Pages

Friday, July 30, 2010

Dua Teman Kecil Itu

Upik tumbuh dan besar di keluarga yang mengerti agama. Orang tua dan kebanyakan saudaranya rata-rata keluaran pondok pesantren. Karena itulah Upik dididik untuk juga mengerti agama walaupun ia lebih memilih mengenyam pendidikan formal di luar, bahkan hingga bangku kuliah.

Upik melalui masa kecilnya dengan sejuta kisah kehidupan orang lain di sekeliling. Ia menjadi saksi dari sebuah lingkungan yang selama ini diaggap orang lain hina dan kotor. Ya, prostitusi sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur.

Hal itu berawal ketika orang tua Upik memiliki sebuah usaha meubel di dekat pasar. Bukan hal yang aneh mengingat blok yang mereka tempati adalah blok khusus pedagang kayu. Namun tak demikian adanya, warung-warung yang terdapat di sekitar blok itu menyimpan cerita lain sebagai tempat prostitusi. Walau tidak seheboh kota metropolitan Jakarta, seperti dikisahkan Emka dalam “Jakarta Under Cover” nya, prositusi seperti apa pun, tetaplah prostitusi. Warung-warung tak sekedar menjual nasi, malahan jualan utama mereka yang laris adalah minuman keras dan sejenisnya. Belum lagi kalau malam beranjak larut, warung-warung tersebut kian ramai sebagai tempat mangkalnya para PSK.

Ya, di lingkungan seperti itulah Upik kecil tinggal. Sejak kepindahannya dari Surabaya, orang tuanya belum membangun sebuah rumah yang bisa ditempati selain di meubel tempat usaha.  Menjadi tantangan yang besar memang bagi orang tua Upik, ketika harus berjibaku membesarkan seorang anak kecil di lingkungan seperti itu. Menanamkan nilai-nilai agama menjadi sebuah kewajiban ekstra kala itu. Tiap hari mereka tak henti memberikan pemahaman tentang tuntunan-tuntunan agama, dengan sholat dan mengaji.

Upik kecil hanya mempunyai dua teman saat itu. Nani, gadis kecil yang seumuran dengannya, dan Sumarsih yang lebih tua dua tahun darinya. Diantara kedua teman kecilnya tadi, Nani adalah teman yang dijumpainya pertama kali. Masih tergambar jelas dalam ingatan bagaimana perkenalan itu terjadi. Saat Upik kecil tengah bermain pasir sendirian di halaman kiosnya, tiba-tiba Nani menghampiri dan mengajaknya berkenalan.

Heh, jenengmu sapa?” (Heh, namamu siapa?), tanyanya.

Meski Upik tak terlalu mengerti dan lancar berbahasa Jawa, ia tetap merespon dengan semangat dan antusias.

Jenengku Upik. Lha, jenengmu sopo?” Upik balik bertanya
“Aku Nani,” jawabnya.

Begitulah sebuah perkenalan singkat yang Upik kecil ingat. Hingga akhirnya selama enam tahun ke depan, keduanya berada dalam satu sekolah dan satu kelas yang sama.

Sementara itu Sumarsih, teman yang dikenalnya dari Nani, adalah seorang gadis kecil berambut panjang. Ya, rambut hitam kemerah-merahan yang tiap kali terikat rapi atau sesekali berkepang. Marsih, demikian nama panggilannya.

Baik Nani maupun Marsih, mereka sama-sama anak angkat. Setidaknya itulah yang diketahui Upik kecil dari cerita ibunya. Nani adalah anak angkat dari seorang pemilik warung di dekat kios meubel orang tua Upik. Parti, yang jika dilihat dari usianya, Nani lebih pantas menjadi cucu daripada anaknya. Nani pernah bercerita bahwa ia mempunyai seorang adik laki-laki di desa yang tinggal bersama orang tua kandungnya. Sebenarnya tersimpan sejuta pertanyaan di benak Upik untuk mengetahui lebih jauh tentang hal itu, hanya saja Upik enggan bertanya bagaimana ia bisa menjadi anak angkat seorang Parti. Padahal kedua orang tuanya masih ada. Namun diurungkannya hal itu, karena dinilainya terlalu sensitif untuk ditanyakan.

Berteman dengan siapa pun bukanlah sebuah larangan dari orang tua Upik, termasuk berteman dengan Nani dan Marsih. Bahkan pernah, Upik mengajak Nani berwisata bersama keluarganya.

Namun tidak demikian halnya ketika berteman dengan Marsih, ada hal yang yang membuatnya berpikir dua kali untuk mengajak temannya itu bermain. Ya, apalagi kalau bukan karena ibu Marsih yang pemarah. Ibu Marsih, wanita berpostur pendek itu, lebih tampak olehnya sebagai monster yang bisa mengamuk sewaktu-waktu. Sebuah hal yang didapatinya berbeda dari sosok seorang ibu yang selama ini dikenalnya. Sungguh, sangat berbeda jauh. Jika selama ini ia mengenal seorang ibu selalu lembut penuh kasih sayang dan sesekali memarahinya karena bandel, kali ini lain. Ibu Marsih memberinya gambaran berbeda, gambaran seorang ibu tiri lebih tepatnya.

Pernah sekali ia dibuat tertegun oleh wanita itu. Ketika tengah asyik bermain bersama Marsih, dari kejauhan terdengar suara seorang wanita meneriaki Marsih.

Ayo, ndang mulih. Ra ndang mulih tak parani we!!” (Ayo cepat pulang. Kalau tidak, aku hampiri kesitu kamu!) teriaknya.

Marsih tidak sempat berpamitan, ia tergopoh berlari ke arah wanita itu dan segera pulang. Tak berhenti disitu keterkejutan Upik. Di tangan wanita itu, sebilah bambu yang dipersiapkannya untuk memukul Marsih melayang begitu saja di tubuh teman kecilnya. Marsih menangis keras-keras. Dan sekali lagi pukulan itu mendera tubuh kecilnya dengan lebih keras. Sepanjang perjalanan pulang, itulah perlakuan yang diterima Marsih dari seorang ibu tirinya. Upik kecil mendapati pemandangan yang memiriskan sore itu..

Entah apa yang ada di pikiran wanita itu hingga ia menjadi begitu tega sering memukul anaknya. Wanita yang sehari-hari menjual baju bekas di pasar itu kerap kali memukul Marsih jika Marsih tidak segera pulang ketika sore menjelang. Untunglah ayah angkat Marsih adalah seseorang yang sabar. Ayah Marsih yang sehari-hari bekerja menarik becak, sesekali juga menjual jasanya menguli. Semua dilakukannya semata-mata demi memenuhi kebutuhan keluarga. Anak kecil mana pun juga bisa mengerti kalau keadaan keluarga itu kekurangan. Pernah sekali ia mendengar curahan hati Marsih. Upik menangkap satu hal dari Marsih, yaitu sebuah kerinduan untuk kembali ke kampung halamannya sendiri, tempat dimana Marsih, kakak dan orang tua kandungnya tinggal.

Sebenarnya banyak hal yang menggangu pikiran Upik akan latar belakang kedua temannya. Tapi ia menjadi tidak tega ketika hendak menanyakannya. Semburat kesedihan akan tergambar dengan jelas dari kedua temannya itu. Tak ayal, tak pernah ada yang diketahui Upik selain dari apa yang dilihatnya. Atau kalau tidak demikian, cerita-cerita itu bergulir dengan sendirinya saat Nani atau Marsih berkisah sendiri tentang diri mereka.

Marsih lulus lebih dulu dari Upik dan Nani, karena ia memang lebih tua dua tahun. Belakangan setelah kelulusan Marsih, Upik tidak pernah melihatnya lagi. Tak pernah juga dilihatnya si ibu tiri menggandeng Marsih ke pasar untuk diajak berjualan. Ternyata, Marsih dijemput oleh kakak kandungnya. Ia kembali ke kota tempatnya dilahirkan. Dalam hati Upik bersyukur. Tak akan lagi didengarnya teriakan monster dan hujan pukulan mendera tubuh teman kecilnya. Diam-diam didoakannya Marsih agar ia bahagia dengan keluarganya yang baru.

Kini, teman satu-satunya yang tinggal di dekat kiosnya hanya tinggal Nani. Namun ada hal yang dirasa Upik berbeda dari temannya itu.Nani terlihat lebih dewasa dari usianya, usia anak kelas 6 SD. Belakangan ia lebih sering membolos, kalau toh menitip surat ijin alasannya sakit. Tapi karena terlalu sering tidak masuk sekolah, pihak sekolah pun menjadi curiga. Pernah wali kelasku mengunjungi rumahnya satu kali untuk menengok Nani yang didengar sakit, sekaligus mengingatkan bahwa waktu ujian kian dekat. Namun semua niat baik tidak selalu direspon baik. Wanita paruh baya itu hanya mengiyakan saja apa-apa yang didengarnya. Tapi sesudah itu, tetap saja Nani masih sering membolos tidak masuk sekolah.

Sebenarnya Upik tahu apa yang tengah menimpa Nani. Tiap kali, dilihatnya Nani bersama seorang pria yang usianya jauh lebih tua darinya, seorang bapak-bapak, pikir Upik. Kerap didapatinya Nani berboncengan dengan pria itu, dan di belakang semua yang terlhat mata, entah apa yang terjadi. Bukan Upik tidak mau berpikir macam-macam, tapi melihat Parti, ibu Nani sendiri yang tidak pernah melarang hubungan tak wajar anak angkatnya itu, Upik jadi berpikir negatif.

Nani menghilang saat ujian praktek. Hingga ujian kelulusan di gelar pun, ia tak menampakkan batang hidungnya. Berulang kali Upik ditanyai guru-guru mengenai keadaan Nani. Tapi Upik lebih memilih diam jika ditanya dan bersikap tidak tahu-menahu akan keadaan temannya itu. Sudah terlalu sering ia dicecar pertanyaan yang sama oleh teman-temannya.

Upik kecil hanya bisa mendoakan teman kecilnya itu, yang dulu menegurnya dengan polos, mengajarinya berbahasa Jawa, dan menjadi teman setianya bermain sampai larut malam. Karena mengenal Nani lah Upik menjadi sangat biasa dengan pemandangan memilukan ketika para PSK menunggu lama hanya untuk seorang pelanggan. Tak pernah terbayang olehnya, jika Nani yang dikenalnya, juga bisa menjadi bagian dari realita memilukan itu.

Nani….oh Nani….
Semoga wajah kebenaran itu, hadir menyapamu suatu hari nanti.
Ingin sekali kurangkul kembali dirimu sahabat kecilku…

Wednesday, July 28, 2010

Dua Sisi Wajah Media


“Media cetak di Amerika sudah mati,” fakta mencengangkan saya dengar langsung dari Prof Janet Steele, konsultan Konjen AS di Surabaya.

Sekali lagi inilah oleh-oleh magang sebagai wartawan. Statement di atas memang di luar dugaan. Bagi saya pribadi ini terdengar aneh jika dibandingkan dengan media cetak di Indonesia yang bertebaran disana-sini.

Tak ayal fakta awal saja mengundang berbagai persepsi. Lantas kenapa hal ini bisa terjadi? Dan sebagai insan media, perlukah kita menganggapi isu-isu ala Amerika ini dengan kekhawatiran berlebih? Padahal seperti kita ketahui, sudut mana dari negeri ini yang tak haus akan story, yang kata orang luar berarti juga cerita dan berita?

Saya memang hanya jurnalis kampus, mungkin karena itu lah saya tidak mengalami permasalahan sekompleks rekan-rekan wartawan yang dalam keseharian, itu lah pekerjaan utama mereka. Sejauh yang saya ketahui, bergerak di media kampus hanya terbatas pada civitas akademika, alumni, dan kembali lagi ke kalangan yang nyangkut-nyangkut kampus.

Tapi bagi saya, mengikuti penjelasan Janet sangat menarik, fakta demi fakta ia paparkan. Tahun 2009 lalu, fakta menyebutkan iklan menurun hingga 26% dan selama  tiga tahun terakhir penghasilan surat kabar turun sebesar 43%, fakta terakhirnya adalah Washington Post tutup. “Permasalahannya lebih kompleks, bisnis, uang, dan iklan adalah sumber utama,” urai Janet.

Paradoks itu kian berlanjut, mengingat minat masyarakat Amerika yang besar dan haus story seperti yang dijelaskan di awal. Memang selama ini internet lah yang menjadi andalan utama meredam kehausan publik Amerika. Semua orang mengakses internet untuk memenuhi kebutuhan satu ini. Tapi sekali lagi fakta membuat saya tercengang, bahwa ternyata internet mengambil sekitar 80% beritanya dari media lama, ex: BBC, media cetak, dsb. Sedangkan 7% diambil dari media PERS secara umum. Logikanya, bukankah sedemikian penting penting peran media lama seperti koran? Toh, media online juga masih mencomot isinya.

Keadaan yang terjadi di Indonesia memang tak sama dengan negeri Uncle Sam sana. Keberadaan media cetak yang sangat langka, mengalihkan minat publik Amerika ke siaran radio. Alhasil siaran-siaran radio yang mengulas isu-isu kenegaraan secara lengkap pun kian digandrungi masyarakat. Hal berbeda justru kita dapati di negeri sendiri. Siaran radio selalu identik dengan full acara musik yang digandrungi masyarakat.

Memang benar kata pepatah, lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Tapi semoga, matinya media cetak yang terjadi di Amerika tidak perlu tejadi di Indonesia. Kalau pun suatu hari waktu menunjukkan hal lain, paling tidak jangan tergesa-gesa lah isu serupa mampir ke Indonesia.

Thursday, July 22, 2010

Mereka Cerminan Masa Tua Kita

 
Sajak Seorang Tua Untuk Isterinya
W.S. Rendra - Sajak-sajak sepatu tua,1972

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.
 
Keriput, loyo, ompong, pikun, dan renta. Gambaran singkat untuk manusia berumur, kalo tidak mau dibilang lanjut usia. Lanjut usia? Aneh saja sepertinya menggunakan kata satu ini. Apa lanjut usia berarti jatah usiamya sudah habis dari rata-rata usia kebanyakan orang? Lantas mereka para lansia adalah mereka yang beruntung karena bisa bertahan lebih lama? Hmm… entahlah, lepas dari semua itu, usia sepanjang atau sependek apapun, ia tetaplah berkah bagi si empunya.

Manusia terlahir dengan fitrahnya. Usia, bagian dari fitrah makhluk hidup mana pun, tak pandang bulu. Manusia, hewan, hingga bakteri pun memiliki limit waktu untuk bertahan dan dipertahankan. Dipertahankan? Ya, sekuat apa pun semua makhluk survive, Tuhan lebih berhak untuk menentukan mereka layak dipertahankan hingga kapan.

Jika harus membayangkan apakah suatu hari saya akan menjalani hari seperti mereka (lansia)? Sedikit pun tak pernah terpikir bahwa apa yang terlihat, terdengar, dan dirasa saat berhadapan dengan mereka, membuat bumi ini serasa terbalik. Pikiran terjungkal dan klasik, ending-nya saya tersadar. Harus mengakui bahwa mereka lah cerminan saya di masa tua, logikanya itu pun kalau saya bisa seberuntung mereka.

Alur kehidupan yang dihadapkan pada saya siang itu cukup ekstrim. Bukan kecelakaan maut hingga menelan ribuan korban jiwa, bukan juga karena melihat orang frustasi lantas bunuh diri dari lantai sekian pusat perbelanjaan. Tapi menghabiskan sisa masa tua di sebuah tempat bernama panti, sungguh bukan impian siapa pun. Semiskin atau sepapa apa pun manusia, ia masih ingin berada di tengah-tengah keluarga. Menjadi bagian yang menghangatkan sekalipun demikian merepotkan.

Berkaca, bercermin, di peradaban mana pun maknanya tetap sama, introspeksi. Manusia terlahir dari kalangan manapun, fitrahnya sama, menginginkan kasih sayang sesamanya. Hanya saja, arti sesama menjadi lain, ketika sesama dari anggota keluarga tergantikan menjadi kasih sayang dari para pengasuh dan pengurus panti.