Pages

Tuesday, May 31, 2011

Choco Milk


A glass of milk in the morning?
Hmmm... tasted good!

Monday, May 30, 2011

Perilaku


Trauma akibat kekejaman politik lebih parah daripada luka tindak kekerasan lainnya. Siksaan yang secara sistematis dilakukan oleh berbagai rezim biasanya berupa aniaya disertai penekanan psikologis. Padahal. siksaan fisik sebenarnya tidak berlebihan. Sampai kini belum ada ahli yang bisa menangani korban. Perlu metode baru untuk penyembuhan?

-Tempo 17 Juni 1989-

Warisan Budaya Sejenak Terlupakan


Kekayaan negeri ini tidak harus bernilai materi. Pernahkah terbesit di benak kita semua, menyadari bahwa warisan budaya peninggalan leluhur kita adalah kekayaan yang tak ternilai harganya? Warisan yang sejenak terlupakan,padahal di dalamnya, nilai-nilai kehidupan identitas bangsa akan terus diwariskan selama Indonesia masih ada.

Menutup tahun 2009, satu lagi budaya asli negeri ini mendapat pengakuan di mata dunia, keris.  Para pecinta keris di Indonesia juga patut lega dan berbangga hati. Sebab, keris kini sudah diakui dunia sebagai warisan atau pusaka budaya dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO). Keris diakui sebagai sebuah karya yang tidak saja indah wujudnya tapi juga memiliki makna filosofis tinggi tentang kehidupan manusia.

Sepintas hal tersebut tidak berdampak besar bagi kehidupan  kita secara langsung.  Toh, tanpa keris pun kita juga masih bisa hidup. Tapi tanpa kita sadari, hal sekecil itu sudah menggerogoti akar kebudayaan kita.Karena pemikiran apatis sekecil apa pun akan berdampak besar bila melanda sekian juta penduduk negeri ini. Lantas apa yang bisa terjadi? Sudah bisa ditebak, sekian juta kepala kelak akan lupa pada kebudayaannya sendiri.

Dan bisakah kita melihat akar-akar kebudayaan sendiri lapuk sementara jutaan bibit kebudayaan asing tumbuh liar di ladang tempat kita berbudaya? Diakui atau tidak, kecintaan terhadap budaya sendiri sudah mulai pudar.

Berbicara mengenai budaya, Indonesia memiliki jutaan warisan leluhur  yang sudah seharusnya dilestarikan keberadaanya, seperti wayang, reog, batik, makanan khas, dan masih banyak lagi budaya khas bangsa Indonesia lainnya.  Namun sangat disayangkan hingga kini masih banyak peninggalan nenek moyang kita yang belum  dioptimalisasi dalam hal paten.

Dan jika kita mau sedikit menilik ke belakang, telah banyak kejadian yang mewarnai  perjalanan mereka (mereka) untuk menjaga eksistensinya. Pada Oktober 2009 lalu, salah satu keberhasilan yang dicapai dalam upaya melestarikan peninggalan nenek moyang, batik ditetapkan sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia. Batik dinilai sebagai ikon budaya yang memiliki keunikan dan filosofi mendalam, serta mencakup siklus kehidupan manusia. Tentu bukan hal yang mudah memperjuangkan paten, apalagi untuk mendaftarkan paten atas sesuatu agar diakui di dunia internasional, bisa dikatakan tergolong sulit dan tidak sesederhana yang dibayangkan.

Langkah untuk mengoptimalkan peninggalan budaya bukan pula tanpa hambatan. Sekali lagi flash back ke tahun 2007 lalu, dimana banyak rakyat Indonesia berkoar-koar meneriakkan “Reog kebudayaan asli kami. Milik bangsa Indonesia!!!” Bangsa ini terusik,  tak mau kebudayaan miliknya dirampas siapa pun , para pendemo berjuang keras dalam upaya mempertahankan haknya, hak yang dimiliki bangsa ini untuk tetap mewarisi  peninggalan para leluhurnya.



Bisa dilihat ada dua sisi di balik kasus yang terjadi di tahun 2007 silam. Di satu sisi kita patut berbangga hati melihat semangat kawan-kawan memperjuangkan reog Ponorogo sebagai warisan budaya asli Indonesia. Mereka geram melihat Malaysia mengklaim budaya kepunyaan mereka, dan itu adalah tindakan yang wajar. Namun di sisi lain,ada keprihatinan tersendiri di mata penulis. Kenapa harus menunggu diklaim pihak lain dulu baru kita mau ambil pusing? Teriak sana-sini menghujat berbagai pihak? Ah, benar ternyata kalau penyesalan itu datang belakangan. Contoh kecil itu adalah salah satu buktinya.

Apresiasi Budaya 

Wah, saya jadi teringat keluhan seorang teman SMA dulu yang berprofesi sebagai dalang. “Sekarang yang nanggap wayang sedikit. Belum lagi kalau saat pementasan, yang nonton sedikit, itu pun mereka-mereka yang sudah sepuh. Anak muda zaman sekarang, mana mau meluangkan waktu semalam suntuk hanya untuk nonton wayang,” tuturnya.

Bisa dibayangkan, untuk pementasan lakon wayang di sebuah desa saja keadaannya sudah demikian. Lalu apa jadinya jika wayang dipentaskan di kota? Bukan mustahil jumlah peminatnya justru jauh lebih sedikit.


Perlu diketahui, apresiasi masyarakat sangat diperlukan untuk menunjang kelestarian budaya. Wayang atau budaya lainnya akan bernasib “hidup segan mati tak mau” jika masyarakat tidak bisa menghargai keberadaan mereka.

Salah satu wujud penghargaan tertinggi adalah mau mengenal. “tak kenal maka tak sayang”. Selama ini kita kurang mencintai budaya karena kita belum mengenalnya dengan baik. Pernah mendengar berita tentang seorang warga Negara Amerika yang datang ke Indonesia untuk melakukan riset tapi kemudian dia menjadi sangat sayang meninggalkan Indonesia karena terlanjur cinta pada budaya kita? Dia merasa enggan meninggalkan Indonesia dan lebih memilih menetap. Setelah ditanya ia hanya menjawab “Saya sudah kerasan di sini,” ujarnya.

Belajar dari pengalaman si turis tadi, mengenal ternyata merupakan langkah yang tepat untuk memulai berapresiasi terhadap budaya. Kalau orang asing saja bisa berlaku demikian, penulis yakin kecintaan masyarakat Indonesia sendiri jauh lebih besar dibanding turis mana pun.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia, yang mewarisi budaya para leluhur,  terus berupaya dan mengembangkan budaya sendiri, menghargai sesuatu yang kita miliki bersama, dan turut membantu upaya pemerintah mematenkan budaya kita sebagai wujud apresiasi terhadap budaya bangsa. Bukankah UNESCO juga menilai perilaku masyarakat kita jika hendak mengupayakan paten atas suatu karya?

Jadi mari memulai dengan mengubah pola pikir nggak ngaruh tuh ama aku! menjadi sebuah slogan AKU CINTA BUDAYA INDONESIA.

Menari itu Susah!

Tari Gambyong
Saya sangat menyukai budaya Jawa. Meski bukan asli orang Jawa, tapi tetep saja saya suka budayanya. Selain kesenian wayang, saya juga mengagumi tarian Jawa. Gerakannya lambat, tapi sesekali juga luwes. Pernah sekali saya mencoba belajar menari. Ternyata, susah luar biasa!  Apalagi saat harus menyelaraskan gerakan kita dengan musik. Huaaaa..... kalang kabut sudah buat orang awam seperti saya! Tak apalah, bagi saya mengapresiasi budaya dengan menjadi penonton setia juga tidak masalah. Yang penting, SAYA MASIH CINTA BUDAYA INDONESIA.

Jangan Meniru China


Saya terkaget-kaget membaca fakta mencengangkan dari negeri China. Negara yang digadang-gadang mampu menyaingi perekonomian Amerika tak disangka punya rahasia tersendiri di balik kemajuannya. Tapi percayalah, tak ada satu negara pun yang mau mengikuti jejaknya dalam satu dan dua hal di balik rahasia kemajuannya tersebut.

Sebuah buku dengan sampul dominasi warna merah awalnya tidak begitu menarik perhatian saya di sela-sela kesibukan mencari bacaan saat liburan. Tapi karena warna mencolok dan sederet tulisan di cover tersebut membuat saya jadi berpikir lain dan menimbang sejenak. Di atas judul utamanya tertulis Dilarang Beredar di China! Pemenang Lettre Ulysses Prize. Edisi Bajakannya Terjual 10 Juta Kopi. “Buku macam apa ini?” gumam saya saat itu. Tanpa pikir panjang, saya pinjam saja bacaan berjudul China Undercover itu.

Penulisnya adalah pasangan suami istri bernama Chen Guidi dan istrinya Wu Chuntao. Keduanya sama-sama berasal dari keluarga rakyat jelata. Chen dan Wu merasa tergerak untuk mengungkapkan ketidakadilan yang mendera rakyat jelata terutama para petani. Mencengangkan bukan? Bagaimana bisa sebuah negara berpaham sosialis komunis macam China justru makin menindas kaum papa?

Sejak dulu China dikenal sebagai sebuah negara yang sangat luas dengan catatan sejarah lebih dari tiga ribu tahun. Dan petani adalah populasi mayoritas negara tersebut. Jika hendak dikaitkan dengan Revolusi Komunis China, secara teori memang perubahan besar-besaran ini sangat berpihak pada kaum petani. Tak lain karena ajaran komunis sendiri yang hadir untuk menguasai, membagi-bagikan tanah, dan membuang jauh-jauh kekuasaan tuan tanah yang parasit. Komunis juga benar-benar mempresentasikan keinginan kaum yang terpinggirkan kala itu.

Dan seperti biasa, teori selalu jauh dari praktek. Siapa sangka jika awal mula revolusi justru juga menjadi awal bencana bagi jutaan warga China. Kembali ke pertanyaan awal, lantas apa yang tidak perlu ditiru dari sebuah negara bernama China?


Industrialisasi China 

Selama lebih dari tiga puluh tahun, para petani China menanggung beban berat. Hanya saja beban tersebut tersembunyi karena negara tidak lagi berhubungan langsung dengan para petani secara individu. Sebanyak 130 juta rumah tangga petani tak lama kemudian berubah menjadi tujuh juta kelompok gotong-royong yang pada kelanjutannya bermetamorfosis kembali menjadi 790 koperasi pertanian. Tak butuh waktu lama untuk secara besar-besaran mengubah koperasi-koperasi tersebut menjadi 52.781 komune rakyat pada tahun 1958. Tidak ada satu pun petani yang dapat menghindar dari jerat jaring tersebut.

Lantas untuk apa pembentukan sekian puluh ribu komune rakyat yang beranggotakan para petani tersebut? Mereka (para petani) ternyata harus mengumpulkan modal untuk industrialisasi China. Berbagai sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap China membuat partai dan pemerintah pusat tidak punya pilihan selain memprioritaskan industrialisasi. Lagi-lagi kaum terpinggirikan macam petani lah yang menjadi sasaran. Jadi bisa dikatakan, perbaikan industri China dibangun dari darah dan keringat para petani yang membanting tulang. Dan pembangunan kota tak lain diraih lewat penderitaan dan pengorbanan mereka. 

Pajak dan Denda Mencekik 

Satu lagi yang sangat popular di kalangan para petani adalah pajak dan denda. Sudah tak terhitung jumlahnya berapa yuan yang harus dikorbankan para petani hanya untuk membayar beban yang dikenakan kepada mereka. Umumnya pajak dan denda yang sampai mencekik mereka adalah hasil dari penggembungan angka oleh birokrasi setempat.

Pemerintah tingkat desa bisa membebankan sampai sekian puluh pajak kepada para petani miskin ini. Tak jarang mereka berlaku tidak manusiawi untuk menagih pajak-pajak yang harus dibayar, mulai dari bentakan-bentakan kasar, perusakan, hingga pemukulan fisik, tak peduli yang dihadapinya adalah nenek tua renta. Tak pandang bulu. Bagi mereka pajak dan denda berarti uang. Jika tak bisa mendapat uang dari si petani, dengan seenaknya apa-apa yang ada di dalam rumah langsung disita, persediaan beras pun dikuras juga oleh mereka.

Sebenarnya para petani bukan tanpa usaha untuk menghadapi keadaan tersebut. Setiap mereka melapor ke birokrasi yang lebih tinggi, selalu saja diremehkan dan tak pernah mendapat tanggapan serius. Kongkalikong antara para peitnggi desa, kecamatan, sampai kabupaten adalah hal yang biasa. Karena itulah para petani merasa perlu mengadu ke birokrasi yang lebih tinggi, tingkat provinsi atau pusat.

 Secuil Potret Konflik Daerah

Sebuah tragedi di Desa Zhang adalah secuil potret buram kehidupan para petani China. Desa Zhang terletak di dataran rendah tepi Sungai Huai, daerah yang cenderung mengalami kekeringan. Para petani disana juga masih dibebani berbagai denda dan pajak berlebih dari para pemimpinnya. Jadilah desa tersebut kian miskin.

Tanggal 18 Februari 1998 adalah hari yang menjadi bukti bahwa pemerintahan tirani di tingkat desa bisa demikian membabi buta. Zhang Guiquan, Deputi Kepala Desa sangat marah mendengar pengaduan dan tuduhan yang dilontarkan padanya. Dia dituduh menyalahgunakan dana warga. Tak selang berapa lama, tuntutan demi tuntutan warga berbuntut dengan dilakukannya audit pembukuan desa. Akal bulus tiran desa macam Zhang Guiquan kembali bereaksi setelah sekian lama digunakan untuk membebani para petani dengan denda dan pajak fiktif buatannya.

Tanggal 18 pagi, hujan musim semi masih mengguyur Desa Zhang, sebagian besar warga masih bersembunyi di balik selimut hangatnya. Namun apa yang dilakukan Zhang Guiquan justru di luar nalar, karena merasa terusik oleh rencana audit pembukuannya, ia justru nekat membunuh empat orang dari dua belas perwakilan warga yang bertugas mengaudit pagi itu juga.

Dibantu beberapa anak laki-lakinya, dalam hitungan menit Zhang Guiquan sudah membunuh empat orang. Ironis, bersamaan dengan semua itu suara Bos Partai, Zhang Dianfeng membahana lewat alat komunikasi desa. Dianfeng memanggil kelompok audit untuk memulai pekerjaan pagi mereka. Sementara, Zhang Guiquan sudah menghabisi empat pengaudit pembukuannya.

Memang fakta yang bertubi-tubi diungkapkan beresiko menjatuhkan citra bangsa China dengan sederet cap negative: korup, sadis, rakus, dan sebagainya. Setidak-tidaknya kisah nyata yang menjadi kontroversi di Negara China tersebut bisa membuka mata saya yang selama ini hanya silau dengan kedigdayaan mereka semata.

Niatan menulis cerita ini memang semata-mata bukan untuk membanding-bandingkan antara yang terjadi di China dengan Indonesia. Karena berdasarkan hemat saya pribadi, tentulah berbeda, menimbang ideologi yang sangat jauh antara kedua negara. Jika mereka hanya berbasis satu partai dengan sumpah setia pada paham Leninisme, Marxisme hingga Maoisme, tidak demikian halnya dengan yang terjadi di negara kita.

Secuil Renungan Hari Emak

Ibu, satu kata yang apabila disebut maka tergambarlah sosok wanita dengan keteduhan wajah dan lautan kasih sayangnya. Limpahan kasih yang dimilikinya tertahan dalam dada, hampir tumpah, tapi perempuan itu tetap sabar menanti buah hati tercinta.


Tetesan air mata ini seakan tak bisa dibendung setelah sejenak membaca artikel dari Pak Mario Teguh. Apa gerangan isi tulisan itu hingga membuat hati ini merasa terbawa oleh arusnya?

Sebenarnya artikel itu sudah usang, sudah basi malah. Tapi terasa berbeda ketika kurenungi rentetan huruf penuh makna di dalamnya. Bisa jadi, rentetan huruf-huruf itu mampu menggores nurani siapapun yang membaca. Ya, tak lain tulisan itu adalah tentang ibu.

Nasehat dari Pak Mario Teguh yang membuat saya semakin kagum kepada ibu adalah: Tidak ada pria atau wanita yang super mulia dan super cemerlang dalam sejarah kemanusiaan, yang tidak dilahirkan oleh seorang ibu.

Saya sangat yakin, bahwa di antara kita tidak ada yang tidak mengasihi ibu karena siapapun ibu kita, ia adalah pahlawan dan teladan bagi anak-anaknya. Terimakasih ibu.

Bagi setiap kebahagiaan dan kesedihan kita, ibu lah satu-satunya orang yang mengerti. Ketika kebahagiaan itu kita alami, orang yang merasa bahagia untuk pertama kali adalah ibu. Dan ketika kesedihan menghampiri, orang yang merasakan pedih untuk pertama kali pun adalah ibu.

Jika mengalami masalah, sesedikit mungkin kita membicarakan masalah itu kepada ibu kita, karena biarpun masalah itu sudah selesai dia akan tetap kepikiran. Mau kah kita membebani pikiran wanita sederhana yang kian lama termakan usia senja itu?

Ibu menjadi tempat bersandar untuk anak-anaknya, tapi tidak ada seorang ibu pun menginginkan anaknya untuk bersandar, karena ibu menginginkan anaknya bisa berdiri tegak.

Ah, mulia benar hati manusia yang satu ini. Pantas saja urutan yang berhak mendapatkan perlakuan baik dari kita adalah ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu, baru kemudian orang-orang yang terdekat lainnya.

Jadi teringat oleh penulis, percakapan telefon kala itu, “Sudah makan apa belum?” tanya ibu. Dengan tenang saya jawab, “Sudah Bu”. Tapi entah kenapa tak ada keinginan untuk menanyakan hal yang sama padanya, “ Ibu sendiri sudah makan belum?”. Ah, betapa egoisnya pribadi penulis, tak ingat apa jika dialah wanita yang harus dimuliakan?

Pernahkah terpikir oleh kita semua jika dalam setiap langkah di keseharian kita, doa-doa ibu selalu mengiringi? Dan jawaban bagi doa seorang ibu sudah terkabul tetapi semua jawaban itu belum menjadi jawaban bagi doa anaknya.

Tuhan menunggu restu orang tua sebelum memberi restu pada seorang anak. Maksudnya kalau ibu tidak ikhlas kepada kita, kita meminta restu kepada Tuhan-pun, Tuhan tidak akan merestui, sebelum Tuhan melihat ibu kita merestuinya.

Kadang kita berbuat salah kepada ibu maka sudah seharusnya kita meminta maaf, sekalipun ibu tidak pernah mengharap satu kata maaf pun dari kita, karena setulus hati, ia telah memaafkan. Mari meminta maaf dan berbicara kepadanya seperti berdo’a, karena dengan begitu, tidak mungkin kita berbicara kasar.

Jika mengingat semua pemberian darinya, sepertinya tak satu pun mampu dibalas. Bahkan seisi dunia pun tak akan mampu melunasi hutang-hutang itu, hutang mengandungku, hutang melahirkanku,hutang membesarkanku,hutang kasih sayangnya, hutang akan kesabarannya, hutang ketulusan doa-doanya dan berjuta-juta hutang lainnya, tak terhitung jumlahnya.

Lalu apa yang dapat kita berikan agar ia tersenyum bahagia? Pesan Pak Mario Teguh: Kalau kita tidak bisa memberi sesuatu yang bisa dibeli, berikanlah sesuatu yang tidak bisa dibeli. Sebuah Kasih sayang, melihatlah dengan sayang, bicaralah lembut dengan penuh kasih sayang, sentuhlah beliau, peluk, cium merupakan suatu penghargaan yang tidak ternilai.

Pemberian hadiah seorang ibu kepada anaknya, apapun itu harus dihargai, karena kita tidak akan bisa memaafkan diri kita, kalau ternyata pemberian itu adalah pemberian terakhir.

Mau tahu kapan kita merasa paling sedih? Saat paling sedih adalah saat dimana kita berdo’a lalu memangggil nama ibu. Karena semakin dewasa seseorang, semakin dalam kesedihan yang membuatnya menangis karena ibunya.

Penulis ucapkan selamat hari ibu, walaupun sebenarnya setiap hari adalah hari ibu bukan? Teruslah berbakti hingga sesal itu, tak perlu datang suatu saat nanti.

70 Years

If Allah grants you 70 years of your life,You would spend: 24 Years sleeping, 14 Years working, 8 Years in amusement, 6 Years at the dinning table, 5 Years in transportation, 4 Years in conversation, 3 Years in education, 3 Years in reading, 3 Years watching television. If you prayed 5 times a day, you would be giving Allah 5 months of your life. Can’t we give 5 months out of 70 years? Think about it.

-Ibn Khalid-

Anne Ahira


Hari ini sangat menyenangkan. Saya berkesempatan mengenal sedikit sosok Anne Ahira. Saya bertemu dengannya di dunia maya. Bukan chat maupun berinteraksi via internet melainkan mengenalnya melalui catatan perjalanan dan perjuangannya meraih mimpi keliling dunia.
 
Ahira, adalah pendiri asianbrain.com. Ia merupakan internet marketer handal di Indonesia. Mau tahu dari mana ia mendapat keahliannya tersebut? Semua diperoleh dari belajar secara otodidak. Tak ada guru, tak ada teman yang bisa ditanyai, dan hanya sendiri. Benar-benar berselancar sendirian di depan komputer warnet yang setia mengantarkannya mencari ilmu.

Berbagai cobaan secara mental dialaminya sebelum sukses. Dicurigai menggunakan narkoba oleh keluarganya, di-judge sebagai pelacur, hingga dikira benar-benar gila oleh kedua orang tuanya.

Luar biasa sosok perempuan satu ini. Perjuangannya tak sia-sia. Kini, melalui kemampuannya tersebut, tak kurang dari ratusan ribu dollar mengalir ke rekeningnya setiap bulan. Hingga akhirnya ia pun mampu mewujudkan mimpinya. 

Saya bisa keliling dunia kapan pun saya mau," ujarnya. Tak hanya itu, Ahira juga memberangkatkan kedua orangtuanya naik haji dan umroh. "Mereka boleh umroh 3-4 kali dalam setahun, bahkan kalau kuat, sebulan sekali pun boleh," imbuhnya. Siapa yang tidak iri, tapi menilik perjuangannya di belakang, sudah sepatutnya ia mendapatkan hal tersebut. " I deserve it," katanya.

Robot Generation


Generasi sekarang adalah generasi gadget dan generasi robot
 
Kalau dulu mainan anak terbuat dari kayu, kaleng, dan botol minuman bekas maka kini tak lagi demikian. Seiring dengan berkembangnya teknologi, gadget dan robot pun turut ambil bagian meramaikan dunia anak. Keduanya secara beriringan memonopoli permainan IT. Pasarnya bukan lagi orang dewasa, tapi anak-anak. 
 
Tengok saja Robot in Action, salah satu kompetisi Pekan Ilmiah Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (PIMITS). Lomba yang diikuti kalangan pelajar hingga mahasiswa ini mengundang animo luar biasa. Tak kurang dari dua ratus tim berlaga mempertandingkan robot andalannya.
 
 
Robot in Action tahun ini setidaknya melombakan tiga kategori yakni robot soccer, line tracer analog, dan line tracer mikro. Robot soccer merupakan jenis robot yang dikendalikan oleh manusia, sedangkan robot line tracer merupakan robot yang berjalan otomatis mengikuti lintasan yang telah ada. 


Bagus Maulana, siswa kelas tiga SD Muhammadiyah Surabaya tampak sibuk mengotak-atik robot. Yang dipegangnya adalah robot jenis line tracer analog. Tampak di samping Bagus duduk, beberapa teman seusianya memainkan robot serupa yang dibiarkan berseliweran melintasi garis-garis hitam lurus dan sesekali zig-zag.

Bagus bersama teman-temannya rupanya tengah menguji robot mereka sebelum bertanding. Ternyata, tahun lalu Bagus sudah mengikuti Robot in Action meski belum menang. “Robotnya nggak bisa jalan, baterainya jatuh karena terlalu berat,” ujar Bagus antusias saat ditanya alasan kekalahannya saat itu.
 
Lain lagi dengan Enie, siswa SMA N 1 Cerme Gresik yang juga turut serta dalam kompetisi. Bersama timnya, ia sudah mempersiapkan robot jenis line tracer dan robot soccer dalam waktu sebulan. “Bikin robot itu ya susah-susah gampang,” aku siswi yang masih duduk di kelas XI ini. Ditemui di sela-sela kesibukan mengecek beberapa komponen robot, Enie mengatakan mereka hanya tinggal menguji robot sebelum benar-benar berlaga.

Minggu Pagi @Tugu Pahlawan


Minggu pagi adalah waktu tepat kalau teman-teman berniat mengunjungi Tugu Pahlawan. Selain karena Museum Tugu Pahlawan buka, banyak pernak-pernik yang bisa dijumpai. Para penjual tumplek blek jadi satu. Soal harga, bisa dipastikan terjangkau. Boleh dibilang, sesuai selera dan kantong rakyat lah.



Iseng-iseng saya juga motret orang jualan boneka. Harganya jelas beda jaoh kalo mau dibandingkan sama harga mall. Tapi barangnya sama lho kualitasnya. Gak percaya? tengok gambar di bawah ini deh!




Tugu Pahlawan memiliki banyak spot untuk berbagai aktivitas refreshing. Selain terdapat museum sebagai wisata edukasi, warga Surabaya biasa menggunakan lapangan di sekitar Tugu untuk berolahraga.



Taman-taman teduh di pinggir lapangan juga bisa jadi tempat nongkrong asyik bersama keluarga dan teman.



Khusus spot di bawah ini, memang menjadi favorit anak-anak. Kok bisa? Mari lihat lebih dekat! Mereka menggunakan bagian bawah tugu yang licin untuk 'plurutan'. Dasar anak-anak!

Tidakkah teman-teman tertarik mengunjungi tempat ini? Lumayan kan nambah referensi sejarah sekaligus berburu barang murah=)

Ups, hampir lupa, saya belum meng-share-kan gambar spot-spot dengan nilai sejarah perjuangan ya? Cekidot yang di bawah ini gan!




Oke, sekian dulu edisi belajar jeprat-jepret hari ini. Jangan lupa kalau ke Surabaya, mampir ke Tugu Pahlawan ya rekan-rekan!

Friday, May 27, 2011

Damn, I really miss you all guys!

Beberapa waktu lalu saya iseng membuka file-file foto yang lama nangkring di laptop. Tidakkah kalian juga merindukan masa itu? Saat kita masih lebih banyak memikirkan kesenangan sendiri, masih sedikit tahu soal tanggung jawab, masih enggan berpikir lebih soal hidup. Aaarrrgggh…. Dasar masa SMA!

Tempat ini, masihkah kalian mengingatnya dengan baik?



Dan lagi, melihat tempat-tempat di bawah ini membuat saya semakin rindu. Masuk sekolah ternyata tidak semenakutkan seperti saat kita menjalani dulu. Mengenangnya, kok malah ingin kembali ya? Tak apalah kalaupun harus merasakan kembali banyak tugas, banyak pr, banyak ulangan. Ah, tapi jelas tidak mungkin =)

Dan hal terindah bagi saya, sejatinya adalah kesempatan bersama kalian.
Kapan bisa bersama lagi?






Masih ingat jugakah yang ini?


Inilah potret kota kecil yang dulunya tidak pernah kita banggakan tapi kini diam-diam kita rindukan. Benar begitu? Kalau ditanya kapan pulang, maka asumsi yang tertanam di otak kita adalah pulang ke Magetan, ke kampung halaman. Ah, sudah jadi anak rantau sekarang rupanya. (tertawa kecil)

Dan coba lihat yang satu ini. Tempat sejuk, bersih, dan hijau. Rindunya menghirup bau pinus.


Ah, kemana pula kabut dan embun yang lumrah kita jumpai tiap pagi? Kalau ada kesempatan pulang, sudah tak kuat rasanya menahan dingin yang menusuk sampai tulang. Sepanas itukah kota yang kita tempati sekarang? (malas mengingat yang sekarang, saya ingin berangan sejenak merasakan hawa pegunungan di kota kecil kita)

What is Future Leader Summit 2011?

 
 
"We are not talking about the change but we are making a change"

Future Leader Summit (FLS) 2011 adalah "seminar" yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (FIB UNDIP) yang dihelat di Semarang, 22 Mei lalu. Saya katakan seminar dalam tanda kutip karena sejatinya summit ini memang berbeda konsep. Jika selama ini seminar hanya identik dengan penyampaian materi dari pembicara kepada peserta lalu diadakan sesi tanya jawab. Tidak demikian halnya dengan FLS.
 
 
FLS dihadiri tak kurang dari 13 pembicara seminar paralel dan satu keynote speaker. Seminar paralel sendiri terbagi menjadi 6 room yang berbeda bidang. Menurut saya, inilah yang menjadi salah satu keunikan acara ini. Keenam room tersebut antara lain: environment; sport, art, and culture; business development; education; creative writing; serta research.

Soal kapabilitas para pembicara di setiap ruangan? Tak perlu diragukan, mereka benar-benar expert di bidangnya. Sebut saja Goris Mustaqim, Finalis Asia’s Best Young Entrepreneur 2009 versi Majalah BusinessWeek yang juga dinobatkan sebagai International Climate Champion dari British Council. Hadir juga Taufik Hidayat Udjo, Direktur Utama Saung Angklung Udjo (SAU). SAU yang berlokasi di Bandung memiliki peranan penting dalam pelestarian kebudayaan Sunda, khususnya Angklung.

And who's the keynote speaker?
Ini dia pembicaranya! Iman Usman.

 
Saya bagi sedikit info soal Iman ya!
Iman concern memperjuangkan hak-hak anak. Anak kelahiran Padang pada 21 Desember 1991 ini, telah aktif menjadi volunteer sejak umur 10 tahun dengan mendirikan kursus dan perpustakaan gratis untuk anak-anak di lingkungan sekitarnya. Pada tahun 2009, Iman mendirikan Indonesian Future Leaders, sebuah organisasi Non Profit kepemudaan yang bertujuan untuk memberdayakan anak muda agar dapat membawa perubahan dan solusi yang berkesinambungan terhadap masalah-masalah sosial. Karena kepedulian sosialnya itulah pada tahun 2008, Iman dinobatkan sebagai Indonesian Young Leader 2008 oleh Presiden Republik Indonesia dan Mondialogo Junior Ambassador Intercultural Dialogue oleh DAIMLER dan UNESCO. Prestasi internasional lainnya? Masih banyak lagi!

Dan setelah FLS berakhir, kita harus membuat proyek jangka pendek terkait bidang masing-masing. Seru kan? Setelah seminar, masih ada lanjutannya. Usai  merancang, dan mempresentasikan program yang akan kita buat, kita harus melaksanakan proyek tersebut dalam waktu tiga bulan. Tujuannya? Membuat perubahan bersama teman-teman satu room kita.
 
 
So, Let's make a change!

Mimpi

Ikal tumbuh bersama mimpi. Ia bermimpi bisa menginjakkan kakinya di Paris suatu hari nanti. Negeri yang bahkan sama sekali belum pernah terbayang dalam benaknya. Belum. Sama sekali belum pernah tergambar.


Bagi Ikal, setiap hari adalah satu anak tangga yang menuntunnya ke sana. Dari titian setiap anak tangga itulah Paris hadir. Kian lama kian dekat. Dan tiba-tiba, ia sudah menjadi nyata.

Tapi mungkin tidak bagi seorang Mitha, bocah yang duduk di kelas enam Sekolah Dasar (SD). Kisah seperti novel Laskar Pelangi di atas bisa jadi hanya sekedar mimpi baginya.  Mitha adalah anak seorang nelayan. Saya bertemu dengannya saat menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat bersama kelompok Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Kegiatan yang kami gelar bukan untuk anak-anak, melainkan ditujukan bagi para nelayan.


Mitha sama seperti bocah usia SD lainnya, dengan  rambutnya sedikit merah karena panas matahari dan kulit gelap khas anak pantai. Di awal perkenalan, ia belum menjadi perhatian saya. Ketika sempat saling bertatapan, ia hanya melempar senyum. Lalu berbisik-bisik pada teman sebelahnya, Ismi. Ismi dan Mitha sama-sama duduk di kelas enam SD. Dari perawakannya, Ismi lebih gendut dan tinggi dari Mitha.

"Tinggal nunggu pengumuman kelulusan ya?" tanya saya.
"Iya," jawab keduanya kompak.
"Mau nerusin ke SMP mana nanti?" tanya saya lagi. Keduanya bertatapan. Dan yang keluar adalah satu nama SMP negeri dan satu lagi SMP swasta.
"Cari yang dekat Mbak," kata Mitha.
"Cita-citanya nanti mau jadi apa Mitha sama Ismi?" pancing saya lagi.
"Mau jadi polwan," aku Ismi yang berpostur tinggi besar itu. Sementara Mitha masih belum berani menjawab. Saya ulang lagi pertanyaan sama padanya.
Seperti ragu menjawab. Tapi akhirnya keluar juga jawaban yang saya nantikan.
"Mau jadi petugas SPBU Mbak," ucapnya polos.
 
Saya terhenyak seketika dan baru tersenyum beberapa saat kemudian.
Senyum saya getir. Menahan perasaan miris dan tidak rela pada Mitha kecil.

Wednesday, May 18, 2011

Jatim Park, Wahana Keluarga

Lokasi ini menurut saya lebih cocok jadi tempat rekreasi keluarga. Alasannya? Ya karena wahana yang tersedia cocok buat seluruh anggota keluarga. Mirip-mirip Dufan gitu lah. Orang bilang, Jatim Park kan Dufannya Jawa Timur.

Saya sebenarnya tidak terlalu suka mengunjungi tempat rekreasi seperti ini. Tapi kalau sama famili? Mungkin sebuah pengecualian.... hehehe=)

So, saya share-kan beberapa jepretan yang hmmm..... standar dan cenderung seadanya.Semoga masih memenuhi standar pemotretan.
Banyak pilihan. kemana dulu ya?
Lintasan yang rumit. Tapi boleh dicoba=)
Aaaarggg... pusing!!!
Tornado. What a crazy game!
so high
Asyiknya belajar fisika
It also has a history spot
Cekidot this miniature!
Dan yang ini juga
Ada suku Indian juga lho!
It's me.. What a cute tree that is.
(Cute tree, not me! hahaha)

And hot vanilla latte dengan sepotong coklat menutup hariku di Malang. Cukup nikmat untuk udara Malang yang dingin di malam hari.