Pages

Saturday, February 19, 2011

Maulid Nabi

As usual, my family and I always commemorate the birthday of Rasulullah SAW or maulid Nabi at Pondok Pesantren Al-Khidmah, Kedidinding Surabaya. Those are some pictures that finally I took. It’s only taken by using my sister phone camera. Not good in resolution and quality, but It doesn’t matter. Actually I still can catch the moment and tradition.
Came with the entourage. Some also came from town around East Java
Spirit: a pregnant woman, in order to seek blessing
Followed the memorial together with their family
No more space: sitting in the road
Santri circulate a donation box, something similar is also done when haul akbar
Maulid tradition: exchanging fruits between jamaah
Fruits that brought by my family
Even As'ad (my nephew) ate the apple first
All stood when we were saying sholawat
Hoping for intercession
Introduce and familiarize the tradition since childhood
Very nice to be routine follow annual event with family. Happy maulid. I hope, we can remember the service and the struggle of Muhammad SAW is better than ever.

Friday, February 11, 2011

Alang-Alang, Sanggar Anak Negeri

Semangat sesaat sebelum berbuka

Wawancara sambil mengobrol

Berbuka bersama dengan keceriaan

Foto bersama sebelum pulang

Kompak dan berkesan
Kegiatan yang saya liput bertajuk Buka Bersama Anak Negeri dan BEM FTK, yang bertempat di Sanggar Alang-Alang. Istilah anak jalanan memang diperhalus menjadi anak negeri oleh seorang Didit Hape, pensiunan jurnalis senior TVRI. Bersama sang istri yang sevisi, Bunda Ersa, Didit gigih membangun sanggar yang menanungi anak-anak terlantar.

Memang sedikit sekali jumlah orang yang memiliki kepekaan sosial macam Didit dan istrinya, yang mau bekerja tulus tanpa pamrih untuk mengabdikan diri bagi sekitar. Dihadapkan pada kenyataan demikian, saya merasa kerdil. Jadilah saya menilai diri sendiri sebagai pribadi yang tidak peka, terlalu lama menutup mata dan telinga karena tak meluangkan waktu sedikit saja untuk melihat lingkungan sosial sekitar.

Saya kembali teringat nasehat Ibu Sri Sutantinah, alumni Teknik Sipil ITS yang saat ini menjadi Kepala DPU Kaltim. “Jadi mahasiswa itu jangan hanya sibuk dengan kuliah dan organisasi, tengok lingkungan sekitar, belajar lah lebih peka dengan membantu semampunya,” pesannya.

Kiranya kita semua sudah harus membuka mata dan hati, belajar peka dengan kehidupan sosial sekitar. Beruntunglah kalian, teman-teman mahasiswa yang telah lebih dulu melangkah membangun negeri atas inisiatif sendiri. Semoga tak hanya kalian atau seorang Didit Hape yang bersedia setia bekerja tulus.

foto by Lisana Shidqina (rekan sesama reporter)

“Agar Anak Saya Bisa Kuliah,”

Serius mengobrol di sela-sela bekerja
Saya bahkan tidak mengenal namanya. Yang saya tahu, ia hanya duduk terpekur dengan kepala menghadap ke bawah, jeli melihat rumput di antara pavingan jalan. Sementara ia sibuk dengan serok kecil yang biasa tukang kayu gunakan untuk mendempul lemari, sinar matahari tak henti menempa tubuhnya yang kurus. Sesekali ia menyapa orang lalu lalang di sekitarnya. Saya yang tak kenal pun, mencoba menyapanya dari jauh, meski hanya dengan senyum dan anggukan kepala.

Hari berikutnya masih sama, saya mendapatinya dengan pekerjaan sehari-hari mencabut rumput di pavingan jalan kampus. Karena fz, rekan saya sesama reporter di ITS Online berniat mewawacarainya untuk profil majalah ITS POINT, saya mengiyakan saja ajakannya untuk nimbrung dan menjadi fotografer di sela-sela wawancara.

Di luar dugaan, baik saya maupun fz kali ini harus menggunakan sedikit gaya berbeda dalam wawancara. Pertama, narasumber kami hanya bisa berbahasa Jawa. Kedua, Bahasa Jawa yang digunakan paling tidak harus level kromo, melihat usia beliau terbilang cukup senior. Awalnya berjalan lancar, tapi sempat kesulitan juga saat harus menerjemahkan Bahasa Indonesia ke Boso Jowo, terus ke Boso Jowo Kromo. (hlah!)

Terlepas dari itu semua, saya menangkap satu pesan dari pria yang mengaku tidak tahu pasti berapa usianya tersebut . “Kerjo ngene yo mergo pengen nyekolahne anak, Nak, (Bekerja seperti ini karena ingin menyekolahkan anak)” ujarnya.

‘Mbah’, demikian saya memanggilnya, memiliki dua orang anak. Satu anak perempuannya sudah berkeluarga, sedangkan satu lagi anak laki-laki masih duduk di bangku SMA kelas 3. Di usianya saat ini, si Mbah masih memiliki semangat luar biasa. Semua dilakukannya hanya demi anak. “Wong tuwane iki goblok. Karepku iku Nak, disekolahne dhuwur ben ora dadi kuli bangunan ngoten lho, (Orang tuanya ini bodoh. Maksud saya itu, anak saya disekolahkan hingga pendidikannya tinggi agar kelak tidak menjadi kuli bangunan)” tuturnya.

Luar biasa perjuangan beliau untuk menyekolahkan anaknya. Lantas, siapa bilang orang berpendidikan rendah tak sadar pendidikan? Setidaknya, mereka sudah melakukan hal terbaik dengan mendukung anak-anaknya terus bersekolah. Saya pribadi, jadi teringat orang tua di kampung halaman. ” Bekerja seperti ini karena ingin menyekolahkan anak,” pasti mereka juga akan berujar hal sama seperti si Mbah saat ditanya. Terima kasih Ummi dan Abah.

foto by Lutfia