tanah Suci, Makah, selepas umroh bulan lalu. Tak cukup di situ, dia juga dapat uang saku (mirip arek cilik). Ya, Bapaknya yang sudah kaya raya memang mantan aktifis pergerakan mahasiswa, jadi mengerti sekali dengan nasib mahasiswa, hehe.

Tapi sayang, saat ditawari makan, Lutfia menolak. Coba saya ditawari? “Bisa bungkus buat makan sore dan sahur pak”, haha.

Okelah. Masih ada waktu tiga jam sebelum sebelum kita cabut ke stasiun. Sementara Sekre juga masih terkunci, penjaganya masih pergi. Monas menjadi destinasi terakhir, dari kesepakatan kita. Jalan menuju Monas? Kita pikirkan sambil jalan. Karena peta ajaib yang kita pinjam, hilang di Dufan.

Di Monas.

Panas sekali, tidak ada hal yang layak diucapkan selain ramainya pengunjung dan panasnya sengatan matahari hari ini. Saking panasnya, semua serba silau dan malas untuk pindah kemana-mana. Mau masuk museum? Antrean mengular bak gerbong kereta api. Mau naik ke atas? Mungkin kita bakal menjadi pengantre ke-1003 yang bakal naik ke atas.

Ya..kita hanya motret sana-sini, sembari beli kaos Monas dan makan siang. Kembali, saya dihadapkan pada Soto yang mirip air tawar campur sayur. Ah, too...soto...sotoyy...

Dan balik ke Sekre.

¬¬¬¬¬¬

Saya dan Mas Huda dilanda stress!! Mas Huda coba terus menghubungi penjaga sekre. Ampuuuun lamanya!!
Menunggu, sementara yang ditunggu tidak merasa sedang ditunggu adalah hal yang paling saya benci dalam hidup. Dan kini saya harus merasakannya kembali. Dalam sehari, dua kali saya harus menunggu tanpa kepastian. Pagi tadi, dua jam kita mirip gelandangan menunggu pintu Sekre dibuka. Sementara penjaga masih tidur, jadi ditelephone berkali-kali pun tidak akan sampai ke alam mimpinya.

Kali ini, lebih fatal. Janji jam dua nyampai sini, si penjaga Sekre malah bilang jam tiga. Jam tiga kita di sini, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sementara waktu terus merangkak, dan jam 17.45 kereta sudah berangkat, itu artinya diusahakan maksimal jam 4 saya harus sudah siap berangkat. Ini Jakarta, macet ada itu seperti makan, kebutuhan pokok dalam hidup. Besok juga sudah 1 Ramadhan.

Rencana saya: mengantarkan Lutfia ke stasiun dulu. Saya juga perlu ke Sunter untuk mengembalikan sepeda motor ini. Saya juga perlu ngojek menuju stasiun lagi. Berapa waktu yang dibutuhkan? Sementara kita di sini mirip pengangguran tak tahu diri.

Jam setengah empat, akhinya si penjaga bisa dihubungi. Jawabannya? “Maaf, jam empat”.

Shock! Ini lah satu fase dimana puncak kegalauan tiba-tiba menyeruak lepas tak terkendali. Inilah titik perasaan yang tak bernama. Rasa yang melonjak-lonjak keras, tak beraturan, tak seirama dengan denyut jantung. Pikiran yang mengaburkan harapan dan kebingungan yang tak menentu. Warna kelabu yang semakin terlihat samar-samar menuju kegelapan. Tinggal berbelok arah, mungkin kita sudah putus asa.

Tidak sama dengan saat menunggu waktu menunggu nilai mata kuliah keluar. Juga tidak sama dengan orang yang kebelet BAB tapi harus mengantre lama. Tidak dengan orang yang tertawa dalam kesedihan. Tidak pula sama dengan orang galau. Tidak. Ia datang silih berganti, tanpa aturan.

Kita tertawa bebas, menertawakan diri kita sendiri. Sejenak, langsung kita menjadi sedih, “Bagaimana jika kita tidak bisa balik hari ini?” pertanyaan ini kita ulang berkali-kali. Sejenak lagi, kita tersenyum simpul, mengenang beberapa hari sebelumnya. Sejenak, kita gelisan. Sejenak, rasanya ingin marah. Saya mengangkat pembatas parkir yang terbuat dari semen cor. Ingin rasanya mendobrak pintu itu dengan benda ini. Sejenak, saya ingin berteriak. Sejenak, kita meracau. Sejenak, kita ingin menangis.

“Mengapa orang ini tidak tahu diri? Sudah diberitahu dari tadi pagi kalau kita mau balik sore ini!”

Tubuh saya lemas. Khawatir sekali. Juga takut. Tapi mulut saya justru bisa tersenyum. Tawa saya juga tidak mau berhenti. Apakah saya sudah memasuki fase gila? Sepeda Motor. Surabaya. Tiket. Jam 17.45. Kereta Api. Tarawih. Ramadhan. Sahur. Keluarga. Semua bergerak bebas, tak satupun bisa ku rengkuh. Walau hanya dalam pikiran.
Di masa depan, saya tidak akan pernah melupakan momen ini. Jika sudah berkeluarga kelak, mungkin ini akan saya letakkan momen paling bersejarah dalam hidup disamping momen ijab kobul dan menunggu kelahiran anak pertama (#koplak).

Dan akhirnya Masnya datang. Tanpa ekspresi. Tanpa permintaan maaf sama sekali. Kita? Tak kalah ketus, langsung meloncat ke lantai 3 dan bergegas turun ke bawah. Saya pamitan sambil menitipkan kunci dan STNK teman. Dengan sangat terpaksa saya harus merepotkan teman saya untuk mengambil sepeda motornya ke sini. Maaf.

Di depan, saya langsung memberhentikan taksi. Tanpa babibu, langsung main cepat tanggap. Dan Lutfia? Mirip artis yang melenggok di karpet merah, dia santai bung. Tak berlari, tidak juga Sa’i (berlari-lari kecil).

“Chargermu sudah kamu ambil”

“Bentar, tak cek. Lho? Ketinggalan”

Dia balik lagi ke Lantai 3 dan kembali lagi. Pas sudah di dalam taksi.

“Kayake sarungku ketinggalan deh”

Yahh...Pancet ae. Biarin.

Sementara saya kecapekan sampe teler di dalam sini. AC, macet, capek, meriang membuat sukses saya tertidur pulas sejenak. Tak sampai setengah jam kita sudah sampai stasiun Jatinegara. Kurang dari sejam sebelum bulan Ramadhan beranjak. Alhamdulillah.

¬¬¬¬¬¬

Makan, ini adalah bagian seni memperjuangkan hidup di tanah ibu kota ini. Makan irit, itu yang kita lakukan. Lutfia sehari hanya makan sekali. Bahkan pernah dia hanya makan batagor saja sehari. Sementara saya rata-rata makan dua kali saja, sesuai kebiasaan di Surabaya. Bahkan di hari kedua, saya juga hanya makan sekali saja. Tapi soal angka keuangan, irit tidak sepadan dengan nominal angka.

“Berapa Mas?”

“Dua belas ribu”

Hati saya lega. Tidak terlampau mahal.

“Est tehnya tiga ribu, jadi totalnya 15 ribu”

Hah? Es teh ini tiga ribu? Benar-benar harga yang sadis, mengapa saya tidak membawa teh saja dari Sekre ITS? Di keputih, saya bisa teller es teh dengan uang tiga ribu. Atau mengikuti saran tante saya sebelum berangkat: bawa beras dan rice cooker. Masak di sana dan tinggal beli sayur. Dijamin irit. Juga tidak terlalu berat membawanya.

Hari kedua. Nasi goring 10 ribu. Masih normal, mungkin karena penjualnya orang Madura yang secara spontan diajak ngobrol dengan Lutfia dengan bahasa planet itu. Batagor 5 ribu. Di Monas, dua porsi 40 ribuan. Makan buat sahur 2,5 porsi empat puluhan ribu. Yang paling sadis ya di Dufan, dua porsi sampai 80-an ribu. Sisanya kita belikan logistic minum dan biscuit.

Pancen, Ibu kota itu seperti ibu tiri? Betul?

¬¬¬¬¬¬

Selama empat hari, kita sudah bolak-balik nyasar dari jalan Jatinegara-Manggarai-Tebet, mungkin hampir 5-7 kali. Tapi kita tidak pernah bisa melalui hal sebaliknya dari Tebet-Manggarai. Apalagi menuju Jatinegara dengan jalur normal, pasti selalu melalui mekanisme NYASAR terlebih dahulu. Di peta terlihat simple, tapi kenyataannya kita selalu dibodohi oleh jalan. Atau memang kecerdasan artifisial kita yang terlampau rendah?

Nah, pas edisi pulang dengan naik taksi menuju stasiun Jatinegara, kegalauan kita terjawab. Oh, ternyata dari Tebet untuk menuju Manggarai itu lewat jalan Minangkabau Barat belok ke kanan. Padahal jalan itu juga sudah kita lewati dua kali. Logika kami seolah dijungkirbalikkan oleh kenyataan. Ah, mending mempelajari mekanika kekuatan material daripada melogika jalanan kota ini.

¬¬¬¬¬¬

Nafas saya beradu dengan penumpang di depan yang senantiasa merokok. Asap rokok, bagi otak saya adalah kontrok otomatis untuk menahan nafas dan membuka mata. Selama di perjalanan praktis saya tidak bisa tidur nyenyak karena asap rokok ini. Belum lagi jika penumpang sebelah dan belakang meroko pula. Gerbong ini serasa kabut rokok. Sampai tengah malam, entah berapa rim rokok yang ia bawa. Sungguh, terlalu!

Bahkan sampai menjelang sahur pun, asap rokok dari depan sana menjadi menu utama selain nasi. Baru menjelang subuh, saya bisa tertidur agak pulas.

Di sepanjang jalan, juga sepanjang jalan kenangan, bukan sepanjang Sidoarjo lho, kita menertawakan kisah empat hari penuh kegalauan itu. Kita bercerita ngalor ngidul, dari hal sepele sampai yang sangat sepele (nggak ada yang serius ya? Haha). Di sini pula, tanpa suara pujian yang biasanya berkumandang menjelang Ramadhan, tak kita dengar sama sekali. Hanya suara geseka rel dengan roda kereta yang menemani sholat tarawih pertama bulan ini. Berbeda.

Hingga pagi menyingsing, matahari pelan melonggok keluar dari peraduannya. Matahari bulan suci, menebarkan hawa hangat dari dinginnya gerbong kereta ini. Selamat datang di kota Surabaya. Berharap, semoga kelak saya tidak menghabiskan waktu kerja di Jakarta. Yang itu artinya, hidup untuk menunggu macet.

Selalu sama, ibu kota, selalu menghadirkan kisah lucu bagi saya. Dan kisah ini adalah yang paling manusiawi. Lainnya tidak pernah saya tulis, memalukan! Haha. Selamat menyempurnakan Ramadhan tahun ini.

Selesai
ditulis oleh -hoe- alias Mas Huda

Seni Menertawakan Diri (2)


Dufan di depan mata? Matanya siapa? Matanya Kingkong?

Di peta, jalan itu lurus terus, memotong kawasan Jakarta Pusat sampai di ujung peta, ANCOL, Jakarta utara. Sekali lagi, peta tak semanis apa yang tertera. Jalan lurus ini penuh dengan kemacetan luar biasa ditambah dengan lampu merah yang angkanya sampai 150 detik! Menunggu dari merah menjadi hijau pun bisa disambi dengan ngopi sejenak.

Satu lebih seperempat jam kita baru sampai di depan. Warna punggung kaki dan telapak tangan saya memikri, dari sawo busuk menjadi semakin busuk. Sementara pantat saya seolah sudah menjadi cetakan sama dengan tekstur jok sepeda ini. Benar-benar sempurna!

¬¬¬¬¬¬¬

Di Dufan.

“Nggak pengen nyoba lagi?” tanya Mas Dede, aktor utama cerita ini pasca diputar-putar oleh wahana Halilintar, kereta ekspres setengah menit.

“Boleh, tapi nanti saja,” ujarku ringan sambil menahan tawa selepas melihat muka Lutfia yang merah padam, mirip kepiting rebus dengan saus tomat, haha.

Adrenalinku dipaksa keluar bebas. Mengingat momen tiba-tiba terjun bebas dari ketinggian sekitar 10 meter atau saat kepala di kaki, kepala di kaki (Peterpan poenya). Padahal, rencana awalnya, saya mau memotret ekspresi Mas Dede dalam wahana halilintar yang mirip ulat bulu bingung jalan ini.

Tak tahunya, jangankan memotret, menahan jantung supaya tidak serampangan berdetak saja, susah. Tahu-tahu, setengah menit dalam lintasan, sudah cukup membuat fisik kita shock.  (#katrok1). Di sepanjang jalan, kita sering memutar ulang humor ini, simak yak.

Ada seorang anak kecil yang sangat ingin naik wahana ini. Pasca antre, tibalah giliran dia. Pas safety beltnya sudah dipasang, tiba-tiba mukanya mendadak pucat. Dirinya berubah pikiran. Kepalanya galau akut, terlebih saat melihat tingginya lintasan di belakangnya dan kelokan yang akan dilaluinya. Ia berontak tak ingin meluncur. Ia menangis keras, merintih ketakutan.

“Ma...aku nggak mau  naik,” rintihannya berkali-kali.

Tapi nasi sudah menjadi bubur ayam (yummiee...), safety belt sudah terpasang otomatis, tidak bisa dibuka kembali. Tak sampai 15 detik, kereta ekspres ini pun meluncur secepat kecepatan cahaya (#lebai4). Apakah yang terjadi dengan anak tadi?

“Hahaha...” tawa khas Mas Dede mengawali jawabannya.

“Anaknya pasti nangis-nangis terus sepanjang lintasan, hahaha,” jawabnya diakhiri tawa pula. Eits, ini tertawanya masih bersambung.

“Salah Mas. Pasti sepanjang lintasan dia nggak bersuara sama sekali,” jawabku ringan.

“Kok bisa?”

“Ya iya lah, lha sepanjang lintasan pasti dia sudah tak sadarkan diri alias pingsan gini, hahaha,”  candaku dengan memasang muka orang pingsan (untuk bagian ini tidak usah dibayangkan). Memang, menari di atas penderitaan orang lain itu (seharusnya tidak) menyenangkan.

Dalam ketinggian ±60 meter di atas tanah, Bianglala, mirip roda raksasa yang dicenteli manusia di sisinya.

“£$%^&*()&%%$,”

Tahu bahasa apa itu? Alien dari Pluto pun pasti tidak faham. Dan itu adalah bahasa yang digunakan si Lutfia dalam beberapa komunikasi telephone dengan entah siapapun itu. Kini, di atas wahana yang minta ampun tingginya, di sebelah pemuda pemudi Jakarta yang lu-gue, dia malah bergumam dengan bahasa yang tak satu frase pun saya pahami. Ah, biarin.

“Wow, tingginya. Lihat, di sana ada gugusan pulau yang terlihat. Mungkin itu Kepulauan Seribu?” batinku. Tidak ada yang menanggapi. Ya iya lah, lha di batin saja.

Angin bersemilir. Cukup kencang. Wahana selebar kurang dari tiga meter ini bergoyang. Saya panik, walaupun pasang muka cool. Saya takut jika center of gravity (CG) benda ini berpindah. Bayangkan, dengan enam orang di dalamnya dengan beragam massanya, pasti dengan mudah CG berpindah-pindah. Dan kalau sampai ada yang panik (gara-gara ketinggian mungkin?), bisa berabe!

“Untung mas Dede nggak jadi ikut main ke sini. Kalau sampe ikut? Ah, gampang. Di samping sana ka nada kolam, tinggal lempar, haha” (tapi ini beneran lho mas, haha)

Mata saya beraksi, benda ini hanya disangga dengan sebatang poros. Itu pun hanya disambung dengan tiga baut yang tak terlampau besar. Ditambah dengan brake dan bantalan “apa adanya”, batinku. Tapi kok stabil menahan enam orang di dalamnya? Pasti salah satunya, material baja yang digunakan memiliki Yield Strengh yang tinggi (sok2an, hehe).

Di wahana Alap-alap, mirip Halilintar skala anak kecil (kan kita juga anak-anak :P).

Setelah setengah putaran, wahana berkelok tajam memperbesar gaya gesek pantat. Tanpa aba-aba, tubuh orang di sebelah saya meluncur bebas menabrak badanku yang kurus kering ini. Tanpa rem, langsung main tubruk! Brakkkk!

“Hahahahahaha....”

Tawa belum selesai, tak sampai sedetik kemudian, wahana berbelok tajam lagi. Tubrukan terjadi lebih keras, BRAAKKK!

“Hahahahahaha.....”

Belum sampai menutup mulut, Braaaakkkkk! Berulang sampai empat kali, dengan tawa yang sama. Tawa khas. Bebas. Datar. Tanpa intonasi naik atau pun turun. Seperti orang ngomong “Hahahaha” berulang kali dengan sangat keras.

“Hahaaa...hahaaa...., waduh-waduh, perutku sakit...,” Mas Dede mulai menyerah dengan tawanya, sementara saya semakin kesakitan.

Brakkk! Hahaaha Brakkkkk! Hahaha. Ternyata wahana ini masih berputar lagi sampai tiga kali. Dan tubuh saya pun semakin remuk, sementara orang di sebalah saya tertawa bahagia sejahtera. Sementara dua orang di depan saya (Lutfia salah satunya), juga ikut tertawa keras sepanjang wahana. Kok hobi sekali menertawakan penderitaan orang lain?

“Hahahaha...,” tawa Mas Dede belum selesai walaupun wahana sudah berhenti.

“Rasanya puas sekali menabrak kami, digencet loss tanpa rem, bahkan tangan kanan saya ikut mbantu menambah gaya, hahahaha”

“Nggak seru ya wahananya. Seruan tawanya Mas Dede, sepanjang putaran tadi sebenarnya cuman menertawakan gaya tertawanya Mas Dede, hahaha” Luftia pun ikutan tertawa. Hyahhh...Sementara saya memegangi bahu saya yang terjepit berkali-kali (#merana). Ingat, ini adalah bagian paling berkesan selama di Dufan, mengingat-ngingat tawanya Mas Dede membuat dunia semakin cerah! Suer!

Di wahana Kicir-kicir, saat seluruh tubuhmu diputar-putar tak tentu arah. Saat kaki bisa jadi kepala, dan otak jadi dengkul, haha. Tak satupun dari kru ekspedisi jelajah Dufan yang berani naik di sini. Mas Dede dengan alasan klasik, takut ketinggian, sementara Lutfia tak jauh beda, bisa muntah kalau diputer-puter. Terbukti, tanpa harus antre lama-lama, saya langsung bisa naik. Dari sini saya berkesimpulan bahwa wahana yang memacu adrenalin cenderung tidak begitu laku. Padahal kan itu terapi praktis hipertensi (#ngawur).

Sesaat sebelum naik.

“Busyettt, tinggi sekali. Menakutkan!” batinku minder akut, juga takut. Sempat terpikir untuk putar balik dan tidak jadi naik, daripada saya pingsan di atas sana? Ah, biarin, daripada saya ditertawakan gara-gara tidak jadi naik? Nekad, BONEK!

Benar, ini adalah wahana yang paling membuat saya jantungan. Bisa dibayangkan, saat kaki tiba-tiba berada di atas. Atau saat tubuh menghadap ke atas dan diputar berkebalikan dengan mengangkat kaki terlebih dahulu. Wow! Bahkan, pasca naik ini, tangan saya sampai gemetaran sampai beberapa menit (#katrok2).

“Hahaha...,” Mas Dede kembali menertawakan saya karena diminta motret, eh malah tangan saya nggak bisa diam, bergetar terus.

Mengantre di wahana Arung Jeram. Sama dengan namanya, hanya sungainya ini didesain manusia, lengkap dengan airnya yang mengalir deras. Entah berapa debit air yang dipompa setiap jamnya. Mirip sekali dengan arus air arung jeram alami.

Pikiran saya pun dipenuhi dengan air bah, membayangkan bagaimana gulungan air itu tumbah dan mengenai baju saya satu-satunya, saya tidak membawa ganti saudar? Antara maju atau mundur, namun karena sudah terlanjur antre seperseratus hari, jadi kudu pasang paying, mantel hujan, kalau perlu pakai lotion anti air, haha. Dan faktanya.
Kaki kananku melangkah pelan, tujuh tempat duduk manis menunggui kita. Selain manis, wahana mirip piring hanyut ini juga basah kuyup. Jaket saya ikat kencang-kencang, sementara tas mini saya masukkan di depan perut, jadinya mirip kucing hamil kedinginan. Wahana berjalan pelan, masih slow motion.

“Aaahhhhhhrggggg,” siulan antara tertawa dengan khawatir. Bukan sensasi jeram yang menyeramkan namun lebih karena ketakutan kalau air bah sampai masuk ke dalam sini. Bencana.

“Byaarrr”. Kelokan pertama sukses memasukkan air bah entah berapa ember ke celana saya.

“Argggg.....”

“Hahaha....” tawa khas Mas Dede berkumandang syahdu. Tak sampai sedetik kemudian.

“Croooottt”. Semprotan mancur tepat mengenai mukaku dari tadi. Dan sekali lagi, saya menjadi bahan tertawaan jamaah.

“Byaaaaaarrrrrrr!!!” Bancana alam terjadi! Tsunami setinggi setengah meter menyapu celana saya dari belakang.

Akhirnya saya pun harus basah kuyup dan PASRAH! Yang pasti di depan sana pun tidak akan menyediakan hair dryer apalagi body dryer.

Wahana berhenti, lintasan sudah selesai. Muka saya pucat pasi. Sementara dua orang di sana tertawa geli, mereka tidak basah berarti. Lha saya? Duh, nasib. Padahal kita belum sholat maghrib. Dan saya pun belum makan seharian (baru sarapan sekali). Penderitaan sempurna!

¬¬¬¬¬

“Berapa mbak?”

“Delapan puluh ribu sekiannn rupiah,” mataku mendelik, hatiku memelas, pikiranku berputar.

“Wah, penipuan besar! Padahal tertera harganya 18 ribu unutk ayamnya. Eh itu untuk bayar ayam saja, belum termasuk nasi, sambel, kemangi, minuman, kertas minyak, piring, sampai mungkin tusuk gigi juga dijual terpisah semua!”

Jus melon seharga 16 ribu! Seharusnya saya bawa jus dari keputih, bisa disimpan tiga hari sampai kembung. Nasi 6 ribu. Saya merasa bersalah sekali sama Mas Dede. Lagi-lagi kita ditraktir sama dia tanpa mengeluh sama sekali. Tapi senyuman Mas Dede mendadak berubah menjadi senyuman malaikat (wowow!), sembari bergumam ringan.

“Pelanggaran, semua dijual terpisah”

Oh, Mas Dede so(k) sweet (#jeritanfans)

Jujur terlampau panjang cerita di Dufan, bisa-bisa kalau diteruskan dapat dikumpulkan menjadi novel berjudul : Dede And His Smile :-). Special thanks to Mr. Dede Wahyu Kurniawan, insya Allah lain waktu kita akan membalas jasa sampeyan (ini komitmen kita, hehe).

Saksikan episode selanjutnya :-)
ditulis oleh Nur Huda

Ramadhan=Kembang Api

Bulan ramadhan selalu memiliki keunikan tersendiri. Selain suasana berbeda, berbagai tradisi seperti bermain kembang api di kalangan anak-anak juga turut meramaikan bulan puasa. Di sekitar rumah saya, juga tak luput dari demam kembang api.



Woooaaa..... saya hanya bisa terkesima sementara mereka berteriak kegirangan menyaksikan letupan-letupan cahaya api yang keluar.

Wednesday, August 10, 2011

KFK

What is KFK? Hmm... bagi yang tidak familiar, KFK adalah Klinik Fotografi KOmpas. Belakangan saya juga baru tahu kalau salah satu kolom di harian Kompas tersebut disingkat begitu. Padahal udah cukup lama saya tongkrongin..hehehe

Klinik Fotografi Kompas cukup bermanfaat untuk menambah pengetahuan fotografi kita. Memang sih, klinik ini tidak menampilkan tips-tips fotografi secara rumit melainkan secara umum saja. Namun kalau kita jeli, detail gambar-gambar yang disajikan hasil jepretan fotografer profesional sudah cukup menerangkan segalanya lho! Dari situ kita bisa belajar mengambil angle yang SUPER dengan tetap memperhatikan aneka komposisi dalam fotografi.


Selain berbrowsing ria buat nongkrongin jepretan-jepretan oke fotografer luar, hobi saya satu lagi ya ini, nongkrongin Klinik Fotografi-nya Kompas yang ada saban hari. Saya kumpulin dah artikel-artikelnya (kreatif kan ya?hehehe). Hasilnya? Lumayan lah buat nambah penghasilan tiap harinya (hlo?) Uuups, makasud saya lumayan buat nambah referensi alias pengetahuan fotografi.

Deliciouso Spaghetti


Sedari kecil saya hobi membantu ibu memasak di dapur. Jadi untuk urusan bikin masakan, bisa dibilang saya tidak terlalu shock (sok banget ya?). Di ramadhan kali ini, iseng--iseng bikin spaghetti. Bahan=bahannya? ditraktir kakak saya.. hehehe (gak modal! cuma modal tenaga buat masak). Untuk ukuran pemula, spageti buatan saya yummy dah!!

Special Gift

Saat mewawancarai narasumber di Jakarta untuk keperluan membuat buku, saya mendapat pemberian special. Spesial karena pemberian ini memang lain dari biasanya..hehehe

Usai melakukan wawancara di salah satu restoran di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, tanpa disangka-sangka Ibu Maryam Ayuni memberi saya pacar kuku khas Saudi dan lipstick. Ouw...wow! Saya sedikit shock saat menerima lipstick tersebut. Pasalnya saya tidak pernah memakai benda satu itu kecuali saat menjadi pendamping pengantin di masa kecil dulu. "Ini Lutfia ambil, Ibu sama Bapak habis umrah," ujar Bu Yuyun yang sekarang adalah Direktur Konservasi Energi di Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Saya terima saja pemberian spesial itu dan tak lupa mengucapkan terima kasih.




Karena tidak membawa kendaraan sendiri maka kedua narasumber, satu lagi adalah suami Bu Yuyun yaitu Pak Tjuk Sukardiman mengantar saya sampai ke sekretariat IKA ITS. Eh, Pak Tjuk malah memberi saya uang saku sebelum turun. Apa boleh buat, rezeki kan tidak boleh ditolak? Saya terima juga pemberian itu dan tak lupa mengucapkan terima kasih lagi. Yaaayy, lucky day:)

Tuesday, August 9, 2011

Discover Hongkong


Buku ini berjudul Discover Hongkong, diterbitkan tahun 2006 lalu. Isinya merupakan tour guide bagi kita jika hendak melancong ke Hongkong. Di setiap kawasan wisata, juga disediakan peta lengkap dengan kendaraan umm apa yang bisa kita naiki. Kalau di Indonesia, biasa kita sebut dengan trayek bus ata trayek angkot lah.. hehehe


Buku ini tiba-tiba saja ada di rumah (what?) maksud saya, saya tidak tahu dari mana ayah saya medapatkannya. Tiba-tiba saja ia membawanya ke rumah. Meskipun ini merupakan buku lama, saya tidak bisa menahan diri untuk ngiler menyusuri Hongkong. God, semoga suatu hari nanti. Amiiiin

Hongkong ternyata sangat kaya destinasi pariwisata. Hongkong mengundang kita menikmati indahnya perpaduan timur-barat, gaya hidup, damn kemewahan di Central, dimana penikmat dim sum (camilan Canton,, biasanya dihidangkan dalam keranjang bambu yang diambil dari kereta didorong mengelilingi restoran), kios-kios pinggir jalan dan butik-butik desainer menjadi daya tarik utamanya.


Ini dia, egg tart ala Tai Cheong Bakery dan teh pantyhose ala Lan Fong Yuen. Mantan gubernur Crhris Patten konon begitu ketagihan dengan egg tart ini lho! Kalau berniat membeli tart mungil ini, lebih baik datanglah lebih pagi sebelum antrian semakin panjang dan tentunya kehabisan.. hohoho

Teh pantyhose ala Lan Fong Yuen juga bisa menjadi pilihan. Minuman bernama aneh ini sebenarnya merupakan teh susu favorit penduduk setempat yang menggunakan penyaring sebuah pantyhose. Minuman wangi ini sudah dijajakan sejak tahun 1953. (wooooa, tua banget!)

Mari berlanjut ke wisata pulau. Cheung Chau Island!!Yak, Pulau Cheung Chau merupakan tempat persinggahan bajak laut zaman dulu, Cheong Po Tsai.


Omigot tengok Bun Festival! Sepertinya sangat cantik. Festival ini merupakan acara tahunan yang diselenggarakan di dekat dermaga.


Tai Yuan Street Toy Shops adalah surga bagi kolektor mainan. Mainan masa kecil Anda bisa jadi masih dapat ditemukan di sepanjang Tai Yuan Street.. hihihi. Di sini mainan kuno dan terbaru semuanya ada.


Yum Cha. Jenis makanan apa ya ini? Yum Cha ternyata merupakan makanan unik ala budaya Hongkong. Meski secara harfiah berarti 'minum teh' seringkali diikuti deretan panjang dim sum. Hidangan ini biasa disajikan pagi-pagi sekali dan berlanjut hingga sore hari.

Oiya, ada budaya unik lho di restoran Hongkong. Kebanyakan restoran memberikan semangkuk teh panas untuk keperluan membilas semua peralatan makan seperti sumpit dan cangkir teh. Wah wah wah, ada-ada saja.


Di akhir buku ini juga dilengkapi atikel singkat Panduan Praktis Turis Muslim. Diantaranya adalah informasi mengenai outlet-outlet yang menjual makanan halal sampai lokasi masjid-masjid. Wah, jadi semakin ingin menjelajahi Hongkong.

Saturday, August 6, 2011

Rapat Gila

Saya pernah menghadiri rapat tergila. Jujur, menurut saya, inilah rapat tergila yakni rapat kedua pembuatan buku sejarah ITS. Hadir dalam meeting yang digelar lepas maghrib tersebut adalah sya, hoe (koordinator), lis, fz, esy, dan kl. Bahasan sepanjang rapat sebenarnya sangat penting, yakni perumusan buku. Clue mengenai sejarah pendirian ITS saja ternyata tidak cukup membuat kami mendapat ilham untuk menuliskannya. “Koplak sirah iso-iso nek siji-siji diulas,” gampangannya demikian. Namun tak hanya itu, banyak yang menjadi pertimbangan kita memilih menulis buku satu ini.

Lantas kegilaan apa yang saya maksudkan? Rapat dimulai setelah maghrib dan berakhir hampir pukul setengah sepuluh malam waktu kantor ITS Online. Semuanya berakar dari kebiasaan bercanda di tengah-tengah rapat. Bukannya sengaja membuat gurauan tapi spontanitas kita memang luar biasa untuk ‘ngoceh’ hal-hal sepele selama rapat berlangsung. Sekali waktu kita semua terbawa arus panasnya diskusi dan debat membawakan pandangan dan pemahamannya masing-masing. Tapi beberapa saat setelah itu malah kembali bergurau. Seingat saya, hoe adalah coordinator yang aktif memancing gurauan. Jadilah sesekali saya dan lis saling melirik, “eeegghh… mari kembali ke laptop” (dalam hati kami berdua). Biasanya hoe pun langsung merasakan efeknya. Dan dengan sesegera mungkin ia pun melanjutkan rapat.

Say good bye to niv
Sebelum rapat dimulai ada cerita sedih yang cukup membuat suasana mengharu biru (alay jeh!). Niv memutuskan untuk mundur dari tim. Estimasinya mengenai berbagai kesibukannya saat itu dan ke depan menjadi alasan utama. Meski dengan berat hati, kami semua menerima pilihannya tersebut. Kecuali esy yang tentunya merasa sangat kehilangan. 

Skuad Charlies Angle 
Jadilah kami tim yang beranggotakan skuad: hoe,fi,lis,esy,fz,el,dan kl. Karena hoe adalah koordinator, sedangkan kami (enam cewek) adalah anggotanya, jadilah ia menyebut kami sebagai skuad charlies angle. Ada-ada saja memang. Mau bukti? Inilah salah satu jarkomnya via sms saat mengintruksikan kami semua rapat:
“Skuad charlies angle, lama tak bersua, masa terus merangkak, ayo rapikan barisan! Rapat buku rabu (2/2) jam 18 @kantor. Yang barusan balik ke surabaya jangan lupa bawa oleh-olehnya”

Jam Goblok 
“Wis jam goblok” adalah istilah yang dipakai ketika otak sudah tidak bisa berpikir banyahk karena badan terasa capek. Itulah patokan kami selama ini untuk segera mengakhiri rapat dan memberlakukan pembagian tugas.

Yang Teraniaya 
Fz dan esy adalah dua orang beruntung yang menjadi bulan-bulanan untuk dianiaya.
Arrrgghhhh... sudah akhiri saja rapatnya. Lama-lama bisa gila... hhahaha

Surabaya Goes To School

After flipping through old shots, i found this, a moment when I became Organizing Committee (OC) Surabaya Goes to School in 2009. Together with Mas Anggoro, Mas Bey, Nadia, Apep, Ita, and SGTS's colleagues, I joined outbound that also closed that program.

hurry up!!!!

what are you two doin'?

Don't be shock twin spongebob!!!

Hey, Jalisman and Mas Anggoro, that such a weird pose!

And finally  I'm not the photographer anymore.
It was wonderful to share with our friends who are less fortunate. Although it can not be denied, occasionally they can also be stubborn .. what a naughty child! hahahaha!

Wooooaa, Internship!!

I should post this article since a long time. Maybe because too lazy, so I'm reluctant to write .. hehehe
Never mind, this post about my experience when parting with an editorial crew at Radar Surabaya, where I intern for a month to meet obligations as an ITS Online's reporter. Together with Eka, a fellow reporter ITS Online, we were taken care of by Mbak Heti Palestina, one of the editors. So far, we managed to make a good track record during the internship. As a result, the cert can be obtained without difficulty (overrated!). Thank's all.

Nice moment!!
With other editor:Mr Lambertus Hurek. I dunno what's happen with his expression.. hoooa:)
And finally, we got it!!!!

Last July, I accompanied my friends, which will also intern at Radar. Eh, I actually met and asked by Mas Wijanarko, "Wanna intern here again during the holidays?" I just smiled (wuuuuuuush!! Internship is really exhausting!). Alhamdulillah, I got a lot of knowledge and experiences during an off-campus reporting. Woooooow, SUPER!

hmmm... waiting for the train


Ouwch! I ran to catch the train purposes Surabaya at Jatinegara Station, Jakarta. Till I decided to take a taxi. Departing from Tebet at about 4:15 pm. After 4:30 pm I reached the station, and duyuno? Gumarang's departure was scheduled  at 6:30 pm. Omigot!! Still an hour! And I've raced like a dog chased. No choice, finally I had to wait over an hour at the station. Dusk in Jatinegara Station! Not too bad!

Seni Menertawakan Diri (1)

Apalah arti keluguan, jika lugu itu berkonotasi sebuah kebodohan. Menjelma menjadi aksi ketololan akut. Bermetamorfosa menjadi muka yang hobi mringis, menertawakan sang pemilik tubuh. Senyum keterpaksaan yang lahir dari ketidakberdayaan menghadapi kenyataan. Tapi, justru inilah seni. Sebuah seni untuk menertawakan diri sendiri. Aneh kan?
 
¬¬¬¬¬

Hari Pertama

Tiga belas jam pasca pantat saya beradu dengan kursi kereta, mata saya tiba-tiba diadu dengan Kopaja yang hendak men”cium” bajaj yang kita tumpangi. Maksrooot, main srobot bung! Hingga hampir bersinggungan dengan sisi bajaj, tak sampai semeter! Mungkin, Lutfia yang baru kali pertama naik kuda besi beroda tiga ini, sudah istighfar 33x! Asap hitam pekat dari knalpotnya sungguh mesra memeluk kita yang belum mandi air, tapi sudah mandi keringat seharian ini. Sempurna!

Untuk menikmati fasilitas eksklusif nan menantang adrenalin tadi, saya harus merogoh kantong 30ribu. Padahal angka itu sudah saya tawar sama seperti menawar harga bayam di pasar, huft. Memang, Ibu Kota sangat amat sungguh lebih kejam dari pada Ibu tiri? Jama’ah...Oh...Jama’ah, betul nggak?

Selamat datang di Jakarta!
Eh, habis ini kita mau kemana? Terdiam. Menggeleng. (#bingungnangalau) 
Silahkan dinikmati sebuah memoar: Catatan Perjalanan Orang Udik Masuk Kota.

¬¬¬¬¬¬¬
 
Di kawasan Sunter.
 
Tips paling jitu mensiasati hidup sebagai musafir adalah: carilah gratisan dimana pun kesempatan itu ada. Kalau pun tidak ada, buatlah kesempatan itu (#mekso). Yap, agenda pertama kita adalah mencari gratisan. Tepatnya meminjam sepeda motor seorang teman yang kerja di sini. Eh, tak dinyana, kita dapat bonusan berupa pinjaman dua helm plus peta.

Akhirnya, bermodalkan sepeda motor dan peta pinjaman, kita memulai perjalanan ke barat mencari kitab suci, hehe (#lebai1).

Jujur, saya secara pribadi bonek dengan meminjam sepeda itu. Pengalaman di Jakarta mengajarkan, berkali-kali saya terdampar di atas kendaraan umum karena satu kata: MACET. Jatah waktu hidup diatas kata macet itu, jika diakumulasi bisa sama dengan jatah tidur kita sehari. Bayangkan pula, delapan narasumber yang akan kita temui tersebar ke berbagai negeri antah berantah. Siapa tahu jalan Ahmad Yani, kediaman Pak Buchori? Saya mah tahunya Ahmad Yani menuju Graha Pena.

Tanpa pengetahuan berkendara pribadi di jalanan Jakarta, kita memulai langkah pertama perjalanan panjang ini (#lebai2) menuju sekretariat IKA ITS di kawasan Jakarta Pusat. Eits, dari Sunter (Jakarta Utara) hanya sekitar lima centimeter lho, itu kalau di peta. Ah, pasti gampang, deket kok. Tinggal mengikuti jalan saja. Eh, mana arah utara ya? Edisi cerita goblok baru dimulai dengan pertanyaan tadi. Padahal di belakang kita ada masjid, kok masih bingung ara utara?
 
¬¬¬¬¬¬
 
“Pesen soto sama teh hangat Bu”

Sembari menunggu kita menentukan strategi untuk melawan musuh bernama: NYASAR. Dan pesanan pun siap disantap.

“Soto apaan ini?” batinku. Beda sama soto Lamongan, haha. Semakin ke barat, kuah soto semakin encer dan campuran sayurnya pun semakin aneh-aneh.

Tanpa banyak cingcong, soto ini pun seperti lenyap ditelan bumi. Tapi, pas minum teh hangatnya. Kok tawar? Saya coba sekali tegukan lagi. Masih tawar. Saya coba sampai hampir setengah gelas, khawatir lidah saya mati rasa manis gara-gara dipelet orang di Kereta tadi malam.

“Bu, tehnya kok tawar”

“Lho, Masnya nggak ngomong kalau teh manis”
 
Ups! Saya lupa, kalau di sini, teh itu sama dengan teh tawar. Jadi kalau mau teh manis, bilang teh manis, harus lengkap. Ingat! Beda sama negeri Malaysia. Di sana, teh sama dengan teh campur susu. Kalau mau teh saja, harus bilang teh tanpa susu. Hashh..

¬¬¬¬¬¬

Akhirnya, tiba di kawasan Tebet. Prestasi kita hari ini: hanya nyasar satu kali dengan jarak tak lebih dari 50 meter. Satu jam dari Sunter, kita sampai juga Sekretariat IKA ITS, Royal Palace Building B-11, Jl. Prof. Dr. Soepomo SH 178 A, Jakarta Selatan.

“Hahhh? Ini kandang ayam apa kandang kebo?”

“Bukan. Ini kapal pecah”

“Salah. Ini penampungan TKI”
 
Otak kanan saya bernostalGILA, sementara mata ini semakin terpaku dan terpukau dengan kondisi lantai tiga bangunan ini. Kondisinya tak jauh beda dengan kontrakan saya yang dulu. Berantakan! Kaos, sarung, kertas, pulpen, handuk, air minum, laptop, bersatu padu membentuk persatuan tak bernama. Bahkan, ada celana dalam perempuan digantung di depan kamar mandi!!! Dimanakah Superwomannya? Sampe itunya tertinggal.

“Tepatnya, inilah barak pengungsian bencana akibat perang moral abad ke-XXX!,” otak saya semakin gila.

Jujur, saya tidak bisa mendiskripsikan kondisi Hotel Gratis Tjap IKA ITS ini. Tapi inilah tempat tinggal saya selama empat hari ke depan bersama dengan tiga anak PSM yang sedang mencari spondon sejak lima hari lalu.

¬¬¬¬¬¬¬

Setegah hari pertama, tanpa adaptasi, dan tanpa pengetahuan awal tentang rute kawasan ibukota, kita langsung menjajal peruntungan dengan mendatangi kediamannya Pak Marseno, Rektor ke-2 ITS di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Pusat. Sebagai aktivis jalanan yang hobi nyasar, tidak terlalu susah mencari alamatnya beliau. Hanya satu kata yang membuat muak sepanjang perjalanan: MACET! Kata itu seperti kutukan yang tidak ada obatnya.

Beliau masih segar bugar, bahkan masih masuk kerja. Saya sebagai anak muda (biasanya ngaku tua), sungkan dengan semangatnya di usianya yang sudah senja ini. Secara, saya masih malas-malasan kalau sudah terbentur aktivitas yang seakan-akan tidak bisa diteruskan lagi (YouKnowWhat)

“Sudah lama, Pak?”

Saya tercekat dengan pertanyaan Lutfia kepada beliau.

“Oh baru kemarin  bulan Maret,” ungkap Pak Marseno sambil memandang foto almarhum Istrinya.
Ini menanyakan kematian orang tercinta narasumber seperti menanyakan “Berapa anak Bapak?”. Frontal banget, batinku.

Tapi sepertinya yang paling parah adalah kebodohan saya. Saya berkali-kali salah menyebut nama Marseno dengan Prof Soemadijo, rektor ke-3 ITS yang sudah almarhum. Yang lebih fatal lagi, saya suka menyebut lengkap dengan kata “almarhum”.

“Selama Bapak menjadi Rektor, apakah Bapak sering interaksi dengan almarhum bapak Marseno?”

Heitss..Polosnya diriku. Dan Pak Marseno hanya bengong. Ketika beda arti kata "polos" dan "goblok" hanya selebar selembar kertas.

¬¬¬¬¬¬

Hari kedua

“Ini memang jalannya yang terlalu rumit apa aku yang bodoh ya?” mulutku mulai mengumpat. Menyesali kebodohan diri.

Hanya karena salah mengambil jalur dari kanan, kita memilih kiri dengan asumsi akan jauh lebih dekat dan menghindari macet, ehhh...kita justru nyasar ke negeri 1001 jalan. Ya, akhirnya kita nyasar. Ini bukan nyasar biasa. Jarak yang seharusnya bisa kita tempuh antara 10-15 menit menjadi 2 jam guys!

Dari kawasan Tebet, menuju jembatan Casablanca dan lurus terus sampai SMA 79 dengan tujuan akhir kawasan Mega Kuningan, justru kita nyasar sampai Menteng! Gila nggak sih? Parahnya lagi, kita dengan kepolosan yang luar biasa melalui Jalan Jatinegara Barat sebanyak tiga kali! Apakah kita perlu thowaf 33x di jalan ini untuk mendapatkan pencerahan?

Kegalauan itu ditambah dengan “aksi mencari putar balik” yang membuat kita harus melaju lurus terus sampai Kemayoran Baru, alamaaakk. Dari peta yang sudah tidak bisa dipercaya, sampai mulut yang kehabisan air liur untuk bertanya (#lebai3), kita pasrah dengan mengandalkan naluri untuk kembali saja ke basecamp daripada menyusuri jalan tak berujung ini.

Pernah satu kali memutar balik memotong jalur busway. Legal, berhasil dan lega. Tapi ada yang aneh saat kita sudah berhasil putar balik.

"Jalur yang kita lewati ini jalur apa?"

"Arrggg...Ini jalur Busway! Lha trus, kendaraan di depan kita itu ngapain berada di jalur ini?"

Pikirku, kita mengikuti kendaraan mirip Kopaja di depan kita sejak awal putar balik supaya aman dan ada "temannya". Tapi?

"Dasar bis edan!"

Dengan embel-embel bendera warna merah layu bertuliskan "SMK", dua mini bis dengan satu sepeda motor yang membututinya dari tadi melaju tanpa merasa berdosa. Dan kita?

"Mampus koen! Ini jalurnya kok disekat dengan pedestrian sih? Masak kita harus menabrak pembatas jalan busway dengan jalur normal ini? Hah?"

"Mampus! Pasti ketilang ini! Sudah sepeda pinjem, ketilang di Ibu Tiri pula :'( "
Ahhh...setelah hampir 3 kilometer. Tidak ada tanda-tanda polisi, dan ada lampu merah di depan sana. Akhirnya bisa melalui jalur Halal. Alhamdulillah.

Setengah jam kemudian.

“Mass...., Mbalik ae wes, iki endi dalane?” suara Lutfia sudah separau rintihan bebek kehilangan paruh. Menyesal. Pasrah.

Memang benar apa kata pepatah, banyak jalan menuju Keputih. Setelah nyasar, tersasar dan menyasarkan diri, akhirnya kita mendapatkan “hidayah” berupa jalan awal di dekat SMAN 79. Puter balik dan akhirnya kita bisa sampai di kediaman Pak Marseno kira-kira jam setengah enam lebih, menjelang maghrib.

Teringat arloji yang melengkung mesra di pergelangan tangan. “Tadi kita berangkat jam setengah empat!”

¬¬¬¬¬¬¬

Hari ketiga.
“Ahhh.....Ini sudah Bekasi Masss...,” seperti biasa, partner saya memulai kegaluannya dengan aksi panik.

Tapi justru saya lebih panik lagi. Tujuan kita adalah kawasan Pangkalan Jati, Jakarta Selatan. Lha ini sudah sukses menembuh kawasan itu sampai di Bekasi! Nah, jalan sejengkal di peta memang penipu ulung. Ternyata dari Tebet sampai ke kawasan ini, jauuuh sekali. Jauhnya menjadi-jadi setelah (seperti biasa) kita menyasar berkali-kali pula.

Tapi akhirnya tepat masuk Jalan Pangkalan Jati, di depan sana ada penjual Es Buah, EUREKA! Akhirnya, ngidam pertamanya Lutfia terpenuhi. Sejak kemarin, padahal dalam kondisi flu, masih saja terobsesi akut dengan Es Buah. Huffft.



Pasca es buah lenyap oleh mulut yang penuh kerakusan, saya menghubungi dua narasumber terkait. 
“Maaf Pak, hari ini saya harus pergi dengan keluarga. Besok pagi saja bagaimana?”

Hampir semua narasumber pasti menyapa dengan kata “Pak”. Bahkan, Bapak Djawahir Adnan pun sama. Apakah saya sudah setua itu? Ah, alhamdulillah, masih belum disapa “Om”, haha.

Tengah hari ini berakhir dengan ketidakbisaan dua narasumber yang memupuskan semangat DJOEANG! kita. Sudah dibela-belain nyasar sampai Bekasi! Tapi tak apalah, Dufan di depan mata.

#saksikan episode selanjutnya :-)
ditulis oleh Nur Huda, rekan ITS Online yang mbolang bareng saya ke Jakarte