Pages

Tuesday, March 29, 2011

Es Campur ala PWI Awards


Saya berkesempatan menghadiri Resepsi (Persatuan Wartawan Indonesia) PWI Jatim pada 18 Maret di Gedung Grahadi Surabaya. Banyak orang penting hadir di situ. Selain panitia, wartawan, dan banyak orang yang memang berkepentingan di sana, mungkin saya lah yang paling tidak penting. Hahaha… 

Seluruh sudut aula dipenuhi orang berpakaian batik. Sedangkan saya, hanya mengenakan pakaian kuliah. Parahnya, saya tidak bersepatu melainkan menggunakan sandal gunung kesayangan. Soal penampilan, saya tidak terlalu ambil pusing. Mulai dari mondar-mandir liputan sampai urusan makan, saya juga tidak ambil pusing… hhehehe

Keperluan liputan malam itu sebenarnya tidak memakan waktu lama. Lima belas menit ngobrol unformal dengan Mr Probo,  bagi saya sudah cukup dijadikan bahan berita. Dan lagi, menghadiri acara formal seperti itu bukan hal baru buat saya. Lebih sering saya langsung pulang kalau sudah mendapatkan data yang dibutuhkan. Sangat malas berlama-lama. Sungguh berbeda 180 derajat dengan kondisi saat saya masih menjadi reporter OJT dan reporter junior dulu. Setiap meliput, selalu datang lebih awal dan standby hingga acara berakhir. Kalau dipikir-pikir, rajin benar saya dulu… hehehe.Namanya juga masih belajar profesional.

Lantas apa yang saya dapatkan dari resepsi PWI tersebut? Saya memang hanya mendengarkan sambutan Jusuf Kalla alias JK sebagai Ketua PMI, atau mendengarkan Margono, Ketua PWI Pusat mengungkapkan eksistensi  wartawan sampai kode etik jurnalistik, dan lagi seorang muda di kalangan politikus, Anas Urbaningrum berpidato dengan nada demokratnya. Ada juga hadir Dahlan Iskan, Direktur Utama PLN, yang notabene dulunya adalah orang PERS. Sebenarnya masih banyak lagi yang hadir, tapi saya tidak hafal.

Ah, apa pula semua itu. Bukan, semata-mata bukan karena saya meremehkan apa yang mereka bicarakan. Tapi lebih karena saya tidak tertarik. Tapi memang, topik setiap orang berbeda di acara penganugrahan PWI Awards malam itu. JK bercerita soal bangunan tahan gempa karena belakangan tsunami menimpa Jepang. Sementara Margono, bicara soal sekolah jurnalistik sampai tetek-bengek kewartawanan. Belum lagi Bung Anas, yang pada pidatonya nyrempet-nyrempet Demokrat, partai yang kini diketuainya. Hladala, campur-campur es campur dah.. hhahahaha

Saya kebetulan duduk di deret kedua. Sementara deretan depan adalah kursi bernama alias sudah undangan khusus. Karena tak ada teman ngobrol (kasihan banget sih saya), saya hanya memperhatikan aktivitas orang-orang. Berseliweran, memotret. ngobrol dengan kenalan, tertawa, makan, asyik sendiri dengan handphone. Kompleks! Aula Grahadi masih saja dingin, AC-nya bekerja dengan baik. Dalam hati, senang juga saya berada di dalamnya. Pelayanan para waiters dan waitress oke pula. Makanan prasmanan, banyak pilihan, tinggal comot semaunya. Ambil sedikit, ambil banyak juga boleh. Tak cukup itu, alunan musik menambah nikmat lagi suasana malam itu. Ekslusif, beberapa penyanyi bergantian  membawakan lagu. Dengan sepiring nasi yang saya ambil dari meja makanan (padahal ini khusus meja VIP, ngewes ae wis pas mangan-mangan.. hehehe) jadilah saya benar-benar merasa ekslusif.

Tapi tunggu dulu. Di dalam gedung, bisa jadi acara makan dan bermegah-megah macam ini berlangsung. Tapi di luar, jarak beberapa meter dari gedung, para supir angkot tengah mengejar setoran untuk hari itu. Para penjual nasi goreng, berharap nasinya habis terjual agar tak bersisa dan basi keesokan harinya. Penjual kacang rebus di depan Gereja juga demikian. Oh Tuhan, semua memang sudah berporsi masing-masing. Kau pemberi penghidupan bagi kami semua. Jadikanlah semuanya berjalan seiring, berdampingan dengan kedermawanan yang punya kepada mereka yang membutuhkan.